Sejak beberapa tahun terakhir, saya merasa lebih jarang membaca buku. Tidak menaruh prioritas lagi untuk membeli buku, dan merasa sudah cukup dengan membaca artikel, adalah beberapa penyebabnya. Selain itu juga ada alasan klasik: Tidak ada waktu, yang sebenarnya bisa ditukar dengan waktu lain seperti waktu scrolling social media atau main game.

Memang, saya masih rajin membaca artikel. Terlebih karena saya sendiri juga menulis blog dan selalu senang membaca artikel bertopik lifestyle maupun blogging. Namun, bagaimanapun, buku berbeda dengan artikel: biasanya materi buku lebih dalam dan sistematis, sehingga membuat apa yang dipelajari jadi lebih banyak. 

Oh, saya juga berhenti sama sekali membaca fiksi, karena ya itu: tidak ada akses ke buku, dan malas membeli buku. Tempat tinggal saya sekarang sempit, tidak ingin menambah sempit dengan buku.

Kalau dulu, saya suka main ke taman bacaan dan meminjam novel dari sana. Tetapi dengan mobilitas yang sekarang, rasanya saya sudah tidak ingin menaruh kewajiban mengembalikan buku ke taman bacaan ke dalam kegiatan sehari-hari. (Di dekat saya juga belum ada taman bacaan yang pakai sistem delivery seperti di tempatnya Lia, hehe) Pokoknya mau yang ringkas dan mudah.

Opsi perpustakaan digital dan ponsel pun sudah saya coba jajal. Membaca di ponsel itu tidak nyaman: layarnya kecil dan sulit berkonsentrasi untuk waktu yang lama. Selain itu ponsel terlalu banyak distraksi. Sewaktu-waktu bisa ada pesan tentang pekerjaan, bikin saya hilang mood membaca -- atau  malah buka game, sosial media, YouTube dan yang lainnya. 

Aplikasi-aplikasi itu lebih atraktif daripada membaca buku, dan semua sama-sama mudah dijangkau dengan sentuhan jari. Ponsel bagi saya adalah alat komunikasi dan distraktor. 

Saya perlu benda lain yang bisa membuat saya berkomitmen pada waktu membaca.

Maka, tahun 2020 lalu, saya membuat sebuah "investasi" alias membeli sesuatu. Enter E-reader to the game.

Mengapa E-Reader, dan bukan Tablet Computer? 

Pertanyaan itu disampaikan oleh suami saya waktu saya memutuskan beli E-reader. Tentu saja karena dia menilai E-reader tidak ekonomis: dengan harga yang sama, kita bisa dapat Android tablet dengan fasilitas yang lebih banyak. 

Kalau mau layar baik, apa tidak lebih baik dibelikan Apple iPad (dengan menambah biaya, tentu saja)? Apalagi saya bisa membaca e-book berwarna, sesuatu yang tidak bisa dilakukan E-reader yang hendak saya beli.

Alasan saya ada dua: yang pertama, teknologi layar. Layar E-reader menggunakan teknologi e-ink display, yang berbeda dengan teknologi layar smartphone atau tablet. Layar ini dirancang agar memiliki pengalaman seperti kertas dan lebih hemat daya. Tidak mengeluarkan cahaya sendiri, jadi lebih ramah ke mata.

Berbeda dengan LCD yang agak sulit dibaca di bawah matahari, e-ink display malah berjaya di bawah sinar karena tidak memantulkan cahaya dan menimbulkan efek glare. Penampakannya persis sekali kertas. E-reader juga ini masih bisa dipakai membaca di dalam kondisi cahaya rendah, karena E-reader yang saya miliki punya fitur front light yang mencahayai layar.

Soal apakah layar ini lebih sehat ke mata, masih diperdebatkan. Tapi saya sendiri memang merasakan mata lebih rileks saat membaca karena tampilan layarnya lebih mirip dengan kertas. 

