foto oleh Nina Hill via Unsplash
Disclaimer: Pendapat didasarkan pada pernikahan yang baru seumur jagung. Pandangan saya ke depan bisa jadi terkoreksi atau bertambah. Saat itu terjadi, tentu saja akan saya update.

Beberapa kali, ketika sedang waktunya istirahat kantor atau sedang ada di waktu luang, ada yang bertanya pada saya. Yang bertanya ini rekan dan kolega yang memang belum menikah.

Maka, jadilah judul ini. Judul yang sungguh perhitungan ya? Tapi berhitung itu kan memang perlu, bok! Soalnya ini mengenai menikah. Yang mana adalah komitmen seumur hidup.

Mungkin pertanyaan itu juga muncul karena saya dan suami cuma melewatkan proses “perkenalan” yang sebentar (setahun saja). 

Kali aja nanti nanya lagi kan, jadi udah siap artikel. Pede aja dulu.

Gimana enggak, tahun sebelumnya masih ngomong entah nikah sama siapa, mo nikah kapan-kapan aja, trus tahu-tahu ngasih undangan.

Temen-temen juga nggak tahu saya deket sama siapa, pacaran sama siapa. Soalnya saya tiap ditanya kapan ada jodoh malah minta dicariin soalnya nggak tahu. Percayalah itu sama sekali nggak bohong.

Jadilah muncul pertanyaan berikut:

“Kok bisa sih mutusin untuk nikah?”

“Kok yakin sih? Kok nggak takut sih?”

Dan kok, kok, kok, kok yang lainnya. Apalagi saya pernah bilang beberapa tahun sebelumnya, nggak menikah pun nggak apa-apa, karena saya takut!

Itu juga beneran. Saya pernah takut banget nikah sehingga cenderung menghindar dari yang "begitu-begitu". Daripada pacaran saya lebih suka temen jalan. Bebas jalan sama siapa aja, nggak terikat ke satu orang.

Lalu, apakah saya menikah begitu saja? Tentu tidak, Ferguso.

Saat hendak menikah, tentu saja saya sempat mengalami galau paripurna tentang keputusan yang saya ambil. Ditambah karena nggak ada Ibu, jadi saya memutuskan untuk curhat ke… banyak figur perempuan dewasa yang saya tahu. Ha ha ha.

Mulai dari senior di kantor; atasan yang saya hormati; kakak sepupu, sampai figur abang-abangan di kantor.

Hasil curhat tersebut, ditambah pemikiran dan pertimbangan pribadi, akhirnya membawa ke situasi saya sekarang.


Jangan Terburu-buru

Saya menikah di usia 28 tahun. Usia mepet-mepet, waktunya panik, kalau kata orang kantor saya yang cenderung konservatif. Sementara, waktu itu, saya justru sedang berada di state nyaman dengan diri sendiri.

Masa-masa panik saya bertanya mengapa saya belum menikah adalah dua tahun sebelumnya, di usia 25-26. Saat ketemu Abang saya justru sedang dalam masa berpikir “nikahnya umur 30 aja deh… itu kalau ada jodohnya.”

Mungkin ini yang dimaksudkan orang-orang tua dengan: “jangan dicari, jodoh nanti datang sendiri”. Ketika saya ngoyo pengen menikah dengan si Fulan, yang ada malah patah hati. Ketika bertanya-tanya kapan dilamar si Amin, yang ada si Amin malah mundur.

(Cie.... siapa tuh)

Ketika saya memberi banyak ruang untuk diri saya sendiri--fokus pada pengembangan diri dan menyenangkan diri--eh, muncullah suami saya dari langit.

Atau dari parkiran, mengingat saya pertama kali ketemu dia di parkiran.

Jangan menikah karena berpikir “sudah waktunya, jadi harus”, atau “pokoknya nikah”, karena itu akan mengaburkan batasan dan pertimbangan yang diperlukan oleh kita. Ini kan menikah lho ya, bukan beli motor.

