Judul di atas adalah pertanyaan dan jawaban yang saya tanyakan pada diri sendiri.

Semua berawal dari saya, yang lagi-lagi mempertimbangkan kemungkinan untuk sekolah lagi.

Tapi keinginan itu hilang-timbul; kadang kepingiiin banget (apalagi melihat beberapa teman yang sepertinya sekarang berada di tempat lebih baik dengan gelarnya…)

Kadang juga sangat tidak ingin (karena sesungguhnya saya bodoh untuk soal kepenulisan akademis, dan saya tidak begitu cocok dengan metode belajar formal).

Saya juga belum tahu ingin mengambil jurusan apa, hendak ke mana arahnya, etc. Kalau ditanya cita-cita, saya ya kepinginnya work from home, buka usaha yang bisa dilakukan dari rumah. Aku anaknya rumahan, banget, bok.

Tidak ada paksaan dari siapapun untuk mengambil pendidikan lanjutan. Kalaupun hendak sekolah lagi, saya sudah pasti tidak bisa menggunakan biaya sendiri. Harus dengan beasiswa.

Tapi tidak juga ada niat untuk aplikasi beasiswa itu. Ya itu, niatnya nggak terlalu kuat. Jadi saya pun berpikir lagi, memangnya saya benar-benar mau S2?

Atau cuma ingin “suasana baru”? Atau malah, “lari dari sesuatu”?

(Ha ha ha).


Burn Out di Tempat Kerja

Saya sadar pemikiran ini cukup sering mampir ketika saya sedang jenuh dalam pekerjaan. Akhir-akhir ini perasaan itu kembali muncul. Saya yakin banyak juga teman pekerja yang mengalami hal serupa.

Merasa bahwa hal yang dikerjakan repetitif. Merasa pengembangan karir tidak pergi kemana-mana. Merasa tertinggal dibandingkan orang lain.

Apalagi kalau kantornya berada di lingkungan yang konservatif dan lambat. Jalur pengembangan sedikit dan tidak dinamis. “Perubahan” adalah sesuatu yang jarang terjadi, bahkan, dipandang sebagai sesuatu yang aneh.

Itu yang akhir-akhir ini sedang saya rasakan.

Pekerjaan terbagi menjadi dua kelompok besar: Hal yang repetitif dan terasa membosankan sehingga tidak lagi terinspirasi untuk kreatif, atau hal yang tidak repetitif tapi menekan diri karena apa yang dikerjakan bukan hal yang disukai.

(yes, I’m talking about mountainous administrative tasks wakakakak).

Ketika sedang berada di kondisi tersebut, rasanya diri sendiri nggak berguna banget. Semua tugas dikerjakan half-hearted, pulang merasa nggak mengerjakan apa-apa, lalu memaksakan diri mengerjakan kerjaan kantor yang dirasa masih tersisa; padahal ujungnya nggak maksimal.

Jadi mudah stres dan marah-marah, dan targetnya adalah mereka yang tidak bersalah.

Saat menghadapi hal seperti itu, tentu saja ada pilihan yang sangat radikal:

  1. Cari pekerjaan baru, sehingga beradaptasi dengan ketidaknyamanan yang baru. Risikonya adalah kehilangan stabilitas baik dari segi profesional maupun finansial, tapi tak menutup kemungkinan juga malah bisa lebih makmur. Fifty-fifty.
  2. Meminta “perubahan” di dalam tempat kerja; dalam hal ini promosi, atau pindah ke divisi/unit lain yang memberikan hal baru.
  3. Beradaptasi dengan keadaan saat ini, dan mencari cara lain untuk tetap mengembangkan diri di luar pekerjaan.

Singkat cerita, saya sudah mencoba yang kedua; tapi karena beberapa hal, hal tersebut batal terwujud.

Nomor satu jelas tidak saya pilih karena saya bukan orang yang berani ambil resiko besar. Secara realistis, stabilitas adalah hal yang saya butuhkan (dan sukai) saat ini. Baik ditinjau dari peran saya sebagai istri dan anggota masyarakat maupun kondisi finansial.

(Cicilan says hello….)

