inspired from a piece from pinterest.

Di kepala saya sepanjang hidup, seorang Ayah itu diam, nggak menunjukkan emosi, gengsi setengah mati, dan jarang banget ngomongin pikiran tentang keluarganya. Kecuali lagi marah-marah atau nyombong sama tetangga. Juga keras; tidak punya belas kasihan dan tidak bisa berkata-kata manis.

Itulah Ayah saya, yang alhamdulillah masih bisa saya temui hingga saat ini.

Makanya, saya selalu senang mengunjungi personal blog-nya Mas Anton, karena bisa melihat perspektif lain dari seorang Bapak dan Suami. 

Usia Mas Anton memang lebih muda dari Ayah saya (kira-kira delapan-sembilan tahun bedanya), namun karena beliau punya anak yang menjelang dewasa muda - saya jadi suka terpancing untuk berpikir, kira-kira apa ya yang Ayah saya pikirkan ketika saya seumur si Kribo, anaknya mas Anton? :D

Hal itu saya utarakan kemarin-kemarin di sebuah post yang beliau buat.

Nah, Mas Anton menjawab, banyak hal yang sebenarnya dipikirkan oleh seorang bapak/suami setiap harinya, hanya saja karena Ayah saya bukan blogger, jadinya nggak bisa dibicarakan. 

Saya juga waktu itu pernah berkomentar di blog mbak Eno yang pernah bercerita tentang Ayahnya; (lupa postnya, soalnya tahun kemarin hahaha... 😅) tentang Ayah saya yang nggak bisa memberikan nasihat, jadi harus kami-kami yang melihat dengan teliti untuk mengambil pelajaran hidup dari beliau. Learning by watching.

Berkat post-post itu, saya jadi memikirkan lebih lanjut soal sosok Ayah saya (terutama setelah ngomen di post Mas Anton, sih... hehe). Maka jadilah tulisan ini. Agak lebih panjang dari biasanya--nulisnya juga. 😄

***

Selama ini saya suka bercerita tentang Ibu saya lewat blog; ada beberapa postnya masih tertinggal di sini dan tidak saya arsip. Cerita tingkah-polah beliau muncul lewat berbagai ingatan, entah sekilas maupun panjang. Meskipun beliau hanya ada sampai usia saya enam belas, ada banyak memori yang saya miliki karena saya sering sekali berinteraksi dengan beliau.

Ini karena Ibu saya sangat supel pada anak-anaknya. Meskipun sibuk, dia masih menyempatkan membacakan buku atau mengajak bermain. Beliau juga-lah yang mendengarkan saya kalau curhat soal sekolah maupun cowok, meskipun sehabis itu saya dimarahi karena nggak boleh pacaran. 

(Little did she know, tentu saja saya pacaran backstreet)

Sebaliknya, Ayah saya kaku, istilahnya kayak kanebo kering. Seperti banyak orangtua jadul lainnya, Ayah saya jarang sekali muncul ke dalam interaksi bersama anak-anaknya. Beliau sering pulang kerja dini hari, berangkat siang hari saat anak-anaknya di sekolah. Atau malah pergi berhari-hari dan pulang hanya untuk tidur.

Beliau jarang sekali bicara pada anak-anaknya selain tentang mengingatkan sesuatu, memarahi tentang sesuatu, atau meminta sesuatu, atau memberikan sesuatu.  Hal ini konsisten sampai sekarang; bahkan setelah Ibu tidak ada bertahun-tahun.

Jadinya, saya selalu menganggap Ayah nggak memperhatikan saya. Bagaimana caranya tahu, kalau ngajak ngobrol juga nggak pernah, iya ‘kan?

Tidak heran, tahun-tahun pertama ketika Ibu saya tiada, hobi saya adalah bertengkar dengan Ayah. Saya tidak pernah mengerti apa mau beliau, dan beliau tidak pernah mengerti apa mau saya - yang berujung dengan kebandelan saya. 

Kami “mengobrol” lewat rapor merah, anak perempuan pertamanya yang pulang kemalaman, ancaman nggak naik kelas, serta perang mulut hampir tiap hari. Saya juga sering “kabur”, ke rumah sahabat baik Ibu saya (kebetulan tetangga), untuk nangis dan mengeluh.

