Eva Elijas via Pexels

Sepertinya saya sudah mulai kembali ke ritme reguler nulis blog. Kalau ada apa-apa sih biasanya hilang lagi, tapi #yangpentingsemangat, bener nggak.

Anyway, begitu saya kembali ke sini: anaknya Mbak Jane sudah lahir, Mbak Eno sedang hiatus, dan tentu banyak lagi kabar-kabar dari teman yang lainnya yang harus saya catch-up.

As for me? Hehehehehe.

Setelah kemarin randomly menang lomba nyanyi dengan video klip pas-pasan, berikutnya saya terlibat jadi produser acara kantor yang merupakan pengalaman baru buat saya, karena pakai standar program televisi.

Sebutlah, sudah lama banget saya nggak kerja sampai nangis-nangis stress dan bikin Abang bingung karena moody terus-terusan (HAHAH).

Mungkin bagi penonton, acara itu tampak biasa dan banyak kurangnya. Tapi bagi saya, acara itu udah kayak bayi sendiri (Eh!) Seru banget ngarahin kru, revisi script, dan yang pasti ngawasin saat live berlangsung. Deg-degannya ampun.

Setelah itu, seperti biasa penyakit kumat. Idle di blog, dan fokus mengejar hal-hal di luar kantor yang “berantakan” karena saya tinggal kerja. Berantakan tuh literally, bok… sampai nggak punya baju rapih buat ngantor karena nggak nyeterika berhari-hari. Nangisss kan tuh. 😂

WFH ini bikin saya seringkali malah lupa jadwal hidup: berasa dikejar-kejar kerjaan terus, kalau nggak jawab WA gercep tuh berasa berdosa. Huhu. Sekarang saya mau nyerita soal Postcrossing aja, deh.

Eh, Postcrossing? Iya, saya pernah cerita sebelumnya kalau saya mengikuti program Postcrossing dari Lia dan mas Rivai. Tercatat ada 18 orang yang mengikuti programnya. Februari lalu direncanakan, Maret programnya berjalan, dan April adalah waktu berakhirnya konfirmasi penerimaan kartu pos.

Sejujurnya draft post ini sudah bertengger sejak bulan April, tapi karena saya hiatus, tertundalah isi post ini. Ha ha ha.

Apa itu Postcrossing?

Sejak kecil saya memang sudah tertarik dengan fenomena kirim-berkirim surat. Saya pernah sengaja mengirim surat ke nenek (yang sebenarnya hanya berjarak -+ 10 km dari rumah karena kami ada di kota yang sama), hanya karena ingin mencoba mengirim surat.

Saya juga dulu punya sahabat pena yang alamatnya didapat dari majalah Bobo. Tapi belum pernah mengirim kartu pos, karena dulu kartu pos umumnya digunakan untuk mengirim kuis ke radio atau televisi.

Ayo generasi mana nih yang pasti ikrib dengan hal ini….

Dengan komunikasi yang sudah jauh lebih mudah di masa kini, masyarakat nggak lagi menggunakan surat dan kartu pos untuk berkomunikasi. Surat dan kartu pos sekarang menjadi hobi khusus, yang memang dilakukan karena suka, bukan karena kebutuhan.

Nah, postcrossing ini adalah salah satu turunan hobi yang berkaitan dengan kirim-berkirim surat serta kartu pos. Ide utamanya adalah kita mengirimkan kartu pos pada seseorang, lalu kita akan mendapatkan kartu pos dari orang lain.

Secara global, aktivitas ini terekam dalam situs https://www.postcrossing.com/.

Gelaran postcrossing yang digelar oleh Lia dan mas Rivai ini, adalah postcrossing versi lokal. Dalam hal ini berbeda karena ada faktor “kewajiban” bagi pendaftarnya. Kami didata oleh panitia (dalam hal ini Lia dan mas Rivai), lalu dipersilakan mengirim ke semua alamat peserta.

