by Nada Hanifah

Sebelum menikah, kegiatan saya setelah gajian adalah memetakan apa yang diperlukan oleh rumah: tagihan bulanan, asuransi orangtua, uang saku adik, belanja bulanan dan kebutuhan makanan, serta menyimpan sedikit-sedikit untuk keperluan Idul Fitri dan keperluan tahunan lainnya.

Setelah memastikan sudah menabung untuk keperluan membayar sekolahnya, baru saya bisa memilah kebutuhan untuk diri sendiri.

Setelah menikah, hal itu tidak banyak berubah. Hanya saja kali ini saya punya rumah tangga sendiri yang juga harus diatur keuangannya, dan adik yang bekerja sudah bertambah satu. Alih-alih sendiri, sekarang kami berembuk berdua kalau ada pengeluaran yang out of hand. 

Kadang saya mendengar adik saya curhat soal pengeluaran di rumah, kadang saya curhat nggak bisa ngirim uang lebih.

Kadang kami berbagi rekomendasi tempat jajan kalau sudah pusing. (Yeee)

Yang akrab dengan situasi seperti di atas, tentu bukan cuma saya.

Topik Generasi Sandwich termasuk topik yang “hangat” dibicarakan beberapa tahun terakhir. Sepertinya ini adalah salah satu hal yang banyak dihadapi generasi yang sekarang sedang berada di usia aktif-produktif, alias generasi Milenial.

Penyadaran diri saya sebagai Generasi Sandwich adalah pintu masuk saya menuju pengelolaan finansial yang lebih baik. Kalau nggak punya pengalaman ini, belum tentu saya belajar mengelola keborosan saya yang paripurna, hahaha. 

Di artikel ini, saya mau berbagi sekaligus cerita-cerita aja.

Oh iya, Generasi Sandwich yang saya maksudkan ini lebih ke bagian pembiayaan, ya. Saat ini orangtua saya masih aktif dan sehat untuk beraktivitas sehari-hari. Jadi pengalaman yang bisa saya bagikan adalah berdasarkan patokan tersebut.

Generasi Sandwich Akrab Dengan Hal-hal Ini
template dari canva! 😁

Generasi Sandwich Memiliki Kekhawatiran Finansial yang Tinggi

Generasi Sandwich rasa apakah kamu? Rasa buah atau rasa ayam? Saya lebih suka isi mayones telur (apa sih).

Semua situasi dan kondisi orang bisa berbeda-beda, namun pada umumnya, Generasi Sandwich akan akrab dengan hal-hal berikut:

Sebelum lulus kuliah atau setelah lulus kuliah, memiliki tekanan besar untuk mencari pekerjaan yang stabil dan/atau berpenghasilan besar, karena harus membantu membiayai keluarga. 

Anxious dan sering khawatir soal uang. Harus mengesampingkan keinginan sendiri karena selalu ada kebutuhan keluarga yang lebih urgent.

Memiliki keraguan untuk memulai kehidupan sendiri, karena tidak yakin bisa memenuhi kebutuhan itu bersamaan dengan kewajiban membiayai keluarga. 

Menyalahkan diri karena belum bisa sukses atau memenuhi kebutuhan orangtua dan keluarga dengan layak. 

Rentan terserang krisis percaya diri karena merasa tertekan dengan kewajiban yang ada, dan merasa tidak bisa mengembangkan diri sendiri. 

Rentan dengan penyakit iri juga, terutama melihat teman-teman yang (sepengetahuan kita) tidak harus membiayai orangtua dan nampaknya sudah lebih “maju” dengan hidupnya. 🙂 Alih-alih produktif, hal ini malah jadi membunuh produktivitas karena kecenderungan self-loathe. 

Seringkali kesulitan mengelola uang: secara teori memahami, namun secara praktek sulit karena kalah dengan dorongan psikologis. 

Seringkali mengabaikan kebutuhan untuk diri sendiri, namun juga rentan terjebak self-reward karena sudah bekerja keras. (Hey, you do!) 😄

💖💚💖💚

Ada yang bisa menjadikan situasi ini sebagai situasi pembalik: penambah motivasi untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik, dan akhirnya memutus rantai ini untuk selamanya.

Namun masih lebih banyak juga yang berjuang dalam kehidupan sehari-harinya. 

Saya juga, adalah orang yang masih dalam proses. Hal tersebut adalah hal yang seringkali saya rasakan dulu.