Looking back, ada banyak hal yang saya sesali karena saya memilih untuk mengajak ayah saya berantem mulut, padahal saya bisa mendengarkan dengan baik. Maklum, namanya juga remaja haus eksistensi dan validasi. Saya merasa nggak bisa belajar apa-apa dari beliau. Malah ampun, sebagai anak nakal, saya pernah merasa keberadaan beliau sia-sia. Astaghfirullah!

Seiring dengan bertambahnya usia saya (dan Ayah), saya belajar melihat watak dan tabiat beliau dari perspektif lain. Ada banyak hal menyebalkan dari beliau, masih; namun banyak hal yang bisa saya pelajari dari beliau, walaupun beliau tidak pernah mengatakan atau menasihati secara langsung.

Pelajaran berharga yang tidak bisa saya dapatkan dalam buku -- yang juga menjadi patokan tatkala saya memulai keluarga saya sendiri.

***

Satu yang pasti adalah: Ayah saya keras, tapi cinta mati sama Ibu saya. (Lah iya ya, kan orangnya juga sudah nggak ada. #gelap)

Sewaktu keduanya masih aktif bekerja, Ayah rutin menelepon ke rumah setiap sore, untuk bertanya apakah Ibu sudah pulang. Terlebih saat Ibu mulai menjalani pengobatan, tapi masih ngantor: telepon berbunyi sekitar pukul lima sore, itu sudah jelas dari siapa. Isinya pendek saja. 

“Ibu sudah pulang belum?”

“Belum, Yah. Tapi-”

“Oke.”

TUUT TUUT TUUT.

Lalu setelah itu dengan bete saya akan menekan lagi nomor ponsel Ayah, dan begitu diangkat saya ngomong sambil bersungut, “AKU MAU DIBAWAIN MARTABAK!”

Segitunya, sampai buat anak nanti-nanti deh, yang penting istri gue dulu. Huahahaha.

Ngomong-ngomong, Ayah pernah terkenal di seantero RW tempat kami tinggal. Apa pasal? Beliau pernah jadi dukun beranak untuk tetangga! 

Benar-benar membantu si Ibu melahirkan, karena saat itu bayinya dilahirkan di mobil dalam perjalanan menuju rumah sakit. Karena si suami shock, suaminya didapuk jadi sopir, sementara Ayah di belakang dan jadi dukun beranak. Sampai rumah sakit, tentu saja IGD yang shock melihat bayinya sudah lahir di kursi tengah mobil, dan Ayah dikira suaminya. 

("Bukan, saya bantu melahirkan aja!" Ayah saya menukas, sambil sewot).

Cerita ini tentu saja jadi kenang-kenangan. Bahkan anak yang lahir -- sekarang sudah abege, sudah mau kuliah -- sering dipanggil dengan sebutan “anak si Ayah” oleh orangtuanya sendiri. Kebetulan, memang hanya Ayah yang dipanggil “Ayah” di sederetan jalan rumah kami, waktu itu.

Dari situ saya baru tahu kalau Ayah selalu menemani Ibu lahiran di tiga momen melahirkannya, dan selalu melihat prosesnya dari awal sampai selesai. Saya baru tahu juga kalau tidak semua suami punya kesempatan atau sanggup melihat proses tersebut.

Dan mungkin hanya segelintir yang sempat mempraktekkan apa yang dia lihat itu, padahal dia bukan dokter. Sungguh Ayah yang ajaib.

***


Saat saya sudah dewasa, saya baru tahu kalau ada cerita suami yang meninggalkan istrinya karena dia sakit berat. Saya baru tahu kalau ada cerita suami yang memulangkan istrinya ketika dia sudah tidak bisa lagi melayani suami. 

Saya baru tahu kalau ada suami yang tidak tahan ketika istrinya sudah tidak lagi cantik karena penyakit, atau yang tidak kuat mengurus istri dengan penyakit berat sehingga diserahkan kepada orangtua si istri untuk merawat.

Entah berapa milyar rupiah yang habis untuk pengobatan Ibu saya waktu itu. Ayah sepertinya sudah tidak menghitung lagi. Meskipun dibantu dengan asuransi swasta, namun kanker tidak pernah tidak menyedot biaya. Semua habis, termasuk segala yang tadinya disimpan untuk masa depan.

Ayah tidak pernah berhenti bekerja. Tidak berhenti mencari obat, entah alternatif atau terapi lain karena tubuh Ibu tidak cocok dengan kemoterapi. Saya tidak pernah berpikir lebih jauh soal itu. Saya pikir, menemani istri yang sakit itu mutlak - karena itulah yang dilakukan Ayah saya.