Periode pengiriman selama satu bulan, dan periode konfirmasi penerimaan selama satu bulan. Konfirmasi penerimaan sendiri benar-benar bergantung pada keberuntungan, karena seperti pada zamannya, berkirim kartu pos tidak akan ada nomor resi dan konfirmasi langsung pada pengirim! :D

Kartu Pos yang Digunakan


...adalah kartu pos buatan saya sendiri. He he. Memang sejak awal saya ikutan program ini saya ingin pakai kartu pos buatan sendiri. Lebih personal aja rasanya, jadi sekali pun saya belum kenalan dengan teman-teman yang terdaftar, saya bisa memberikan sedikit diri saya (ceilah) dari kartu pos itu.

Awalnya saya punya rencana ambisius: ingin menggambar ilustrasi satu per satu, sekalian menghidupkan niat saya untuk menggambar lagi. Tapi ternyata, jeng jeng jeng! Muncullah satu event besar yang berpengaruh pada kesibukan.

Yang pertama, saya ngurusin acara kantor selama sebulan, yang bikin saya mabok dan lumayan burned out.

Begitu acara selesai, produktivitas saya langsung turun banget. Kesehatan juga turun, untungnya nggak sampai sakit yang serius sih. Tapi pastinya jadi males ngapa-ngapain.

Yang kedua, aplikasi KPR kami diterima dengan batas waktu yang sama: akhir Maret 2021. Nggak nyangka banget bakal diapprove, padahal kami udah pake mindset “Semua terserah Allah, kalau jodoh gak bakal ke mana”. Ternyata beneran jodoh.

Baca juga: Cerita Neng dan Abang jadi Pejuang KPR di Tahun 2021

Jadilah, kami sibuk ngurusin berkas di kantor masing-masing, bolak-balik ke bank dan ke developer, pakai acara gontok-gontokan juga dikit karena ada kesalahan persepsi antara Project Manager, Marketing, dan kami.

Yang ketiga, saya emang udah lama banget nggak ngegambar (di luar kebutuhan kerja), jadi sudah pasti ini akan jadi misi yang sulit!

Akhirnya saya memilih jalur tengah: tetap menggunakan kartu pos buatan sendiri tapi dengan proses yang bisa dipercepat. Saya memilih beberapa stock photo dari unsplash dan pexels, yang kemudian ditambahkan lettering buatan sendiri.

Lettering-nya pun bukan yang rapih banget soalnya saya tipe yang sketchy gitu wkwkwk. Ada beberapa yang pakai referensi, tapi kebanyakan sih coret-coret sendiri. Ternyata mikirin tulisannya juga lumayan lama ya wekekekek.

Ohiya, ukurannya mengikuti ukuran kartu pos standar yang saya cari di google. Printnya sendiri di atas art paper 260 gsm supaya lebih tebal. Tapi saya lupa ngasih watermark dan tempat perangko hihihi, jadinya lebih mirip print-an gambar biasa dibanding kartu pos…

Saya inget banget, ngeprint kartu posnya sambil jalan ke developer karena harus ngurus berkas. Sambil nunggu print dan dipotong, saya beresin berkas kopian untuk keperluan akad kredit dan nempelin belasan materai.

Nggak heran saya email Lia berapa kali, minta maaf karena harus terlambat ngirimnya. Waduoh pokoknya nganu banget. Makasih ya Lia dan Mas Rivai sudah ngurusin kami-kami ini, termasuk saya yang gak bisa on time.

Kantor Pos yang Dikunjungi

Kantor pos besar Bandung.

Sehari setelah akad kredit rumah, saya akhirnya bisa bernapas lega. Maka saya datang ke kantor pos dekat rumah, persis 2 km saja. 

Rupanya, sama seperti pengalaman teman-teman yang mengikuti program ini, kantor pos yang saya datangi juga bingung waktu saya bilang ingin mengirim kartu pos. Pasalnya sudah lama sekali tidak ada yang datang untuk membeli perangko.

