Iya, judulnya sudah menuliskan inti dari tulisan ini, jadi sepertinya nggak perlu lagi menjelaskan, ya. 

(Gimana sih).

Mengambil KPR alias Kredit Pemilikan Rumah adalah hal yang saya sebut mengubah arah hidup saya, hahaha. Tepat bulan Maret 2021 lalu, saya dan Abang resmi berubah status menjadi seorang… penyicil! Hi-hi.

Jadi itu sebabnya kamu ilang, Neng?

Nggak juga sih. Seperti dibilang, bisa jadi kombinasi semuanya: terapi kesehatan (yang sudah berlangsung sejak Februari), lalu pekerjaan kantor (yang load-nya memuncak sejak ganti pejabat baru), iseng-iseng sampingan, ngurusin KPR dan proses pembangunan rumah, pandemi yang nggak habis-habis dan merambah keluarga besar saya….

Serta nunda aja, sih ya. (YEEE)

Tapi itu ceritanya saya cicil-cicil aja yak, sekarang ini dulu.

Memutuskan Untuk Mengambil KPR di Masa Pandemi

Bisa dibilang ini terencana, tapi juga tidak terencana. Sejak 2020, kami memang sudah aktif mencari rumah, namun sekedar melihat-lihat supaya makin semangat menabungnya. Perkiraan kami, mungkin masih dua-tiga tahun lagi kami baru bisa menempati rumah sendiri. Tahun 2023, lah.

Tinggal di rumah orangtua atau mertua bukanlah opsi kami; mertua saya ada di Sumatera, sementara rumah orangtua saya letaknya terlalu jauh dari kantor (tidak ada tol) dan terlalu kecil untuk ditempati beramai-ramai. Karena faktor itu pula, kami berpikir mungkin perlu menabung lebih lama karena kami juga harus tetap membayar kontrakan.

Nyatanya, manusia cuma bisa berencana. Dan rencana-Nya InsyaAllah baik. Tidak menyangka kalau ada rumah yang terjangkau dengan lokasi yang pas, dan InsyaAllah bisa kami tempati akhir tahun ini.

Saat ini rumahnya masih dalam proses pembangunan, namun sudah hampir selesai. Kalau lancar, akhir tahun kami akan pindah ke rumah itu. Sebenarnya sih bulan Juli ini sudah bisa ditempati (walapun seadanya). Tapi kami mau menghabiskan kontrakan yang memang batasnya sampai akhir tahun, sambil merenovasi rumahnya sedikit-sedikit.

Lokasinya lebih jauh dari kontrakan kami sekarang, tentu saja: ada di kota Cimahi yang bisa dijangkau 20 menit menggunakan tol. Anggaplah kantor saya terletak di Pacific Place (gaya betul), maka rumah saya ada di Ciputat, Tangerang Selatan; jaraknya sekitar 15 km. 

Untuk pejuang KRL Jabodetabek, tentu rasanya masih dekat. Tetapi karena di Bandung tidak ada sistem transportasi umum yang baik, cara efisien selain menggunakan tol adalah menggunakan kendaraan roda dua dengan durasi sekitar satu jam. Jaraknya terhitung wajar, dan masih dekat ke pusat kota--kota Cimahi, bukan kota Bandung.

Setelah beberapa bulan berproses jadi tukang survey rumah menjadi milenial pejuang KPR, saya cuma mau berbagi aja mengenai hal-hal yang kami pertimbangkan sebelum mengambil rumah. Hal-hal di bawah ini umum dan banyak dibahas di mana-mana, but of course, this is our personal take.

Pertimbangan Saat Mencari Rumah Tinggal Pertama


Rencana Ke Depan

Iya, ini yang utama. Jangan sampai setahun setelah membeli rumah, tahunya dimutasi ke Honolulu. Kan sayang banget tuh. Ha ha ha. Saat mengambil dan mencari rumah, saya dan Abang tahu kalau kami akan tinggal di Bandung dalam waktu lama, at least ketika usia kami produktif. Rencana tinggal ala Harvest Moon-nya Abang alias bertani dan beternak di Jambi adalah obrolan lain.