Saya waktu itu masih remaja, tidak paham kalau ada yang namanya kebutuhan biologis di antara suami-istri. Tidak tahu kalau Ibu saya merasa bersalah dan meminta Ayah menikah lagi; yang langsung membuat Ayah marah untuk beberapa hari.

Tidak paham kalau mencari uang itu tidak serta-merta muncul dari “gaji bulanan”. Ada pertukaran yang dilakukan: entah tenaga, entah uang, entah hutang.

Saya hanya tahu bahwa Ayah terlalu sibuk untuk Ibu, Ibu tidak bisa apa-apa karena sakit. Saya kabur dari rumah, untuk bermain, untuk pergi dari suasana rumah yang tidak enak dan rumah sakit. Nilai saya anjlok. Saya tidak peduli.

Sewaktu Ibu sakit, Ayah-lah yang kesana-kemari mengurus administrasi, menginap di rumah sakit, mencarikan obat. Menemani kontrol dan mengurus semuanya saat Ibu saya tidak bisa bergerak dengan baik. 

Memandikan, membersihkan kotoran, luka yang sulit mengering dan berbau, dan menampung muntah berisi sekian jenis obat keras. Menemani kemoterapi - yang gagal karena tidak cocok dengan efek sampingnya - dan rambut yang terus-menerus rontok. Mungkin hal itu membawa trauma tertentu dalam diri Ayah, karena sampai sekarang, dia seringkali menghindar kalau diharuskan menginap di rumah sakit (untuk menjaga saudara atau yang lainnya). 

Saya sendiri merasakan hal yang sama. Ada kekhawatiran yang tidak bisa dijelaskan bila saya berada di Rumah Sakit, padahal tidak ada hal signifikan yang terjadi.

Kadangkala saya menggantikan Ayah kalau beliau harus ke luar kota dan tidak bisa menjaga Ibu. Saya tidak pernah tenang. Selalu was-was, takut tidak bisa berbuat apa-apa. Saat dihadapkan dengan Ibu yang muntah obat--baunya berbeda dengan muntah makanan--, ada perasaan jijik tapi juga merasa bersalah. Butuh waktu lama sampai saya terbiasa.

Padahal, waktu itu saya tidak diberi tanggung jawab apa pun selain menunggui Ibu beberapa hari seminggu. Tidak memiliki pengertian yang lebih dari sekadar Ibu sakit dan harus berobat. Tidak tahu bahwa ada vonis dokter yang bilang usianya kurang dari setahun lagi, dan Ayah-lah yang mendengarnya.

Saya tidak tahu apa yang dipikirkan Ayah tentang itu; namun yang pasti beliau ada, sampai akhir hayat Ibu. Ayah-lah yang Ibu peluk untuk terakhir kalinya sebelum pergi dari dunia.

***

Saat saya sudah dewasa, saya baru tahu kalau ada cerita suami yang menikah tiga bulan setelah istrinya meninggal. Bahwa suami yang menikah setahun kemudian itu lazim. Bahwa menurut tetangga saya, wajar kalau laki-laki menikah lagi, itu wajib karena ada kebutuhan.

Empat tahun sampai akhirnya Ayah menikah. Ditambah dua-tiga tahun ketika Ibu mulai sakit berat dan mungkin tidak bisa memenuhi kebutuhan beliau. 

Sebelum akhirnya menikah dengan istri keduanya, tentu saja ada yang mendekati--atau didekati Ayah. Ada yang mencoba mendekati kami, anak-anaknya, dengan uang atau barang. Ada yang merengut karena foto-foto Ibu masih terpajang di dinding ruang tamu, ruang tengah, dan kamar. 

Konon ada yang berkomentar bertanya mengapa foto-fotonya masih terpajang. Orang itu langsung diusir.

Dulu saya pikir itu wajar. Tapi kalau dipikir-pikir, ya, siapa yang nggak akan bete kalau pedekate sama orang yang nggak bisa move on? Hahaha. Bikin insecure aja kan ya. Emang risiko sih, tapi maaf ya, buat saya yang sifat monopolinya tinggi, mana sanggup saya jadi istri laki-laki kayak Ayah. 😅

Sekarang, saya berkomentar pada adik perempuan saya. “Kalau aku jadi istri Ayah setelah Ibu, males banget deh. Gagal move on terus, foto mendiang istri aja nggak boleh diturunin!”Adik saya ngakak, saya juga tertawa, karena di balik candaan itu, ada rasa bangga. Dan tentu saja itu jadi sebuah patokan. Kalau saya punya pasangan, saya ingin yang se-kuat Ayah… rasa setianya.