Saat saya bilang perlu banyak, petugas kantor pos menyarankan untuk pergi ke kantor pos besar saja. Di kantor kecil itu hanya ada perangko dengan total nilai kira-kira 30.000 rupiah.

Sedangkan, waktu saya bilang saya mau kirim kartu pos ke Eropa, dia bilang perlu biaya 40.000. Hmmm, nggak muat buat yang lain dong.

(Meskipun jujur, saya mikir: Masa sih semahal itu….)

Saya pun cabut ke kantor pos besar Asia Afrika. TMI: Belum mandi, langsung ngojek. HAHAH. Habis awalnya kirain nggak usah jauh-jauh…

Kantor Pos Besar Asia Afrika adalah pusat dari kantor pos di Bandung. Terakhir kali saya ke sana kayaknya waktu SD deh. Jalan Asia Afrika sendiri dulunya bernama Grote Postweg (Jalan Pos).

Pada awalnya tempat ini hanya pemberhentian kereta kuda pembawa surat, lalu dibangun kantor pos berukuran kecil pada tahun 1863 sebelum akhirnya direnovasi besar-besaran pada tahun 1928. Kantor Pos Besar Bandung ini diarsiteki oleh arsitek asal Belanda J. Van Gendt.

(Sumber: Infobdg.com)

Sebagai pusat dari kegiatan pos di Bandung, kantor ini tentu saja gede banget!

Kamu bisa melakukan berbagai kegiatan pos di sini, dari mulai membeli benda pos, kirim-kirim surat sampai motor, serta melihat pameran benda pos. Sudut yang menjelaskan soal Postcrossing ada juga, lho.

Sebelum saya memilih salah satu loket yang berderet, tentu saja saya menghabiskan waktu buat ber “Wooooow” dulu. Melihat detail kolom-kolom bangunannya yang megah, ornamen art-deco yang simpel tapi kental, dan people watching sambil nebak-nebak dia lagi ngapain, ya? Hahahaha.

Saya memilih satu loket dan dilayani oleh seorang bapak yang ramah. Saya tanya berapa tarif mengirim kartu pos ke Eropa dan dalam Indonesia.

Ternyata, mengirim ke Eropa hanya perlu 7.000 rupiah, Untuk dalam negeri 3.000 rupiah saja.

Ceilah, rupanya jauh lebih murah dari yang dibilangin si Mbak di kantor pos kecil. Bergerak cepatlah saya beli perangko sejumlah yang saya butuhkan.


Di kantor pos itu tersedia banyak meja dan lem, jadi saya bisa mengambil satu tempat untuk mojok dan menempel perangko di kartu pos seabrek. Setelah itu, langsung ditumpuk oleh pak petugas, deh.

Perjalanan dari kantor pos ke rumah cukup jauh. Tapi lega, karena memang lebih baik mengirim di kantor pos besar. Daripada tidak tertangani di kantor pos yang kecil, kan?

Kiriman dari Teman-Teman

Saya beruntung karena termasuk menerima kartu pos dari teman-teman di awal bulan April. (Nggak tau diri banget ya, padahal kirimnya telat).

Pengiriman kartu pos saya juga, untungnya, cukup cepat! Saya kira bisa sampai sebulan, ternyata dalam waktu seminggu-dua minggu, sudah ada kartu pos yang sampai ke tangan teman-teman.

Hanya saja, ada kartu pos yang sampai sekarang statusnya gaib alias hilang entah ke mana. Ada teman yang belum dapat sama sekali, misalnya Lia, Mbak Roem, dan Mbak Eya 😫

Paling gemes nih Mbak Eya, karena tinggalnya satu kota sama saya. Kartu pos saya lancar datangnya, tapi yang Mbak Eya kok nyangkut :’)

Terus, ada juga yang lamaaa banget nggak dapet, pas dapet, tahu-tahu setumpukan. Itu Mbak Fanny. Sementara Mas Zam, penerima paling jauh--di Jeman--butuh waktu sebulan untuk mulai menerima kartu pos. Sampai saat ini pun dia masih nerima kartu-kartu.