Alasan kedua, karena saya memang benar-benar mau meningkatkan waktu yang saya habiskan untuk membaca buku. Saya perlu alat yang bisa membantu saya fokus. Meminjam atau membeli buku fisik tidak jadi opsi, dan E-reader membantu saya untuk fokus pada bacaan karena dia tidak memiliki fitur lainnya. Nggak ada notifikasi, nggak ada godaan buka sosial media.

Pilihan Merek E-Reader

beberapa pilihan e-reader. Sumber: theverge


Amazon Kindle memang promotor E-reader yang memopulerkan penggunaan alat ini, namun pilihan e-reader tidak hanya dari Amazon. Ada beberapa merek yang bisa dijadikan pilihan, misalnya Kobo, Onyx Boox, dan Nook (sudah discontinued). 

Xiaomi juga turut mengeluarkan E-reader versi mereka dengan nama Mi Reader. Kobo, Onyx Boox, dan Kindle punya beberapa seri dengan tingkatan harga yang berbeda pula. Kalau mau baca lebih lanjut soal e-reader sebelum membeli, bisa mengecek ke beberapa situs review seperti goodereader, atau komunitas seperti FKI (Forum Kindle Indonesia) di telegram. 

Saran saya, kalau memang baru pertama kali mencoba E-reader, bisa memilih dari yang paling pas di dompet dulu. Kalau nyaman, baru upgrade ke jenis yang lebih bagus bila diperlukan. Karena fitur yang basic biasanya sudah cukup untuk pengguna pemula.

E-Reader yang Saya Gunakan adalah Amazon Kindle Basic 10th Generation (2019).

Kindle ini saya beli dari teman. Dia beli baru, tapi hanya digunakan tiga bulan: setelahnya tidak pernah digunakan sama sekali. Saat saya mengutarakan niat untuk membeli Kindle juga, saya malah ditawarkan punya dia dengan harga yang bagus alias tidak mahal. Karena kebetulan uangnya ada, saya beli deh.


Kindle Basic 2019 (10th generation), dengan iklan yang muncul pada screensavernya


Amazon agak memusingkan dalam menamai generasi E-Readernya, jadi untuk lebih mudahnya kita sebut saja dia Kindle Basic 2019. Berbeda dengan generasi Basic sebelumnya, Kindle ini sudah dilengkapi front light alias lampu, sehingga bisa membaca di dalam gelap. 

Resolusi layar 167ppi - termasuk rendah, tapi cukup kalau hanya untuk membaca teks. Selain itu, Kindle juga bisa dipakai untuk mendengarkan audiobook menggunakan koneksi bluetooth headset.

Versi yang saya beli ini menampilkan iklan (ads) pada layarnya. Tapi iklan yang diberikan Amazon tidak intrusif: hanya muncul di footer Amazon Kindle Store saat kita browsing buku, dan sebagai iklan di screensaver saat layar Kindle kita idle. 

Saya malah suka penasaran kalau habis melakukan sinkronisasi Kindle menggunakan wi-fi, kira-kira setelah ini iklan buku apa yang akan muncul, hehehe.

Kapasitasnya 4GB. Versi 2020 saat ini menawarkan 8GB untuk versi basic. Toh dengan hanya 4GB saja, saya sudah bisa menampung ribuan buku, kalau hanya berisi teks. Lain lagi kalau sering mengunduh audiobook, pasti akan cepat habis. Tapi, saya juga tidak menggunakan fasilitas itu, jadi kapasitas yang sekarang sudah lebih dari cukup.

Aplikasi Kindle juga bisa diakses menggunakan smartphone. Kalau kebetulan saya tidak membawa E-reader-nya, saya bisa membaca koleksi buku saya yang tersinkronisasi di aplikasi versi ponsel. Karena tujuan utama saya membaca di E-reader, jadi saya tidak mengunduh aplikasi untuk ponsel ini.