(Tapi kalau sakit berat dulu, jangan sampai sih… saya mau meninggal yang tidak menyusahkan atau berkepanjangan prosesnya.)

Ayah menikah lagi dengan kakak kelas Ibu. Orangnya baik hati, meskipun saya dan adik-adik sempat galak. Meskipun tentu saja sempat drama-dramaan dulu sebelum akhirnya menikah lagi.

In some ways, I can see mother’s resemblance in her. Bukan berarti mirip, tapi feel-nya sama. Meskipun begitu, karena Ayah sepertinya kenal dengan kakak kelasnya Ibu lebih dulu, saya nggak tahu sih siapa mirip yang mana. 😄

Istri Ayah yang kedua tidak pernah minta foto Ibu untuk diturunkan. Tidak pernah berkomentar buruk tentang Ibu kami. Atas dasar itu juga, kami--saya dan adik-adik saya--menghormatinya dan menyayangi beliau, dengan cara yang berbeda dengan kami menyayangi Ibu kami sendiri.

Pernikahan itu tidak bertahan lama--hanya lima tahun--tapi kami masih berhubungan baik dan menganggap satu sama lain sebagai keluarga.

***


Baru-baru ini, Ayah pindah rumah: ke rumah yang tidak jauh dari rumah kami yang lama. Ada keluarga yang memerlukan rumah lebih besar untuk keluarganya yang tumbuh, dan Ayah menawarkan untuk bertukar tambah.

Rumah yang lama memang terlalu besar. Ada lima kamar, sementara penghuni rumah sekarang tinggal tiga (adik perempuan saya pun kost, sehingga tinggal berdua). Sementara rumah yang sekarang jauh lebih kecil, tiga kamar saja.

Dulu, Ibu yang ingin merenovasi rumah supaya kamarnya ditambah. Agar semua anaknya bisa berkumpul dan punya kamar masing-masing. Sayang, dua tahun setelah rumah selesai, Ibu meninggal. Dengan hasil penjualan rumah tersebut, Ayah menyelesaikan semua kewajiban yang tersisa dari pengobatan Ibu yang panjang itu. Wajahnya tampak lega saat akhirnya pindahan selesai.

Duduk-duduk di kursi ruang tamu yang sekarang lebih sempit, dengan foto Ibu yang sekarang sedang dilap untuk dipasang di tempat baru, beliau lebih tenang, wajahnya lebih ringan. 

“Enak rumah yang ini, lebih kecil. Di rumah yang lama keinget Ibu terus.”

Kalau dulu, ketika saya masih kecil dan belum mengerti Ayah, mungkin saya akan sewot. Berpikir bahwa Ayah sekarang mulai melupakan, mau melupakan. Namun siapa lagi yang paling sakit hati, paling merasa ditinggalkan ketika Ibu tiada? Saya tidak bisa mengukur, namun saya tahu Ayah-lah yang kehilangan separuh hidupnya.

Karena itu, mendengar hal itu sekarang, saya dan adik-adik saya turut lega. Sekian belas tahun dan akhirnya Ayah bisa melepas beban itu dengan nyaman. 

Sebagian besar tentu karena beliau akhirnya bisa melunasi sisa hutang pengobatan Ibu, tapi tentu pindah ke tempat baru juga berpengaruh. 😄

***

Ayah dan Ibu saya sungguh bertolak belakang. Ayah tidak banyak bicara, Ibu cerewet; Ibu bersikap seperti teman, dan Ayah bagi saya seperti tiran yang hanya menghukum serta memarahi tanpa tahu apa yang saya jalani. 

Beliau cuek, jarang pulang, ketika bertanya hanya menanyakan Ibu. Kurang apa lagi?

Mungkin karena itu juga, efeknya, saya jadi menganggap Ayah saya sebagai antagonis. Dan Ibu saya si protagonis yang selalu membela serta mengakomodasi. Sehingga saat Ibu tidak ada, tensi kami sama-sama hipersensitif dan mengundang pertengkaran nyaris setiap hari. 