Semua kartu pos tentu saja gemes-gemes. Kalau saya lihat, ada beberapa edisi nih.

Yang pertama, edisi fotografi.


Mbak Fanny mengirimkan kartu pos dengan foto Forbidden City. Wew, melihatnya membuat saya teringat dengan novel yang belum selesai saya baca, Empress Orchid.

Mas Zam, sebagai penduduk Jerman, mengirimkan kartu pos dengan berbagai skena yang ada di Jerman. Kartu pos untuk saya bergambar Kereta FEX di Stasiun Utama Berlin. Saya juga menerima QR code yang bisa saya scan untuk cek kartu pos secara digital.

Mbak Roem mengirimkan kartu pos dengan foto hasil karyanya (karena fotonya bagus saya kira hasil beli di toko wakakakak).

Lalu ada kartu dari Mbak Erina, yang bergaya vintage. Saya nggak bisa menemukan keterangan itu foto apa sih, tapi fotonya cakep banget, bisa dipajang di meja kerja.

Kemudian, ada edisi ilustrasi.


Lia mengirimkan kartu pos bergambar Kota Tua Jakarta. A suitable postcard dari penghuni Jabodetabek. Hihi….

Ada dua kartu pos dengan ilustrasi super gemes. Kartu dari Mbak Hicha, yang kecil-kecil dan menampilkan onigiri, makanan khas Jepang.

Lalu ada kartu pos dari Mbak Endah April, yang datang terbungkus amplop bersama bonus stiker gak kalah gemes.

Mbak Ainun, yang mengirimkan kartu pos bergambar siomay. Sesuai banget sama blognya yang suka membahas kuliner dari berbagai tempat!

Lalu, ada edisi Pos Indonesia.


Kartu pos yang dikirimkan ini adalah kartu pos yang dikeluarkan oleh Pos Indonesia. Modelnya bergambar di bagian paruh kiri, sementara paruh kanan untuk menulis alamat.

Yang dari Mbak Mauren nggak ada label pos Indonesia, tapi karena modelnya mirip, saya masukkan di kategori ini juga. Kartu posnya menampilkan Karimun Jawa.

Mas Rudi, travel blogger dari Bengkulu, mengirimkan kartu pos dengan gambar Gunung Bromo yang berlokasi di Jawa Timur. Lucu juga yaa, dari Bengkulu tapi adanya kartu pos bergambar lokasi di pulau Jawa… 😅

Terakhir ada Mas Rivai, yang mengirim dari Kalimantan Barat. Kartu posnya bergambar Danau Ranau di Sumatera Selatan. Hahaha, ternyata sama. Kiriman dari Kalimantan, gambarnya dari pulau Sumatera.

Tentu saja, ada edisi handmade.


Kartu pos Mbak Laili sungguh terasa personal karena nggak di-print, melainkan sentuhan tangan sendiri.

Begitu juga Mbak Sovia, yang mengirimkan kartu dari kertas buatan sendiri.

Mas Bayu mengirimkan kartu pos dengan gambaran sendiri yang gemesss banget. Quotes-nya ngena di saya tuh. Iya Mas, saya akan bertekad untuk memulai sebelum menyerah kalah. (Hiks)

Mbak Eno mengirimkan kartu pos eksklusif dengan karya seni Vincent van Kroya, alias suaminya hahahaha.

Mbak Eya juga kirim kartu pos dengan desain sendiri, yang tentu saja aesthetic dan cute. Fun patterns!

Last but not least, ada Mas Ikrom yang mengirimkan kartu pos bergambar negara Filipina. Kartu Mas Ikrom termasuk yang saya terima di awal-awal. Bingung karena sejak kapan saya punya orang temen Filipina? Ternyata Mas Ikrom, toh.

Kartunya memorable karena menunjukkan banget Mas Ikrom dan interest-nya. Karena di-print dengan tinta tidak tahan air, sempat kena tetesan air, tapi untungnya nggak rusak.