Ketika tidak dikelola dengan baik, pemikiran-pemikiran “racun” seperti di atas bisa menjadi bumerang. Bukannya maju untuk kehidupan yang lebih baik, malah terjun ke dalam spiral kesulitan keuangan yang terus-menerus.

Semua membaik lima-enam tahun terakhir, seiring dengan kepercayaan diri sendiri saya tentang mengelola uang. Pemikiran seperti itu kadang masih ada, namun bisa saya kelola dengan baik dan tidak berlama-lama.

Saya nggak akan nulis motivasi-motivasi untuk keluar dari rantai Generasi Sandwich, karena saya yakin teman-teman sudah memiliki keinginan itu dan sedang berjuang ke sana. Keseharian yang kita hadapi tentu mirip, jadi saya hanya akan berbagi hal-hal yang saya lakukan, agar setidaknya bisa menghadapi situasi ini lebih baik.

Memang, sekarang saya belum kaya raya. Jadi nggak bisa bilang hal-hal di bawah membantu saya keluar dari situasi Generasi Sandwich. Nggak bisa bilang juga saya sudah mapan karena sekarang pun kami masih meniti jalan ke sana.

But why not?

Let’s just celebrate being us, dan tetap berusaha serta berproses setiap harinya. (Ya, istirahat juga bagian dari proses.)

by the creative exchange

8 Strategi Saya Mengelola Keuangan Sebagai Generasi Sandwich

Sebelum Ibu saya meninggal, keluarga kami terhitung berkecukupan. Dua jenis pemasukan serta suami istri yang saling mendukung adalah dasar utama keluarga kami untuk keuangan yang stabil.

Kami bukan orang kaya, tapi saya nggak pernah merasakan kekurangan di masa kecil--kecuali sejenak saat krisis moneter 1998. Entah apa saja yang orangtua saya korbankan demi kehidupan kami yang layak.

Setelah Ibu tidak ada, keadaan menurun secara signifikan. Awalnya saya nggak memperhatikan, tapi sepertinya pembayaran sekolah saya seringkali terlambat, uang saku tertunda, dan kami harus mengetatkan penghasilan. Memang agak lama saya baru menyadari karena nggak peka hahaha.

Masuk ke masa kuliah dan makin paham dengan situasi keluarga, menjadikan saya ingin lulus secepatnya dan mendapatkan pekerjaan. Pun, saya menuntut diri sendiri untuk mendapatkan pekerjaan yang stabil, karena dengan cara itu saya bisa “mengamankan” situasi keluarga.

Dulu saya sempat berpikir, saya mungkin nggak boleh menikah sebelum adik-adik saya “mapan”. Saya nggak boleh mengurus diri sendiri sebelum adik-adik saya “selesai”.

Hal ini memberikan tekanan tersendiri untuk yang sebenarnya tidak perlu.

Sekarang situasi sudah jauh lebih baik. Wow, saya aja nggak menyangka saya udah nikah sekarang hahahaha. Adik-adik sudah semakin besar, satu adik sudah bekerja. 

Tentu saja masih ada halang rintang dalam berbagai sisi kehidupan setiap harinya, tapi saya menikmatinya, toh hidup memang harus ada perjuangannya biar seru. 💁

Mengelola keuangan pada dasarnya juga adalah tentang seni berkomunikasi. Dan sebagai Generasi Sandwich, hal-hal yang harus kita kelola tidak hanya angka, namun juga membatasi diri dan sekitar. Strategi yang dilakukan tidak melulu berkaitan dengan keuangan namun juga perasaan.

Sampai sekarang, saya masih memegang hal-hal di bawah ini sembari mengelola keuangan sendiri dan keluarga besar:


Komunikasi dengan Keluarga Adalah Kunci Utama

Berada dalam posisi sandwich seringkali membuat kita banyak membiayai pos-pos keuangan di rumah. Belum lagi iuran-iuran ekstra yang suka muncul mendadak, maupun permintaan lainnya

Kalau masih bisa memenuhi kebutuhan tersebut, you go! Tetapi kalau memang kondisi keuangan sedang mepet dan sebenarnya sedang tidak mampu, jangan memaksakan diri. Bilang jujur kalau memang sedang tidak mampu pada bulan tersebut, atau mungkin tidak dapat memfasilitasi hal tersebut.

Menjadi breadwinner di rumah bukan berarti punya kewajiban mewujudkan semua keinginan. Boleh menolak kok kalau memang tidak sanggup. Namun, mungkin ada anggota keluarga yang belum tentu mengerti; saat ini terjadi, komunikasikan dengan anggota keluarga yang lain agar paling tidak punya back-up.