Sudah berpengalaman dengan beberapa problem terkait ini, jadi yah, survival dan stabilitas senantiasa menjadi pegangan saya demi ketenangan hidup.

Stabilitas tentu saja ada “pertukaran”nya. Ya itu, lingkungan yang sangat stabil dan konservatif, yang membuat saya juga rentan merasa bosan.

Yang paling utama sih saya merasa belum punya kemampuan cukup untuk survive.

Saya tetap ingin berkembang, dengan atau tanpa bantuan kantor. Keinginan utama saya adalah belajar, mendapatkan hal baru, dengan jadwal dan pace yang bisa diatur sendiri.

Karena itu nomor tiga jadi pilihan saya--mempelajari hal lain di luar tempat kerja.

Lebih spesifik, yakni pembelajaran terus menerus alias Lifelong Learning.

Setelah memikirkan dengan runtut apa yang ingin saya pelajari, rasanya lebih lega, jadi saya jabarkan saja di sini, siapa tahu ada yang sedang kebingungan dengan topik yang sama.




Apa itu Lifelong Learning?

Tentu saja, “apa” adalah pertanyaan yang terlebih dulu harus dijabarkan. Lifelong learning ini adalah bagian dari life skill, kemampuan yang sebaiknya dimiliki dan dipelihara sampai tua.

Masih bingung?

Coba dicek, siapa tahu kamu sudah melakukannya sebelum kenal istilah ini.

Lifelong Learning, pada dasarnya, adalah proses menambah pengetahuan dan kemampuan secara sadar yang dilakukan sepanjang kita hidup.

Pembelajaran ini tidak harus didapatkan dari pembelajaran formal alias bangku sekolah.

Kamu yang menulis blog? Iya, itu bagian dari Lifelong Learning; apalagi kalau dilakukan rutin dan konsisten, Dari blog kita belajar menulis, me-riset sebuah topik, manajemen waktu (terlebih untuk menulis rutin), dan mungkin hal teknis; seperti desain blog serta kode html/css.

Atau misalkan, hobi merawat tanaman hias yang dilakukan dengan sepenuh hati. Pengetahuan tentang tanaman tentu saja akan bertambah, baik dari cara merawat, maupun pengetahuan tentang berbagai jenis tanaman hias.

Tanpa disadari, mungkin kamu sudah jadi tempat bertanya orang tentang hal tersebut.

Memasak sehari-hari pun, bila dilakukan dengan kesadaran penuh untuk berkembang, adalah zona Lifelong Learning!

Mulai dari cara mencari bahan yang baik, mengatur rencana memasak yang efisien, atau menyempurnakan resep yang sudah pernah dicoba.

Ketika kita mendapatkan pengetahuan baru dari sana dan secara sadar terus meningkatkan meningkatkan diri, maka disanalah terjadi proses pembelajaran terus-menerus, yang dalam jangka panjang tentu sangat bermanfaat.


Mengapa Lifelong Learning?

Lifelong Learning bukanlah pengganti pendidikan formal. Sebaliknya, lifelong learning adalah pendukung dan/atau alternatif pembelajaran formal. Lifelong learning adalah bagian dari soft skill yang sebaiknya dimiliki dan dijaga.

Tentu saja, belajar tentang perpajakan sendiri nggak akan membuat saya menjadi Certified Tax Accountant. Tapi setidaknya saat saya harus melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pajak, saya nggak akan buta-buta amat.

(Btw, saya gak belajar soal pajak sih, ini cuma pemisalan aja).

Tetapi, sudah tentu belajar yang berkesinambungan akan membawa manfaat, baik langsung maupun tidak langsung.


Menambah motivasi diri

Ketika merasa kehidupan berada di situ-situ saja, penyadaran lifelong learning memberikan motivasi untuk terus berkembang. Memiliki minat belajar berpengaruh besar pada kepercayaan diri.

Bonusnya, dengan menambah ilmu, menjadi kesempatan untuk mengenali hal di luar yang telah dikuasai.