Beli motor masih bisa dijual lagi kalau nggak puas. Kalau menikah? Yaaa tentu saja kita bisa cerai, namun tentu bukan itu tujuan kita menikah, kan?

So I tried to pay attention to yourself. My own needs, my own purpose.

Jodoh nanti ngikut, kalau kata orangtua mah.

Lha iya sih. Ketika lagi mikir gitu, mendadak datang orangnya. Ajaib bener rencana Tuhan.

Memang, saya menikah dengan proses pengenalan yang cepat, namun ketika itu, saya tidak sedang dalam keadaan terburu-buru; sedang tidak merasa dikejar oleh "keharusan", sedang merasa sangat tenang dan yakin dengan keadaan diri sendiri.


Ketahui Motivasi Masing-Masing Untuk Menikah

Pertanyaan saya sederhana saja waktu itu: Kenapa mau menikah? (Dengan saya).

Disampaikannya pakai drama-drama dan nangis sih soalnya kaget kok dilamar HAHAHAHA….

Meskipun udah ada feeling, tetep nangis. Ini kalau diceritain nyebelin banget jadi mari kita skip. Tapi masih sering dibahas saya dan suami kalo lagi pengen gemez gemez.

Jawaban suami (waktu itu calon) sederhana sekali: Karena mau ada teman.

Teman jalan. Teman berantem. Teman menghadapi kehidupan. He got me di teman berantem. Karena teman hidup kan memang bukan untuk yang baik-baik saja, namun juga hal yang ribet-ribet. Motivasi saya sejenis: Partner untuk hidup.

Zidan siap? Siap. Yuk, Pak Haji.

“Lho, bukannya kalau sudah pacaran berarti sudah paham motivasi masing-masing untuk menikah?”

Belum tentu. Tujuan pacaran kan beda dengan tujuan menikah; dan pikiran kita bisa jadi berbeda ketika pacaran dengan ketika mempertimbangkan untuk menikah.

Ini saya rasakan ketika “pacaran” dengan si Fulan dan si Amin. Sama-sama suka belum tentu punya tujuan yang sama dan searah.

Mungkin proses saya dan Abang yang cukup “singkat”, membuat saya lebih mudah mencari tahu hal ini. Lebih objektif istilahnya, nggak pakai mutar-mutar dulu. Capek ah digantungin orang. (lha kok curhat).

Motivasi sekadar “karena pacarannya sudah lama”, “karena sudah cukup usianya”, “karena kapan lagi”, nggak cukup untuk saya. Perlu kesadaran kuat dalam diri bahwa keputusan menikah tersebut adalah memang karena sudah siap--unsur intrinsik yang datangnya dari dalam diri.

Kalau tujuannya menikah adalah untuk punya anak, misalnya: Bagaimana kalau ternyata kalian tidak dikaruniai anak--apakah akan selesai?

Menikah karena ingin jadi kaya raya, misalnya. Kalau ternyata ketiban bangkrut, apakah akan selesai juga?

Tentu saja saya tidak menafikan bahwa memiliki anak dan meningkatkan kesejahteraan hidup adalah tujuan menikah. Itu wajar dan umum. Saya juga begitu. Namun ada hal yang melebihi itu semua.

Sebelumnya saya cenderung mikir bahwa poin “menikah karena ibadah, menikah untuk menyempurnakan agama” itu klise. Semakin saya menyiapkan pernikahan, pada akhirnya saya semakin dibawa ke esensi paling utama dari tujuan menikah: ibadah.

Untuk orang lain, mungkin akan berbeda. Namun ketika saya bertemu Abang, saya baru berpikir seperti itu: tujuan utama menikah saya adalah untuk ibadah, tujuan selain itu adalah pendukung.

"Tetep aja kamu nikah sama aku karena kamu matre," kata Abang kalau baca paragraf ini.

Alhamdulillah, tentu saja itu juga benar (mengamini).