Dua tahun sebelum menikah, sempat ada program perumahan pegawai di kantor saya: uang muka murah dan cicilan rendah. Lokasinya jauh banget dari kantor, sekitar 30km-an; harus pakai kereta Bandung Raya. Saya memutuskan tidak mengambil karena lokasinya terlalu jauh, baik dari kantor maupun dari rumah.

Orang-orang kantor yang sudah berumur selalu menyesalkan mengapa saya nggak mengambil rumah itu, karena saya waktu itu belum menikah (punya rumah nggak akan rugi, beli aja dulu). Tetapi yang paling tahu kebutuhan soal rumah tetaplah kita sendiri. 

Bagi saya rumah itu terlalu jauh, belum tentu ditempati, sedangkan cicilannya yang termasuk rendah pun sudah pasti akan “memakan” biaya bulanan saya dan keluarga saat itu. Gaji saya masih pas-pasan sekali sebagai pegawai yang masih berstatus C.

Toh ketika tiba waktunya, saya mendapatkan rumah di tempat yang lebih baik, uang muka yang terjangkau, serta cicilan yang bisa digapai karena sudah ditanggung berdua. Lebih yakin, karena saya tahu rumah itu pasti akan kami gunakan dan kami tinggali. Jadi, percayalah dengan intuisi diri serta rencana hidup sendiri, bukan pendapat orang lain yang belum tentu paham kondisi kita.

Kemampuan Finansial

Ini adalah faktor terbesar kedua bagi kami. Dalam mengajukan KPR, kemampuan finansial bukanlah sekadar memiliki penghasilan sekian; stabilitas perusahaan dan penghasilan juga menjadi faktor utama. Terlebih di saat pandemi covid-19, ketika bank-bank semakin mengetatkan kucuran dananya pada debitur.

Di sisi lain, kami merasa pandemi inilah waktunya yang tepat untuk membeli rumah, dengan memanfaatkan promo yang ada. Membandingkan harga tahun lalu dan dua tahun sebelumnya, memang harga pasaran tidak terlalu ada penurunan berarti (mengingat rumah yang kami mau adalah rumah kelas menengah biasa, bukan perumahan mewah); tetapi promonya benar-benar beda jauh.

Sebelum benar-benar memberikan uang jadi, kami cerewet sekali pada marketing, baik marketing perumahan maupun marketing kredit bank. Kami menjelaskan situasi finansial kami dan latar belakang sekilas, dan bertanya apakah mungkin diterima. Jangan sampai sudah memberi tanda jadi tahunya sama bank malah dipukul mundur.

Idealnya, cicilan berkisar 30% dari pendapatan total (suami-istri, kalau keduanya bekerja). Dengan bergerak dari base ini, kita bisa memperkirakan perumahan yang terjangkau oleh pendapatan kita. Entah rumah subsidi maupun non-subsidi.

Dan perlu diakui, sektor kerja saya sangat mempengaruhi bank dalam menerima pengajuan KPR kami. Karena saya bekerja di instansi pemerintah, dan developer pun sempat bekerja sama dengan instansi saya juga--bisa jadi hal itu berpengaruh pada diterimanya aplikasi KPR kami.

Lokasi

Setelah base cicilan kami ketahui, barulah kami berjalan ke aspek berikutnya: lokasi. Iya, karena lokasi tentu sangat mempengaruhi jumlah cicilan, kan. Semakin dekat ke kota, tentu semakin mahal. Impian saya punya rumah di sayap Dago, tapi saya nggak punya privilege itu, jadi kami perlu lebih realistis.

Nyatanya, apa yang awalnya menurut kami realistis, bisa jadi belum benar-benar realistis. Awalnya mencari di kota, tapi ternyata DP-nya tidak cukup dan kami harus rela melihat unit yang ditawarkan satu per satu habis. Padahal Abang kepikiran rumah itu sampai kebawa-bawa mimpi, hahaha.

