Featuring: Milk Makeup
Selasa, Maret 29, 2016
Make up, alias kosmetik, buat saya merepotkan. Kita cuma punya waktu dua puluh empat jam setiap harinya, dan sepuluh jam lebih dihabiskan untuk bekerja serta commuting.
Saya waktu SMA yang cuma dandan di hari libur sih nggak masalah. Tapi kalau tiap hari? Buat saya lebih baik menyediakan waktu untuk yang lain saja deh. Bukannya nggak mau dandan, tapi itu lho masalahnya. Repot!
Saya waktu SMA yang cuma dandan di hari libur sih nggak masalah. Tapi kalau tiap hari? Buat saya lebih baik menyediakan waktu untuk yang lain saja deh. Bukannya nggak mau dandan, tapi itu lho masalahnya. Repot!
Despite those facts, I like make-up. Every girl has their own way to be pretty, and we choose make up as one way to get it. Lipstik pertama saya miliki waktu SMP, dan ketika SMA, saya mulai belajar memilih warna lipstik mana yang nggak akan bikin wajah saya kayak monster. Saya juga mulai mengoleksi decorative make up, and soon I have a little shelf full of beauty products.
Lewat setahun-dua tahun, saya bosan. Yang membekas dari kosmetik bagi saya adalah: it's expensive, a lot of stuff has to be done, and time consuming.
Plus, memakai makeup itu 'berat' formulanya, rasanya berlapis, dan kulit saya yang mudah berjerawat jadi semakin sensitif. Maka saya pun berhenti memakai kosmetik lengkap. Kulit sehat menjadi fokus utama, plus lipstik, dan selesai sudah.
Sewaktu melihat info tentang Milk Makeup, pikiran saya soal "make up itu repot" semacam sirna.
A Lunch Date with Mom (That Would Have Been)
Jumat, Maret 25, 2016
Keluarga kami menaruh foto-foto Ibu sebagai memento di seluruh rumah. My father is particularly fond of this. Beliau termasuk tidak suka memajang foto di dinding - but when Mom passed away he pinned those photos into walls like crazy.
Kadang saya dan adik saya akan mengobrol dan salah satu dari kami akan membuat sebuah remark tentang Ibu, sambil melirik ganas pada foto itu seakan-akan orangnya bisa dengar. Kadang saya misuh-misuh sambil separuh curhat sambil melihat foto yang jauh tergantung di dinding. Yang sering kami lakukan adalah memprediksi atau membayangkan apa yang akan terjadi kalau sekarang Ibu masih hidup, dan sikapnya terhadap segala technology advancement - sambil menatap foto beliau tepat di mata, nonetheless. Menanti balasan hinaan dari beliau yang (untungnya? sayangnya?) nggak ada.
Ibu adalah seorang yang (sok) trendi dan selalu berusaha menyesuaikan suhu dengan anak-anaknya, jadi memikirkannya saja sudah. Ngomong-ngomong, saya sebenarnya selalu merasa Ibu licik: saya hanya bisa membayangkan Ibu saya dengan wajahnya terakhir kali, sementara saya sudah bertambah tua hampir sembilan tahun. Dying young was terrible but sure has some advantages.... no, I was just satirical. Sorry Mom.
Well, I'd love to have a lunchdate with Mom in a present day timeline (I still want to be alive though).
Mengatur Keuangan Pribadi dengan Monefy
Selasa, Maret 22, 2016
Sering merasa sudah kehabisan uang, padahal masih tengah bulan?
(Ayo bilang sering dong, biar saya ada teman).
Mengatur keuangan memang tricky. Tanpa pengelolaan yang baik, gaji yang jumlahnya tampak banyak di awal bulan pun bisa habis tak tersisa. Sebaliknya, kalau pengelolaannya bagus, sebesar apa pun pendapatannya bisa dimaksimalkan.
Ini bukan soal pendapatan. Kak Alodita - Lifestyle blogger yang sudah well-known pun, membahas soal ini di blognya beberapa waktu lalu.
Saya sering banget ngerasa sejahtera di awal bulan, lalu jadi super menderita di akhir bulan. Sampai bingung sendiri kenapa, padahal perasaan sih sudah diamankan. Nyatanya kalau dana habis ya habis saja.