Lihat Interaksi (Antar) Keluarga

Menikah artinya menikah dengan keluarga juga. Hal ini juga baru saya pahami setelah proses menuju pernikahan, hahahaha. Untuk itu, nggak cuma pasangan yang perlu dipertimbangkan bibit-bebet-bobotnya, keluarganya juga.

Bagaimana cara pasangan bersikap dengan keluarganya bisa jadi penanda. Begitu juga bagaimana keluarga kita berhadapan dengan pasangan.

Suami saya anak rantau, jadi pertemuan pertama saya dengan keluarganya adalah lewat telepon. Itu saya was-was sekali.

Saya punya faktor insecure besar mengenai keluarga. Ibu saya meninggal waktu saya masih remaja, jadi praktis saya tidak punya mother figure yang dapat “memandu” saya di saat-saat seperti ini.

Selain itu, Ayah saya sudah menikah lagi, tapi juga sudah bercerai lagi. Gimana tidak insecure tuh. Berbagai kekhawatiran muncul di pikiran.

Tapi keluarga Abang benar-benar tidak neko-neko. Meskipun lewat telepon, saya merasa diterima sekali. Pun ketika saya bertemu dengan adiknya (yang juga berada di Bandung untuk studi), sangat mudah untuk berinteraksi.

Pikiran insecure yang ada di kepala saya sebelumnya sirna.

Ada hal lucu juga ketika melihat Abang berinteraksi dengan keluarga saya. Adik-adik saya selalu punya aura permusuhan hebat ketika berurusan dengan si Fulan dan si Amin di masa lalu. Tapi Abang justru malah mudah sekali masuk ke keluarga saya.

Saat kedua keluarga bertemu, ternyata Ayah saya dan (waktu itu calon) mertua punya sudut pandang yang sama mengenai jodoh anak-anaknya: “Jangan ribet-ribet. Selama kalian sama-sama niat ya nggak masalah”.

Semua diserahkan pada kami. Nggak ada persyaratan ini-itu bagaikan telenovela yang mengharuskan orangnya membangun candi dulu. (Lho, itu sih Roro Jonggrang ya)

Di situlah saya merasa jalan terbuka dan berpikir, mungkin memang yang ini jodoh saya. Ha ha ha…

Kalau orangnya memang baikkk banget, dan merasa sudah jodoh, tapi keluarganya “kurang sreg”--namun kita juga sudah siap menguatkan diri, bagaimana?

Ya, silakan. Kan memang tidak ada keluarga yang sempurna, manusia yang sempurna. Keputusan tetap di tangan masing-masing. Risiko juga ditanggung masing-masing.

Ini agak tricky. Dan pasti akan penuh preferensi pribadi, jadi saya nggak akan ngomong-ngomong banyak soal ini. Belum banyak ilmu juga soalnya. :D


Kenali Karakter Baik-Baik

Nggak, nggak. Bukan berarti ngetes dia dengan bikin dia marah setiap hari. (Meskipun kayaknya perempuan emang punya tendensi ini, ya nggak sih? Wk wk wk.)

Secara alamiah saja--lihat kapan kalian berbeda pendapat. Soal apa, dan bagaimana kalau ada kesalahpahaman satu sama lain.

Begitu juga dengan kehidupan sehari-harinya: Bagaimana cara bersikap, mengobrol, berinteraksi dengan teman dan keluarga.

Pacaran lama belum tentu bisa membuat kita mengenal karakternya. Begitu juga kalau pacaran sebentar atau dijodohkan. Namun tetap perhatikan baik-baik. Nggak ada salahnya kan memperhatikan, he he.

Faktor kemandirian juga penting. Namanya menikah kan berdua. Masa iya menghadapi persoalan sehari-hari saja banyak yang “numpangin” perspektifnya seperti orangtua, saudara, dan lain-lain. Pastikan kematangan diri dan kematangan pasangan.

Kalau ada perasaan “aneh”, tidak sreg, ya silakan dipikir ulang. Apakah sudah siap kalau harus menghadapi karakter seperti itu seumur hidup?

Maka dari itu, point ini sangat subjektif.