Kerjaan di kantor saya cenderung repetitif. Beberapa tahun di kantor saya sudah bisa memprediksikan pekerjaan, meskipun tetap saja akan riweuh dan pusing, berhubung instruksi top-down suka macam-macam. ๐Ÿ˜†

Berkomitmen terhadap “proyek” belajar saya membuat saya lebih merasa tertantang, meskipun hanya sendirian. Saya punya sesuatu yang ditunggu, yang saya tahu akan bermanfaat baik buat saya, dan pastinya: saya yang memilih sendiri, bukan karena paksaan.


Pengembangan personal dan profesional

Tentu saja ini sudah jelas, terlebih dengan dunia yang terus berkembang. Teknologi membawakan kemudahan dan inovasi lebih lanjut, tapi juga membuat dunia kerja selalu berubah.

Apa yang kita kerjakan sekarang bisa saja digantikan atau menghilang di tahun-tahun mendatang, dan pembelajaran terus-menerus memberikan kita leverage--keuntungan untuk tetap bertahan dan beradaptasi.

Image lingkungan kerja saya adalah stabilitas. Perubahan terjadi sangat jarang, bahkan cenderung frowned upon. Namun tak ada yang bisa menghentikan perkembangan zaman di luar sana; apa pun bisa terjadi. Saya tidak boleh keenakan dengan situasi dan berhenti mengembangkan diri.

Meskipun kita tidak menjadi seorang ahli, mempelajari berbagai hal will come in handy. Sederhana: ketika ada dua orang dengan tingkat keahlian yang sama pada suatu bidang, orang yang akan dipilih adalah orang yang memiliki keahlian tambahan lebih.

Memiliki kemampuan tambahan pun tentu saja bermanfaat ketika terjadi sesuatu pada sumber pemasukan utama. Meskipun sekarang saya belum bener-bener konsisten mendapatkan penghasilan di luar kantor sih ๐Ÿ˜…


Meningkatkan kualitas hidup

Secara sains, orang yang belajar terus-menerus akan mendapatkan banyak manfaat kesehatan. Ini karena seiring bertambahnya usia, kemampuan otak kita akan terbatas, bahkan menurun.

Karena itu, terus belajar, akan menghindarkan kita dari pikun, menjaga ketajaman pikiran, dan tentu, menyehatkan tubuh dan emosi secara keseluruhan.

Ayah saya yang sudah masuk usia pensiun selalu punya hal baru untuk dikerjakan setiap tahun. Sebagian hal selalu bikin saya geleng-geleng, tapi juga senang karena beliau enjoy, tidak morang-maring dan rewel.

Ketika beliau mempelajari hal baru, pasti beliau all-in. Beberapa di antaranya adalah menjahit, memasak makanan “berat” seperti siomay dan bakso, merakit sepeda, membuat furnitur, berkebun, beternak ayam dan ikan…

Semua itu menjaga kesibukan beliau di masa tua. Setiap lebaran beliau menjahit kemejanya sendiri. Beliau membuatkan sepeda untuk anak-anaknya, semua dengan parts bekas yang dicat dan dilas sendiri. Begitu juga saat ada acara makan besar -- makanannya adalah bakso dan siomay buatan sendiri.

Beliau punya kehidupan sendiri yang menyenangkan, dan hal itu berpengaruh juga pada kualitas hubungan kami. Tapi minusnya, ketika harus karantina kemarin, perutnya langsung kembung karena stress, nggak bisa ngapa-ngapain, hahaha….

Baca juga: Ayah dan Pelajaran Tentang Kesetiaan


Fleksibilitas tetap terjaga

Pilihan pembelajaran ini sangat fleksibel. Kita bisa menentukan sendiri seperti apa cara pembelajaran yang kita mau. Bisa diatur sedapat mungkin agar tidak mengganggu kehidupan sehari-hari.

Entah mengambil pendidikan formal dengan sekolah lagi--yang berarti terikat dengan jadwal dan capaian tetap--atau membuat jadwal rutinitas sendiri, mengambil sumber dari berbagai tempat.

Semua terserah pada kita, intinya. Selama apa yang diinginkan tetap tercapai.

Ini melatih disiplin banget sih. Buat saya yang memilih menulis untuk terus dilakukan dan dipelajari, kadang saya bisa konsisten nulis tiap hari, habis itu berhenti untuk tiga bulan. Konsistensi jadi proses belajar lagi untuk saya.