Bagi yang suka menggunakan Goodreads untuk men-track bacaannya, Amazon menyediakan koneksi langsung ke Goodreads. Progres membaca bisa diperbarui secara otomatis, dan kamu bisa memilih langsung buku yang mau dibeli lewat Goodreads yang bisa diakses langsung dari Kindle.

Kelebihan menggunakan E-Reader

Ukuran pas dan kustomisasi mudah

Kindle ini ukurannya lebih kecil daripada ukuran buku fisik yang umumnya saya baca. Bisa dibawa dengan satu tangan dan sangat ringan. Dengan ukuran 6 inci, saya pikir akan kurang besar, namun ternyata nyaman sekali membaca menggunakan alat ini. Dibawa ke tempat kerja, mudik, ditaruh di laci mobil juga bisa. Praktis benda ini selalu saya bawa kemana-mana, dan dengan sendirinya meningkatkan kemungkinan saya untuk membaca.

Tampilannya pun bisa dimodifikasi sesuai dengan keinginan. Mau ganti huruf? Bisa. Mau ukuran huruf lebih besar atau kecil? Bisa juga. Semuanya dijamin akan tetap nyaman di mata. Membaca di bawah sinar matahari pun no problemo.

Fitur kamus dan highlight

Kadang, kalau membaca buku berbahasa Inggris, ada kata-kata yang terlalu sulit untuk diterjemahkan dalam kepala karena jarang ditemui. Tentu saja kita bisa mencari apa arti kata yang sulit menggunakan ponsel, tapi lebih enak kalau bisa langsung ngecek di E-readernya kan? 

Dengan fitur kamus yang ada di e-reader ini, saya bisa mengklik kata yang tidak dipahami, dan deskripsinya akan langsung muncul (secara offline). Selain itu, saya bisa menandai kalimat-kalimat yang penting tanpa harus "mengotori" halaman buku seperti saat saya menggunakan buku fisik.

Akses ke banyak buku sekaligus

Tentu saja yang paling bikin saya senang adalah ini: Kindle bisa muat banyak dibandingkan buku yang menghabiskan tempat. Saya bisa saja menghabiskan satu buku di satu tempat, dan bisa lanjut memilih buku yang lain. Begitu juga kalau saya pergi jauh ke tempat yang tidak ada sinyal, dan ingin membawa buku untuk hiburan. Tidak perlu bingung memilih karena semua koleksi ada di alat yang saya bawa.

Kindle store menyediakan banyak sekali pilihan buku, sampai bingung harus mulai cari dari mana. Enaknya, kadang ada diskon - mereka sering mengadakan Kindle deals dengan harga yang dimulai dari USD 0.99. Nggak sampai satu dolar! Begitu beli, bukunya langsung ada di perangkat kita.

Baterai tidak cepat habis

Amazon mengklaim baterai Kindle bisa bertahan selama satu bulan dengan syarat dan ketentuan: tidak menggunakan cahaya dan hanya membaca untuk tiga puluh menit setiap hari. 

Dalam kasus saya, saya menghabiskan satu sampai dua minggu sampai perlu mengisi dayanya lagi. Tidak sesuai dengan klaim Amazon, tapi tentu saja lebih lama daripada baterai ponsel yang perlu minimal satu hari sekali.

Front light digunakan saat membaca di ruangan yang redup. 

Kelemahan Menggunakan E-Reader

Ekosistem buku terbatas

Karena Kindle berasal dari Amazon, tentu saja pilihan buku saya juga terbatas dari Amazon Store, yang tidak membuka layanan di Indonesia. Alhasil saya menggunakan Amazon US dan membayar menggunakan Paypal, menambah satu langkah yang lebih repot. 

Hal itu tentui akan menyulitkan kalau tidak memiliki kartu kredit atau VCC. Hal ini juga terjadi pada E-reader dengan ekosistem yang lain: Kobo, misalnya, menggunakan Kobo Store.