Kami berkeliling setiap hari Minggu, berbekal hasil menyisir instagram, website, dan kabar dari teman. Sampai ada waktunya eneg banget lihat-lihat rumah, karena kok ya belum aja nemu yang cocok. Meskipun targetnya 2023, somehow makin sering lihat malah pingin makin cepat.... :D

Ada yang lokasinya bagus, harganya mahal. Yang harganya terjangkau, lokasinya kejauhan. Mau ambil yang developer A, kok bangunannya kurang baik. Yang bangunannya baik, desainnya kok aneh. Dan berbagai pertimbangan-pertimbangan lainnya sampai sakit kepala.

Pada akhirnya, kami harus menurunkan ekspektasi dan bersikap “lebih” realistis.

Fasilitas apa yang dibutuhkan di sekitar lokasi? Standarnya tentu saja keberadaan fasilitas umum seperti sekolah dan fasilitas perdagangan, akses jalan, jarak ke tempat kerja, kehadiran jalan tol, transportasi umum, dan sebagainya. 

Nah, kami juga harus sadar kalau dengan range harga yang kami incar, tidak mungkin mendapatkan semuanya dalam versi ideal. Karena itu kami memutuskan memilih beberapa faktor yang penting; sisanya bisa lah kami usahakan.

Dalam hal ini, yang jadi pilihan kami adalah akses ke pusat kota, akses ke jalan tol, serta keberadaan fasilitas umum. Minusnya, transportasi umum ke perumahan kami memang buruk sehingga harus bermodal kendaraan pribadi. Lokasinya pun cukup “pelosok” sekalipun dekat dari pusat kota (sekitar +-6 km dari pusat dagang dan stasiun kereta, 3 km dari universitas besar).

Karena sejak awal risiko itu sudah diketahui, dan faktor lainnya dinilai cukup memenuhi syarat, kami tetap sepakat mengambil rumah tersebut. Sekarang sih saya belum bisa membayangkan bagaimana ketika sudah tinggal di sana, berjarak 15 km dari kantor dan harus lewat wilayah macet setiap rush hour. Bandingkan dengan kontrakan saya yang jaraknya 5 km dari kantor saya dan 1 km dari kantor Abang.

Tapi, kalau kata teman kantor saya, nanti juga akan terbiasa. Pasti rasanya akan tetap bahagia, karena rumah tinggal sendiri. He he, saya belum bisa membuktikan; tapi menyambut waktu yang semakin dekat ke waktunya pindahan, saya juga semakin excited.


Kelayakan Bangunan dan Developer

Bagian ini adalah bagian yang merupakan keahlian Abang, hahaha. Soalnya saya nggak teliti dan cenderung maunya cepat beres. Abang yang curigaan dan selalu mengecek dua kali selalu mempertanyakan saya setiap kali ada pilihan, bikin saya merasa aman tapi juga sebel karena ditanyain melulu, ha ha ha…

Sebelum memutuskan mengambil rumah, kami terlebih dahulu mencari tahu latar belakang developer, termasuk track record proyek-proyeknya. Kami bertanya tidak hanya pada marketing, yang sudah pasti memberitahu yang baik-baik saja. Saya juga bertanya pada penghuni sekitar (tentu saja saat marketingnya nggak ada). Tentang janji developer yang ditepati atau tidak, kualitas bangunan setelah ditinggali, fasilitas kemasyarakatan yang ada di perumahan, dan sebagainya.

Tentu saja ini tidak menjamin tidak akan ada kekurangan, ya. Tetap jadi tugas kita untuk mengecek ketika proses pembangunan dan jual-beli berjalan. Proses KPR kami pun tidak benar-benar mulus karena ada sedikit drama terkait dengan marketing dan project manager. Tapi alhamdulillah, semua terlewati dan sekarang yang tersisa adalah membayar cicilan yang masih lima belas tahun lagi.

(Eh, itu Alhamdulillah nggak sih?) :D

Biaya-biaya tambahan

Memang brosur perumahan itu cuma menawarkan yang baik-baik saja. Mereka bisa menaik-turunkan promosi dengan catatan kaki “semua informasi yang dicantumkan di brosur ini adalah benar saat brosur ini dicetak; kami tidak bertanggung jawab atas perbedaan informasi saat ini.”