Melihat ke belakang, saya adalah anak yang paling sering adu mulut dengan Ayah saya. Padahal saya punya adik laki-laki juga--yang saya pikir akan adu mulut saat tiba waktunya dia remaja. 

Ternyata tidak, karena saya masih pemegang piala juara. Selain karena saya anak pertama, itu juga karena kami sangat mirip dalam banyak hal.


“Males aku kalau denger kamu debat sama Ayah. Berasa denger orang ngomong sama cermin.”  - Adik perempuan saya, manusia paling jujur pada saya sedunia.


Then again… namanya juga anak muda, banyak dosanya ke orangtua, bahkan sampai sekarang.

Karena meskipun tidak bisa mengatakan dengan baik, Ayah menyayangi kami dengan caranya sendiri. Karena beliau tidak bisa berkata-kata, maka kami-lah yang menangkapnya dari cara beliau bersikap.

Kalau ada cerita orang tua yang mempersulit anaknya menikah, Ayah saya bukan satu di antaranya. Beliau sama sekali tidak “menginterogasi” Abang seperti yang saya lihat di film-film remaja. Tidak menuntut calon suami saya harus a, b, c, d, seperti yang saya lihat di telenovela.

Beliau hanya bertanya pada kami berdua: Kalian yakin? Kalau yakin, maka jalankan. Pilihan sendiri, bertanggung jawablah sendiri. Karena saat menikah, suami istri hanya punya satu sama lain.

“Turuti apa kata suami kamu benar-benar. Bahkan meskipun dia melarang kamu ketemu Ayah, harus dituruti.” Itu kata beliau ketika saya sungkem padanya setelah akad nikah.

Memang berlebihan, karena saya tahu kalau suami saya tidak akan melarang saya bertemu Ayah, dan saya juga tidak akan tinggal diam kalau dilarang. Namun saya paham apa esensi beliau mengatakan itu. Ia telah melepas saya. Peran utama saya tidak lagi jadi anaknya, tapi jadi istri dari seorang laki-laki, dan ia merestui itu.

Dan sungguh; setelah saya menikah, baru saya merasakan apa itu “biduk” rumah tangga. 

Memang, pernikahan saya baru seumur jagung. Namun sedikit banyak saya bisa merasakan mengapa orang-orang bilang menikah itu seperti mendayung bahtera.

Saya pikir dulu Ayah dan Ibu saya mudah-mudah saja untuk bisa menerima satu sama lain, namun memikirkan apa yang telah terjadi, ingatan masa kecil, dan momen-momen yang keluarga kami lewati, coba: 

Apakah saya sanggup menjalaninya kalau saya yang mendapatkan hal tersebut?

Saat suami sakit, saya sudah sangat khawatir dan takut. Saat suami sedang tugas ke luar kota, seringkali saya juga khawatir. Saat saya sakit, tentu saja suami saya juga khawatir, dan saya jadi merasa bahwa saya merepotkan.

Ada waktunya ketika kami bertengkar dan saya khawatir--apakah luka ini akan sembuh? Apakah pernikahan kami akan baik-baik saja? 

Bagaimana cara orangtua saya menghadapi hal semacam ini ketika ini terjadi?

Masih panjang jalannya untuk kami.

Karena Ayah percaya pada pilihan saya, pilihan kami untuk berumahtangga; maka saya juga akan percaya pada kemampuan kami untuk menjaga rumah tangga ini.

***

Ayah saya sampai sekarang masih kaku dan susah ngobrol dengan anak-anaknya. Tapi kami perlahan tahu cara bicara dengan beliau, dan mengerti kalau beliau hanya ingin didengarkan bercerita - namun kesulitan mengatakannya.

Saya juga masih terus belajar tentang cara berkomunikasi dengan beliau. Masih hanya bisa memeluk beliau beberapa tahun sekali, karena tidak terbiasa. Masih kaku juga dalam merespons dan bercerita.

Ayah saya sampai sekarang masih tidak berekspresi, jarang sekali mengatakan hal yang ada di hatinya. Beliau hanya sempat menikah tujuh belas tahun, terlalu sebentar dibandingkan Ibu-Bapak Mertua yang sudah puluhan tahun.

Namun dari Ayah-lah saya belajar tentang arti kesetiaan: tentang menemani pasangan hidup sampai akhir hayat, dan menjaga anak-anak sepenuh badannya mampu.

Seorang panutan yang sampai sekarang tidak tergantikan.


Terima kasih sudah membaca.
 
Salam,
Mega