Ketika bosan menulis, saya berpindah ke belajar yang lainnya; entah menggambar, belajar HTML CSS, atau mengikuti webinar online. Diseling biar nggak bosan.

Memang sih, saat ini saya belum memberikan capaian tertentu. Masih mengira-ngira juga mau targetnya apaan.

Meskipun jadwalnya bebas, memiliki target capaian juga akan berefek lebih baik. Tujuan bisa lebih jelas, memilih metode pun lebih mudah.


\

Terus, Harus Mulai dari Mana?

Kalau setelah membaca artikel ini jadi berpikir: Oke, kayaknya saya juga harus mulai belajar lagi. Atau malah: selama ini saya sudah melakukan hal itu deh, kayaknya.

Bisa jadi. Karena manusia pada dasarnya adalah pembelajar natural; dan kebanyakan dari kita pasti selalu punya minat di luar hal “wajib”, seperti pekerjaan.

Mulainya tentu saja dari pertanyaan:

Apa yang sekarang sedang saya minati?

Lifelong learning selalu dimulai dari keinginan sendiri.

Karena dari situlah akan muncul “kerelaan” untuk belajar, menyediakan waktu untuk mencari tahu tentang topik yang ingin dipelajari, dan juga melakukannya secara konsisten.

Hal yang bisa dipelajari ini bisa sangat luas. Mulai dari baking, menulis, membuat software, belajar main catur, sampai bikin kolam lele. Yang terakhir mungkin modalnya lumayan dan bisa mendatangkan keuntungan, hahahaha.

Lalu, mulai satu per satu, dari hal yang paling mudah dulu. Kalau memang belum tahu sama sekali mengenai topik yang dipelajari, bisa dimulai dengan riset dan membaca.

Setelah itu, barulah melebar menjadi mendaftar kelas online mencari komunitas, atau hands-on practice, alias praktek langsung. Lambat laun pembelajaran akan terbentuk dengan sendirinya.

Pembelajaran terus-menerus adalah kemampuan berharga untuk dimiliki di masa kini. Di tengah gempuran inovasi teknologi serta kondisi dunia saat ini, semua pekerjaan yang kita miliki jadi vulnerable.

Sekalipun tempat kerja saya cenderung menawarkan “stabilitas”, risiko tetap ada. Pembelajaran terus-menerus memberikan saya ketenangan; bahwa saya nggak berhenti di tempat, dan tetap ada yang saya pelajari.

Bagi saya, hal yang sedang senang saya pelajari adalah menulis dan membaca. Hehehehe. Iya, sesederhana itu. Saya ingin membaca lebih banyak buku, menulis rutin, dan mengelola blog.

Ketika saya menulis, saya bertekad untuk benar-benar mengaplikasikan “pelajaran” yang saya punya. Mencoba menulis mendalam, mencari referensi, dan sebagainya.

Nggak aneh-aneh kan? Tapi itu aja udah bikin saya seneng. I’m looking forward to every day, karena selalu ada waktu menulis yang saya selipkan.

Malcolm Gladwell (The Outliers) bilang butuh 10.000 jam untuk menguasai sesuatu. Itu waktu yang jelas lama, apalagi kalau kita tidak men-track berapa jam yang dihabiskan.

Pun kemampuan setiap orang dalam mempelajari sesuatu bisa berbeda-beda. Bisa jadi ada orang yang tidak perlu 10.000 jam sampai dia mahir, tetapi orang lain butuh waktu lebih lama untuk benar-benar bisa.

Berapa pun waktu yang kita butuhkan, selama kita memberikan yang terbaik serta tekun, waktu yang kita habiskan untuk belajar akan selalu berharga.

Mungkin saat ini belum nampak manfaatnya bagi saya selain kepuasan personal, tapi saya yakin, this will become handy ketika saya membutuhkannya.

Sambil terus mengeksplorasi dan mengembangkan diri--karena yang penting saya tidak berhenti. (Dengan istirahat di sela-selanya, of course.)

One thing at a time - for the better!

Nah, kalau teman-teman pembaca, hal apa yang sekarang sedang dipelajari dengan tekun? Atau ada hal yang sedang direncanakan untuk dipelajari?

Salam,
Mega