Karena itu, tanyakan dengan teliti seperti apa program diskonnya (kalau ditawarkan), dan berapa “harga bersih”nya. Berapa kredit yang harus kita ajukan dan besaran DP-nya (standarnya 20%, tapi bisa berkurang dengan promo). Ada biaya KPR yang bisa mencapai 5-8% dari harga jual rumah. 

Ada juga biaya tambahan yang harus dikeluarkan kalau kita harus merenovasi supaya sesuai dengan kebutuhan. Contoh sederhananya adalah dapur, yang tidak selalu disediakan oleh rumah bawaan developer. Juga keperluan lainnya yang nampaknya murah padahal kalau ditumpuk cukup banyak juga: tandon air, teralis, pagar, kanopi, pompa tambahan, duuh…. Kalau di-list pasti banyak, jadi bisa bikin postingan baru. Nanti aja ye.

Ngomong-ngomong, perumahan yang saya tempati memberikan promo DP dan biaya KPR. Hal itu juga yang menjadi pertimbangan utama kami saat mengambil rumah tersebut. Sebagai tambahan ada promo cashback, yang kami gunakan untuk merenovasi tambahan seperti plester belakang, penambahan dapur, tandon ekstra, dan sebagainya.


Mencari rumah itu seperti mencari jodoh

...adalah hal klise yang nggak bisa dimengerti sebelum mengalaminya sendiri. 

Berharap itu boleh dan perlu, berusaha juga sudah pasti. Namun tetap saja, yang menentukan apakah rumah itu rezeki kita adalah yang maha memutuskan. Saya dan Abang awalnya berpikiran di perumahan A, lalu B, namun ketika sudah hampir pasti akan memperjuangkan B, ternyata malah memilih perumahan C yang awalnya tidak kami perhitungkan sama sekali.

Begitu juga dengan biaya.Idealnya, memang, kami memiliki uang tabungan sejumlah X ketika hendak mengambil rumah senilai Y. Tapi sejujurnya tabungan kami tidak mencapai jumlah X. Saat memutuskan akan mengambil rumah yang dinilai “terjangkau” pun, kami masih berpikir keras bagaimana cara menutupi yang kurang: uang muka, biaya renovasi tambahan… nyatanya, Allah cukupkan. Semoga ke depannya pun begitu.

Kami paham betul kalau mengambil KPR berarti harga yang kita bayar berkali lipat dibandingkan harga jual aslinya. Mungkin juga ada pemahaman bahwa KPR itu riba, sehingga seharusnya tidak diambil dan memilih membangun rumah saja. Dengan cicilan yang kami punya sekarang, bisa jadi kami akan sedikit “tercekik” kalau punya anak, ha ha.

Saya tahu teman yang penghasilannya tidak masuk logika untuk memiliki rumah, namun dengan niat yang baik dan tekad, akhirnya berhasil membangun rumah sendiri. Saya tahu teman yang sudah dibelikan rumah oleh orangtuanya sejak sebelum menikah, sehingga itu menjadi rezeki untuk pasangannya juga. Saya juga tahu rekan yang mencicil rumah dengan cara konvensional seperti saya, dan beli dadakan karena waktunya terasa pas.

Keputusan untuk mengambil rumah dan dengan metode apa, akan selalu menjadi preferensi yang sangat personal dan tidak bisa disamakan satu sama lain. Bagi kami, kebutuhan akan rumah dan malas mikir kontrakan lagi, serta proyeksi ke depan--takutnya semakin sulit mencari rumah yang bisa kami jangkau--akhirnya membuat kami tetap mengambil rumah dengan sedikit nekad.

Yang pasti, saat ini, di sinilah kami: masih di kontrakan sampai akhir tahun, tapi InsyaAllah kalau semuanya lancar, bisa pindah ke rumah sendiri. Soal selanjutnya, biarlah kami lewati sambil mengalir, tetap berencana dan berdoa. 

Semoga pengalaman kami ini bisa jadi sedikit cerita dan referensi untuk sobat calon pejuang KPR, dan yang sedang mencari rumah tinggal pertamanya bisa dimudahkan menuju ke sana :)

Salam,
Mega