And it's no magic trick. Solusi utamanya adalah mencatat pemasukan dan pengeluaran dengan rinci secara rutin. Jadi kita bisa tahu ke mana larinya uang kita dan kondisi keuangan dengan keseluruhan.
Biarpun kita sudah tahu manfaatnya mencatat jurnal keuangan secara rutin, tetap saja kita masih suka malas mencatat. Atau rutin mencatat untuk satu minggu, untuk kemudian dilupakan. (dan nangis lagi di akhir bulan).
Enter monefy, a simple money management software available on android.
Weekend Book Club: Yasunari Kawabata
Jumat, Maret 18, 2016
not the actual published cover. |
Beberapa waktu lalu saya sudah janji pada diri sendiri untuk membaca buku lebih banyak. Nah, dua judul buku di atas adalah dua buku yang saya baca bulan Februari kemarin. Memang sih, I kind of cheating karena membaca buku ini dalam bentuk ebook (bajakan). Habis, cetakan Indonesianya sudah lama. Selain itu, saya memang hanya ingin membaca yang bahasa Inggris karena faktor penerjemahnya: Khususnya Snow Country.
Siapa itu Yasunari Kawabata? Beliau adalah pemenang Nobel literatur pertama dari Jepang (tahun 1968). Karya-karyanya dikenal karena kelihaian prosa dan kepandaiannya meramu kata-kata. Saya 'berkenalan' dengan beliau lewat situs rekomendasi bacaan Goodreads. Dua novel yang saya baca merupakan judul yang disebut dalam penganugerahan nobel tersebut.
"for his narrative mastery, which with great sensibility expresses the essence of the Japanese mind....."
Ngomong-ngomong, kedua novel ini pendek, hanya berkisar 200-an halaman. Maka dari itu juga saya senang membacanya. (wink wink). So without further ado, here's my kind of (super) short review.
Minimalism: A state of mind about Less is More
Selasa, Maret 15, 2016
Apa yang terbayang di kepala ketika mendengar atau membaca kata Minimalism?
Warna serba putih dan ruangan kosong? Traveling keliling dunia dengan satu tas ransel?
Buat kita yang bekerja kantoran atau memiliki komitmen keluarga, will sneers at this.
We heard "minimalism" word a lot these days. These past years minimalism and slow movement exploded like crazy, especially in USA. Majalah Kinfolk adalah salah satu majalah yang mengapresiasi dua konsep tersebut secara penuh.
Well, untuk kasus ekstrem, memang bisa saja begitu - seperti orang yang hanya memiliki 15 barang ini.
Secara singkat, minimalisme berarti hidup dengan sederhana - mengurangi barang-barang atau sesuatu yang membuat kita tidak bisa menikmati hidup dengan maksimal. Dengan mengeliminasi yang tidak perlu, maka kita bisa berfokus pada hal lain yang lebih penting.
Hal yang bisa dieliminasi ini bisa berupa apa saja: barang yang dimiliki, keinginan membeli, proyek, sampai komitmen untuk suatu kegiatan.
Sekilas memang seperti mengorbankan kesenangan hidup. Kalau begitu, mengapa gaya hidup ini menjadi begitu populer?
Some Tiny Reasons to Choose Public Transport
Jumat, Maret 11, 2016
Tinggal di Bandung membuat saya tidak bisa menggunakan MRT seperti teman-teman di jabodetabek sana. Simply speaking, Bandung lebih kecil dan sejak dulu sarana transportasi umum yang tersedia hanyalah angkot dan bus.
Sehari-hari, saya menggunakan angkot. Perjalanan bisa mencapai dua jam terutama kalau sedang waktu macet. Kalau tidak macet, setidaknya bisa berkurang jadi satu jam.
Terlepas dari ongkos yang masih relatif mahal dan regulasi yang nggak jelas, ditambah sopir ugal-ugalan, saya masih mengandalkan transportasi publik. Ada beberapa keuntungan yang membuat saya lebih memilih angkot dan transportasi publik lainnya daripada pindah ke geng motor:
Langganan:
Postingan (Atom)