Dua hal klasik yang sering disebutkan sebagai "pemutus" hubungan adalah KDRT dan perselingkuhan. Saya juga termasuk ke aliran ini. Baik saya maupun suami, pokoknya kalau ini terjadi sudah red light lha ya.

Alhamdulillah selama perkenalan nggak ada kasus atau tendensi seperti ini. Toh tanpa bawaan itu pun, saat menikah akan selalu ada ujiannya bagi kita dan pasangan. Termasuk ujian dari pihak ketiga, keempat dan kelima. Jadi sebisa mungkin diminimalisir aja deh kemungkinannya... 😅

Pun, karakter bisa berubah seiring pernikahan. Saya yang sekarang belum tentu sama dengan saya sepuluh tahun lagi. Begitu juga dengan suami. Kami akan saling mempengaruhi, dan itu bergantung dari pilihan-pilihan hidup yang kami pilih nantinya.

Saya nggak tahu ujian apa yang akan diberikan Allah di depan, tapi semoga saja bisa melewati itu dengan baik apa pun bentuknya.

Tentu saja seiring waktu saya selalu menemukan sesuatu yang baru baik dari dalam diri maupun diri pasangan. Life is never flat kalau kata makanan ringan.

Micheile via Unsplash

Bicaralah Soal Uang

Saat pacaran tentu kita nggak akan bicara soal ini. Mengingat uang dan perasaan adalah pantangan untuk digabungkan, hahaha. Waktu pacaran, rasanya ya uang ada saja, karena kami hanya sekadar pacaran tanpa harus menghadapi keuangan rumah tangga yang sebenarnya.

Namun keuangan rumah tangga ‘kan tidak hanya terdiri dari makan dan jajan saja. Ada puluhan mata anggaran yang akan berulang, kewajiban keuangan baru yang bertambah, serta rencana untuk ke depan.

Tidak bisa sekadar “yang penting uangnya nggak kurang”.

Ada ungkapan menarik dari salah satu blogger favorit saya, Mbak Rinda. “Saya nggak akan mudah membicarakan uang kalau pernikahan saya tidak solid.” Mungkin berbeda-beda bagi setiap orang. Tapi statement itu saya amini.

Semakin solid suatu hubungan, akan semakin nyaman juga berbicara soal uang.

Di departemen yang ini, saya memang punya perspektif berseberangan dengan Abang. Saya cenderung frank dan sangat perhitungan, sedangkan Abang lebih abstrak dan kadang tidak nyaman kalau harus bicara frontal tentang uang. Kami punya tujuan yang sama, namun berbeda dalam hal penyampaiannya.

Namun hal ini tetap harus dibahas sebelum pernikahan. Begitu juga hal-hal yang berhubungan dengan itu: siapa yang bekerja, apakah boleh terus bekerja/berhenti, bagaimana kewajiban keuangan yang berhubungan dengan keluarga besar, dan lain-lain.

Ini adalah salah satu hal yang masih saya pelajari “seni”nya. Ada kebaikan dan kekurangan dari perspektif kami masing-masing tentang uang.

Saya belajar bahwa tidak selamanya perhitungan/terlalu objektif itu baik, dan ada batasan yang harus dijaga. Dia juga belajar… menabung. He he he…

Satu hal yang sama dari kami: Kami anti hutang dan menghutangkan terutama pada teman dan keluarga. Sudah paham lha ya dengan repotnya berhutang/menghutangkan ke orang.


Percaya dengan Insting dan Berdoa

Ini lebih ke soal indera keenam. Dan ketujuh. Tergantung kepercayaan masing-masing; namun saya percaya, agama apa pun yang kita anut, kita dikaruniai intuisi untuk memilih. Alam bawah sadar memberi tanda siapa/apa yang tepat untuk kita.

Ini benar-benar nggak bisa saya jelaskan pakai deskripsi. Karena perasaan saya cuma bilang, “ayo jalan”, begitu saja. Nggak ada ragu seperti yang sudah-sudah.