Menanggung finansial keluarga pun tidak harus sendirian (kecuali kalau memang anak tunggal--hal yang tidak bisa saya jelaskan karena saya bukan anak tunggal).

Saat adik saya mulai bekerja, saya berdiskusi tentang pembagian anggaran dan adik ikut berkontribusi juga. Jadi, sekarang saya nggak sendirian lagi. 😄


Komunikasikan dengan pasangan

Bagi yang punya pacar, apalagi hendak atau sudah menikah, bagian ini sangat penting. Ketika menikah, cita-cita finansial tidak lagi hanya untuk sendiri, tapi juga bersama pasangan. Transparansi soal keuangan sangat diperlukan termasuk bagian ini.

Jangan menutup-nutupi. Katakan dengan jujur penghasilan digunakan untuk apa, dan berapa yang dialokasikan untuk keluarga setiap bulan, karena hal ini akan terus-menerus dilakukan.

Pengertian sejak awal akan sangat membantu, terutama ketika harus mengambil keputusan-keputusan besar nantinya.

Jujur, hal ini adalah hal yang membuat saya tidak pede soal mencari pasangan, hahaha. Tapi pasangan saya Alhamdulillah nggak keberatan.

(Tentu saja, karena kalau dia keberatan, kami nggak bakal nikah wk wk wk).

Bagi saya, kalau pasangan saya nggak menerima kewajiban saya yang ini, sama dengan nggak menerima saya dan keluarga. Jadi ya mending nggak usah jadi sekalian. Ada kasus yang begitu juga dan bikin saya mundur mundur mundur, but now I can’t be happier!


by Taylor Hernandez

Ketahui besaran penghasilan dan pengeluaran pasti

Bagian ini sangat penting, terutama ketika ada di rumah tangga dengan dua penghasilan. Karena pada umumnya perempuan juga bertindak sebagai pengelola keuangan untuk biaya rumah tangga, otomatis kita juga menerima tanggung jawab untuk pengelolaan dana yang berasal dari suami.

Nah, mengetahui penghasilan dan pengeluaran secara pasti itu wajib, agar kita memiliki data yang transparan dan dapat diakses setiap waktu. Hal ini akan menghindarkan diri dari prasangka-prasangka serta amit-amit, pertengkaran karena masalah keuangan.

Terlepas dari Generasi Sandwich atau enggak, rasanya semua rumah tangga harus melakukan ini.

Ketika saya berkontribusi ke dua rumah tangga, hal ini jadi sangat penting. Saya mencatat berapa pengeluaran saya untuk pribadi, untuk rumah keluarga, serta rumah tangga sendiri secara rinci. Dengan demikian, ketika ada bahasan finansial dengan suami, saya memiliki data dan suami saya pun tidak perlu bertanya-tanya.

Mengetahui penghasilan dan pengeluaran juga bisa membantu kita membangun perencanaan keuangan ke depan. Kita bisa mengetahui besaran realistis yang dapat kita capai untuk berbagai tujuan; misalnya membeli rumah. Pos-pos mana yang harus dihemat ketika kita sedang ada kebutuhan yang lebih genting. Untuk perencanaan, bisa mulai dengan budgeting sederhana.

Baca Juga: Budgeting, Agar Pendapatan Tidak Habis di Tengah Bulan


Utamakan mengumpulkan dana darurat

Dana darurat, sesuai namanya, adalah uang yang tersedia sewaktu-waktu dan mudah diambil, untuk keperluan darurat. “Darurat” di sini berarti keadaan yang memang benar-benar genting, seperti kecelakaan, bencana, atau kondisi di mana terjadi lumpuh penghasilan alias PHK.

Besaran dana darurat bervariasi, namun kebanyakan menyarankan minimal 3 bulan sampai 1 tahun pengeluaran bulanan. Bagi yang masih sendiri dan sudah berkeluarga tentu memiliki jumlah yang berbeda.

Bagaimana dengan Generasi Sandwich? Menurut saya, ini sama dengan dua rumah tangga sekaligus. Dengan demikian, idealnya dana darurat yang dimiliki mencapai satu tahun pengeluaran bulanan.

Disebut ideal karena bagi Generasi Sandwich sendiri, menabung sudah merupakan suatu challenge.