Meskipun pilihan buku di sana puluhan ribu, tidak ada buku Indonesia - kecuali buku Indonesia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Saya juga tidak bisa memasukkan buku yang saya beli dari platform lain (seperti Google Playbooks atau Gramedia Digital), kecuali dengan cara-cara tertentu... yang akan dijelaskan di poin berikutnya.

Perlu pengetahuan software khusus

Format buku untuk Kindle adalah .azw. Kindle bisa membaca format .pdf dan .mobi dengan baik, jadi kalau punya buku dengan format tersebut, bisa langsung dimasukkan tanpa konversi. Namun untuk memasukkan e-book format lain seperti .epub, atau yang dibeli dari platform lain, kita harus menggunakan software khusus untuk mengkonversi dan caranya agak merepotkan kalau baru pertama kali.

Tentu saja, cara di atas sebenarnya ilegal. Adakah E-reader yang bisa mengakses Google Playbooks atau Gramedia Digital? Ada, namun harganya jauh lebih mahal. Saya pribadi nggak suka mengakses Gramedia Digital karena tampilannya terbatas - tidak bisa mengubah huruf di pdf bukunya, misalnya.

Harga cukup mahal untuk fitur tertentu

Harga E- reader dengan fitur basic dimulai dari satu setengah juta rupiah. Harga ini cukup mahal kalau dibandingkan dengan ponsel yang serba bisa, sementara E-reader hanya untuk membaca. Apabila ingin E-reader yang lebih baik kualitasnya, seperti tahan air, ketajaman layar yang lebih atau bisa mengakses aplikasi membaca yang lebih banyak, harganya bisa mencapai tiga juta rupiah.

Kabar baiknya, fitur dasar E-reader sudah cukup untuk pembaca kasual. Selain itu banyak juga barang second yang dijual dengan kondisi masih bagus. Apabila baru mau coba-coba, baiknya mempertimbangkan kemungkinan ini sebelum berinvestasi pada jenis yang lebih mahal.

Baterai bisa habis dan bisa rusak

Meskipun saya bilang di atas bahwa baterai E-reader awet, tetap saja E-reader adalah barang elektronik. Kalau kita tidak teliti, sewaktu-waktu dayanya bisa habis ketika kita lupa charge. Walaupun sedang tidak dipakai, sebaiknya dicek baterainya minimal seminggu sekali.

 Selain itu, E-reader juga memiliki risiko yang sama seperti alat elektronik lainnya: bisa rusak atau kena air (bagi E-reader yang tidak tahan air). Kalau sudah begitu, biaya menggantinya juga bisa lebih mahal dibandingkan mengganti satu buku fisik yang basah. Buku fisik juga masih dikeringkan di atas genteng :D

Nemenin perjalanan jauh? Tentu saja dong.

Final Verdict: Best Purchase of 2020

Terlepas dari kekurangannya, saya merasa E-reader ini adalah best purchase saya untuk tahun 2020. Memang sih, saya tidak banyak membeli barang yang mahal di tahun 2020, malah kebanyakan beli makanan. Namun, benda ini sudah meningkatkan waktu membaca saya setiap harinya. 

Saya sudah menamatkan beberapa buku dengan benda ini; masih sedikit memang, namun dibandingkan saya yang jarang sekali membaca buku tahun sebelumnya karena terlalu banyak baca artikel, ini peningkatan sekali.

Yang sedih, memang karena tidak ada akses untuk membeli buku Indonesia di Kindle. Memang tidak memungkiri ya, selain membeli dari Kindle Store, saya juga memasukkan koleksi e-book yang sudah disimpan dari jaman purba alias e-book ilegal. Kemudian saya juga mengunduh beberapa buku Indonesia yang memang saya miliki fisiknya. 

Ke depannya mungkin saya mau coba konversi buku dari pembelian di Google Playbooks ke Kindle. Soalnya memang berasa gimana gitu, kalau nggak beli bukunya, apalagi kalau bukunya saya suka.

Kalau teman-teman, lebih suka baca lewat apa? Buku fisik tetap juara, atau sudah beralih ke versi elektronik?

Salam,
Mega