(Menatap pada si Fulan dan si Amin)

Semua mengalir dengan nyaman. Ada yang nyangkut selama proses, tapi ya standar.

Kalau misalnya meragukan insting yang dimiliki, selalu ada jalan: berdoalah minta diberi petunjuk sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Diskusi dengan figur mentor yang kira-kira bisa objektif.

Dan kembali lagi: trust your gut.

Nggak ada yang bisa menjamin apakah pernikahan akan mulus kalau hanya bermodal insting, tentu saja. Amini insting ini setelah mempertimbangkan hal-hal yang lain juga.


Setelah yakin? Jangan dulu bahas resepsi, tapi…

Jadi gimana? Sudah oke? Sudah yakin? Mantap. Sudah waktunya memikirkan mau garden party di mana, band pengisinya siapa? Eittts nanti dulu. Yang itu gampang.

Waktunya berdiskusi lebih lanjut tentang kehidupan setelah menikah. Mau tinggal di mana? Bagaimana pengelolaan keuangannya (lanjutan)? Siapa yang akan bertanggung jawab atas ini dan itu? Kapan akan memberitahu keluarga?

Dan diskusi lanjutan ini bisa lama. Tapi bisa bersamaan dengan berdiskusi soal resepsi, kok. Sambil jalan saja, ‘kan menikahnya nggak lusa juga. (Kecuali kalau memang jaraknya sedekat itu, silakan diskusi kebut semalam).

Satu yang pasti adalah:


No turning back.

Karena pada akhirnya, menikah tidak harus jadi pilihan setiap orang.

Saya yakin jalan mendapatkan pahala (kalau dalam agama Islam), atau mendapatkan "kelengkapan dan pemenuhan diri" tidak harus lewat menikah. Setiap manusia punya jalan dan tujuan masing-masing dalam hidupnya. Menikah hanyalah salah satu jalur.

Pun, ketika sudah memutuskan menikah, hal-hal di atas tidak akan serta-merta membuat pernikahan bebas masalah, bok. Pernikahan ‘kan adalah kata lain dari ujian hidup berbentuk lain, ya. Setelah kesenangan sekilas dari resepsi, tibalah ujian hidup yang seru. Menikah adalah sesi naik kelas.

Saya nggak boleh menyesal. Menyesal tidak akan membawa kita melangkah ke jenjang kehidupan berikutnya. Apa pun hasil dari pernikahan itu.

Ayah saya bercerai saat pernikahan keduanya. Mantan istrinya juga sudah menikah lagi. Tapi, hubungan dengan mantan istrinya tetap baik.

Dari situlah saya melihat bahwa perceraian tidak mesti ada karena pasangan sudah bermusuhan. Ada hal-hal yang memang tidak bisa dijelaskan menggunakan pemahaman “cinta saja sudah cukup”.

Still, “tetap bersama” adalah prioritas utama kami.

Proses mengenal itu ada terus-menerus. Sebagai manusia, pasangan dan kita tetaplah dua individual yang berbeda. Dalam prosesnya, kami bisa saja tumbuh menjadi orang yang berbeda dari sekarang.

Yang kami inginkan--dan kami doakan, adalah bertumbuh bersama. Kalaupun kami tumbuh menjadi orang yang berbeda, semoga kami tetap bisa bersama.

Role model saya masih tetap: Saya ingin seperti Ayah yang bersama Ibu sampai akhirnya.

(Dan ujian hidup yang seru ini menyenangkan, selama kami bisa menjalaninya berdua).

Kalau Abang baca ini, iya, aku cinta padamu. 😌

Kalau buat teman-teman yang sudah menikah, apa saja yang jadi pertimbangan teman-teman? Siapa tahu ada geng super itungan kayak saya juga 😜

Semoga teman-teman dan pasangannya selalu diberkahi hal baik,
Mega

LANGGANAN NEWSLETTER DI SINI

Sebelum Menikah, Pertimbangkan 7 Hal Berikut Ini