Baca Juga: 6 Cara Membiasakan Diri Menabung (Untuk Orang yang Boros)

Karena itu, saya memutuskan untuk tidak terlalu bergantung pada ideal, tapi tetap berusaha mengumpulkan. Sampai saat ini, dana darurat yang saya miliki belum mencapai satu tahun pengeluaran bulanan. Setiap sudah terkumpul berapa bulan, selalu ada biaya-biaya tak terduga yang memang akhirnya memangkas tabungan yang ada.

Namun, dari pengeluaran-pengeluaran tak terduga itu saya juga belajar memetakan pengeluaran di bulan berikutnya. Pengeluaran “tak terduga” yang bisa diprediksi, dialokasikan pada pengeluaran bulanan, sehingga bisa memaksimalkan alokasi dana darurat berikutnya.

Meskipun memang ada banyak halang rintang, jangan berhenti berusaha mengumpulkan ya, karena untuk Generasi Sandwich, dana darurat itu wajib hukumnya.

Baca Juga: Tentang Dana Darurat, Dana Talangan, Dana Pensiun, dan Kegunaannya


Jangan berhutang dan menghutangkan

Ini adalah peraturan umum yang saya lengkapi: berhutang itu sudah pasti jangan, menghutangkan jangan juga.

Nggak usah saya bilang mengapa lebih baik jangan menghutangkan apalagi ke teman dan saudara. Lebih banyak ngenesnya daripada barokahnya. Daripada menghutangkan, lebih baik memberi jika memang ada rezekinya. Perlu sikap tegas untuk melatih ini.

Jangan menghutangkan karena perasaan tidak enak, dan menggunakan uang simpanan yang sudah ada peruntukannya. Ini juga mengapa menentukan anggaran itu sangat penting; sehingga uang yang kita miliki memiliki tujuan dan kepentingan.

Uang tidak lagi dianggap menganggur, dan dengan sendirinya mengeliminasi statusnya sebagai uang yang bisa dipinjamkan.

Versi tl;dr dari tulisan di atas adalah: Saya memilih nggak menghutangkan karena bagi Generasi Sandwich, biasanya, kita lebih butuh uang itu sebagai cushion dan alat berjaga-jaga.

Apabila ada teman dan saudara yang butuh bantuan, berikan sesuai kemampuan kita atau berikan bantuan yang tidak berupa uang.


Cari penghasilan tambahan bila memungkinkan

Ini sifatnya sebenarnya wajib, karena kita tidak boleh bergantung pada satu penghasilan. Namun dapat dipahami kalau Generasi Sandwich juga memiliki berbagai obligasi yang tidak hanya terikat dengan uang; dan bentuknya berbeda-beda.

Sesuai penjelasan di awal tulisan ini, Generasi Sandwich tidak hanya soal finansial. Ada yang harus merawat orang tuanya yang memang sulit beraktivitas secara normal, atau mengantar untuk pengobatan ke rumah sakit beberapa hari seminggu sembari mengurus anak yang masih kecil.

Ada yang menggantikan orang tuanya untuk mengurus adik-adik yang masih kecil serta masih usia sekolah. Dan banyak lainnya.

It’s draining. Mentally, financially. Seringkali waktu habis untuk hal-hal tersebut dan membuat mencari waktu untuk sendiri saja sulit. Saya termasuk beruntung karena masih bisa mengalokasikan me-time (yang cukup banyak, karena saya tinggal terpisah dari orangtua dan belum punya anak).

Makanya sekarang, saya merasa “wajib” menghasilkan dari selain pekerjaan yang saya punya, ha ha.

Namun, kalau memang belum sanggup, nggak apa-apa. Kesehatan mental dan kebahagiaan diri, menurut saya, ada di atas keperluan mencari penghasilan tambahan.

Kondisi “terjepit” sebagai isian sandwich rawan memberikan tekanan psikologis. Karena itu, pilih kesempatan yang memang bisa dilakukan serta masih memberikan waktu untuk diri sendiri.


Persiapkan diri untuk masa tua

Alias dana pensiun, dana kesehatan, dan kesehatan diri kita sendiri. Generasi Sandwich terjadi karena berbagai faktor; salah satunya adalah generasi sebelum kita yang tidak mempersiapkan masa tuanya dengan baik. Ini berarti baik dari sisi finansial maupun kesehatan. Yes, I’m currently side-eyeing me yang butuh terapi saraf kejepit di usia yang belum tiga puluh hiks.