Demikianlah, semua kartu pos yang saya dapatkan dari para peserta postcrossing.

Seluruh kartu pos ini belum saya rapikan sih, tapi rencananya mau saya masukkan album foto. Belum tahu saja mau album yang bagaimana. Nah, teman-teman bisa nebak kartu pos siapa yang mana?

Kesan dan Pesan

Setelah sekian lama, akhirnya saya merasakan lagi deg-degan nunggu kartu pos dan bukannya paket online shopping. (HAHAH).

Berbeda dengan paket online shop yang mengantar di kotak pos kontrakan, pak pos memilih menitipkan kartu posnya ke warung di depan. Alhasil, tiap saya pulang kantor dan ada kiriman, Ibu penjaga warung memanggil, “Megaa…. Ini ada kiriman!”

Padahal sudah dibilang ke mas pos, masuk saja ke kontrakan, karena ada kontak pos. Lha, dia kok malah ngide ya.

Tapi untunglah, saya menerima semua kartu pos dari teman-teman. Untung juga sih gak diselipkan di pintu depan bangunan, karena bagian depan kontrakan saya digunakan sebagai kantor. Kan nanti bingung orang kantornya.

Karena saya menerima semua kartu dengan selamat, saya tentu saja nggak kapok kalau ikutan lagi. Tapi nggak tahu sih ya kalau udah pindah ke rumah baru, siapa tau pak posnya malah gak bisa nemu karena di pelosok, hohoho.

Kalau mau ikutan lagi, saya harus niat benar, karena memang ini merupakan proyek yang butuh waktu khusus. Selewat-selewat, sepertinya saya nggak akan bikin apa-apa. Karena kemarin ada Lia dan Mas Rivai yang mengorganisir, jadinya kan kita semangat.

Dari little project ini saya juga dapat kenalan baru dan blog-blog baru untuk dikunjungi. Meskipun nggak semua saya tinggalkan komentar atau BW reguler (Karena topik interest-nya beda, biasanya 😆), saya senang karena dapat kenalan baru.

Satu lagi: meskipun saya belum pernah ke Eropa, kartu pos saya bisa sampai Eropa. Makasih ya Mas Zam! Ha ha ha….

Nggak cuma mengirim kartu pos, pada dasarnya kirim-kiriman sesuatu dengan orang lain memang bikin happy. Salah satu yang butuh biaya kecil ya Postcrossing ini. Gimana enggak, perangko 7.000 rupiah aja udah bisa sampai Eropa.

Terima kasih untuk teman-teman yang sudah berpartisipasi. Sesungguhnya masih berharap yang belum dapat kartu pos sama sekali, bisa segera dikirimkan kartu posnya :’( Masa iya diselipkan dan dilupakan begitu saja. Kan sedih.

Tapi jangan khawatir, karena setelah ini saya akan mengirimkan link khusus bagi teman-teman yang belum menerima kartu pos!

Senang juga kalau kartu pos saya sampai dengan selamat ke tempat teman-teman. Kalau ada lagi saya mungkin akan ikutan lagi, tapi kali ini jangan sampai ada mendadak harus ngurusin berkas KPR deh. 😅 😂

Jangan lupa, meskipun kita nggak berkirim kartu pos secara fisik, kalau kamu suka membaca tulisan saya dan ingin mendapatkan insight lebih dari artikel di blog ini, saya mengirimkan kartu pos -- alias newsletter -- sebulan sekali.

Edisi pertama baru terbit awal Agustus lalu, dan saya berharap bisa mengirimkan newsletter ini di minggu terakhir setiap bulannya.

Selain rangkuman artikel satu bulan, saya juga akan cerita-cerita hal yang nggak saya tulis di blog, beberapa rekomendasi artikel, dan pencerahan untuk inbox email. Jangan khawatir, karena nggak akan ada spam kok.

Til next post,
Mega

LANGGANAN NEWSLETTER DI SINI