Semua orang yang menjadi Generasi Sandwich tentu sepakat bahwa tidak mau mengulang apa yang terjadi pada diri mereka. Karena itu sebisa mungkin kita harus menyiapkan dana pensiun agar tidak perlu menyulitkan orang lain di sekitar kita nanti.

Bentuk investasi ini bisa macam-macam, namun bagi saya yang seringkali keuangannya mepet, reksadana adalah pilihan terbaik untuk saya. Karena nominal mulainya bisa mulai dari nilai yang kecil, hehe.

Investasi kesehatan juga berarti berolahraga rutin, menjaga pola tidur cukup dan makan sehat. Buat apa nabung banyak tapi ujungnya tidak bisa kita nikmati dengan baik, karena efek komplikasi kesehatan?


Utamakan Diri Sendiri

Generasi Sandwich akrab dengan mengutamakan orang lain terlebih dahulu, melupakan keinginan diri sendiri, dan tidak mementingkan keperluan diri.

Dulu saya suka merasa bersalah kalau saya memilih untuk beli baju daripada keperluan bulanan keluarga. Saya juga sering “mengalah” dengan memilih barang kualitas buruk atau membeli yang murah-murah tapi banyak, supaya merasa puas.

Hal ini berbalik jadi kekesalan karena saya merasa nggak punya apa-apa. Barang yang murah cepat rusak, dan jadinya saya harus membeli lagi. Saya menyimpan dendam terhadap nasib yang membuat saya tidak bisa membeli hal-hal yang saya mau.

Pemikiran itu akan berlanjut jadi self-loathe (karena merasa berdosa, merasa kecil, bla bla…), yang kemudian membuat pikiran jadi buruk, berlanjut pada komunikasi dengan keluarga yang terganggu, dan akan berefek pada pekerjaan maupun pengelolaan keuangan.

Sebanyak-banyaknya strategi yang dilakukan di atas, mengutamakan diri sendiri adalah hal yang paling penting. Diri sendiri yang “penuh” adalah awal dari membuat keputusan yang sehat dan perencanaan yang baik.

Tidak ada salahnya mengambil liburan dengan teman atau membeli barang yang memang sudah sangat diinginkan sejak dulu, dengan syarat rencanakan dengan baik; dari sisi keuangan, pekerjaan, maupun komunikasi dengan keluarga.

Sebelum menikah, hiburan saya adalah mengunjungi teman yang tinggal di kota berbeda. Kami suka bertemu di akhir minggu, menginap semalam, lalu karaoke dan jalan bareng.

Setelah menikah, saya fokus ke membeli barang untuk saya sendiri dan memenuhi hobi, alias beli parfum, hehehe. Saya juga mengutamakan blogging. Sebelum bekerja dan menghadapi dunia (eaaa), pokoknya harus nulis dulu. Hobi ini beneran keeps me sane!


by Covene

You can go through this

Kamu, saya, tidak sendiri. Kadang ada masanya pengen berhenti. Atau nyalahin nasib, hal yang sudah kita tahu counterproductive tapi masih dilakukan juga. Membandingkan situasi dengan orang lain--yang tidak kita tahu keadaan sebenarnya--juga jadi penyakit yang membunuh kepercayaan diri.

Hal yang harus dilakukan di atas bukan lomba atau milestones lain; kalau memang nggak bisa dilakukan semuanya, satu-satu saja dulu. Terutama yang paling akhir, hehehe. Diri sendiri adalah yang utama.

Saya ngomong ini buat diri sendiri, karena seringkali saya merasa tertinggal jauh dari orang lain. Kayaknya orang sudah bisa sampai situ, kok saya baru sampai sini. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Ketika melihat ke belakang, barangkali tidak seburuk itu. Mengasihani diri sendiri tidak membawa saya ke mana-mana; namun ketika melihat apa yang sudah dilewati, saya suka berpikir 

“wow ternyata saya keren juga yak???” 

And I’ll feel better. Hahaha.

Meskipun sekarang saya belum kaya-raya kayak Nagitta, saya masih di sini sekarang. Sehat (dengan sedikit problem), punya adik-adik tempat saya mengobrol kalau pusing, ada suami yang menemani dan mengerti ke mana larinya gaji saya.

Sometimes it’s hard, but it gets better. Semoga terus begitu. Semoga kamu juga. Iya, ini sebuah doa. Semoga selalu ada hal baik di tengah kesulitan yang sekarang ada, semoga bisa selalu menemukan hal baik itu. Semoga bisa selalu berbagi kebaikan dan merasakan kebaikan dalam keadaan apa pun yang kita hadapi….