Menabung tidak harus membuat menderita. Namun biasanya sulit kalau sang penabung punya tendensi boros.
by yours truly. image sources: unsplash

Seperti yang sudah pernah saya ceritakan di post tentang budgeting, saya ini… boros!

Saya nggak mikir kalau mengeluarkan uang, terutama soal makanan. Sering sekali saya berpikir “ah, masih cukup deh”, padahal sudah di ambang cekak dan harus menahan diri.

Sebagian kebiasaan ini mungkin karena saya memang susah menahan hawa nafsu. Pun, masa kecil saya juga memang tidak mendapatkan pelajaran tentang uang yang baik dari orangtua.

(Trivia: Orangtua saya tidak pernah benar-benar mengajarkan soal uang—sampai SD, saya tidak berpikir kalau untuk mendapatkan sesuatu di warung kita harus membayar)

Baca Juga: Budgeting, Agar Pendapatan Tidak Habis di Tengah Bulan

Tetapi, saya sudah dewasa sekarang. Apa yang diajarkan orangtua saya tidak bisa dijadikan alasan ‘demek’-nya kondisi keuangan saya. Keborosan saya bukan karena ajaran orangtua, tapi saya-lah yang harus bisa mengontrol diri sendiri.

Setelah saya memiliki penghasilan, perlu beberapa tahun sampai saya bisa disiplin menabung. Pada awalnya saya malas menabung, dan beralasan wajar kalau uang habis karena dipakai memenuhi kebutuhan keluarga.

Keinginan saya terhadap reward juga tinggi. Kalau saya habis bayar tagihan A, saya beli sesuatu buat diri sendiri. Habis bayar biaya sekolah B, kasih reward lainnya. Murah sih, hanya coklat sebatang; tapi kalau terus-menerus, ya boncos juga kan tanpa jadi apa-apa.

Saya yakin banyak juga teman-teman yang punya masalah sama dengan saya (pede) (iya dong).

Menjadi generasi sandwich toh tidak menggugurkan kewajiban kita untuk menabung demi keselamatan di hari tua. Malah harus semangat nabungnya, karena saya tidak ingin mengulang apa yang terjadi ketika punya anak nanti.

Baca Juga: Money Game: Six Financial Lessons I Learned Through the Years

Maka dari pikiran itulah, saya malah jadi hobi menabung. Maka lumayan lah, saya bisa menyeimbangkan keborosan ini. Masih boros, tapi terukur.

Menabung tidak harus menunggu sampai punya uang banyak. Menabung justru awal dari membangun kekayaan.
Pexels; Karolina Grabowska

Lho, kok masih boros?

Iya betul. Boros di sini dalam artian saya masih nggak mau “menderita” demi bisa menabung. Saya masih menghibur diri now and then, dengan patokan yang sudah terukur, tentunya.

Jadi, ketika saya “bersenang-senang”, saya tetap tenang karena jatah tabungan sudah terpenuhi. Menabung tidak harus membuat kita menderita karena nggak bisa ~menikmati~ hasil jerih payah kok.

Disclaimer: Ini berlaku untuk yang penghasilannya/pendapatannya bisa covering basic needs, seperti sandang-pangan-papan yang layak, ya. Sebelum mengubah perspektif untuk menabung, evaluasi dulu keuangan secara keseluruhan, dan bila belum memenuhi, cari cara untuk menambah pendapatan atau melunasi hutang lebih dulu.

Kalau memang kalian adalah tipe yang live or die dan memilih hal lain sebagai tujuan utama di luar keamanan finansial saat ini, of course, you do you! Personal finance, sesuai namanya, adalah personal, dan yang ditulis di sini belum tentu sejalan dengan personal value masing-masing. 😁

Nonetheless, semoga cara-cara di bawah ini bisa bermanfaat bagi yang memerlukan.

Menabung itu harus ada tujuannya.

Buat saya yang boros, menyisihkan tabungan pada awalnya menyiksa. Kok, ada uang di rekening, tapi nggak bisa dipakai? Dalam kepala saya, uang itu harus digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat.

Agar tidak tergoda dengan uang yang menganggur, memiliki tujuan dalam menabung itu wajib. Dengan adanya tujuan, uang memiliki “pekerjaan”. Tidak ada istilah uang nganggur, karena setiap rupiah punya tugasnya masing-masing.

Tentukan juga tabungan itu ditujukan untuk berapa lama, dan jumlahnya berapa. Kalau belum begitu jelas, gambaran kasar will do. Namun, semakin jelas tujuannya, akan semakin mudah menabungnya.

Ketika berpikir bahwa setiap nominal ada tujuannya, keinginan untuk menggunakan uang tersebut pun semakin berkurang.

Ubah perspektif: menabung untuk memudahkan diri di masa depan

Suami saya memiliki pandangan yang nyaris terbalik dengan saya soal uang.

Dia tidak bisa membayangkan menabung untuk kebutuhan sepuluh tahun mendatang, misalnya. Baginya lebih baik memanfaatkan uangnya untuk hal yang lebih bermanfaat dan hasilnya bisa langsung dilihat.

Tidak masalah kalau sudah terukur, namun lain kalau jumlah yang dipakai itu sebenarnya bisa dipakai untuk menabung di pos yang diperlukan. Kalau tidak melakukan budgeting, kecenderungan ini akan makin rawan.

(Dia punya keunggulan yang lebih dari saya di departemen lain: fokus dan kerja keras. Tapi saya cerita di waktu lain aja. Maaf ya Bang, sekarang topiknya ini dulu 🤣)

Ketika tergoda untuk menggunakan uang untuk hal lain—dan mengorbankan tabungan *in the process—*bisa dimulai dengan bertanya pada diri sendiri: apakah yang akan dibeli ini hanya bermanfaat untuk saat ini?

Bertanya ulang biasanya ampuh untuk saya. Hal ini saya lakukan hampir setiap akan membeli sesuatu: saat hendak memasukkan barang ke keranjang di supermarket, check-out barang di toko online, dan lain sebagainya. Mana yang lebih bermanfaat: ngemil sekarang atau uangnya untuk nambah-nambahin kepinginan beli laptop?

Contoh di atas adalah perdebatan nurani pribadi, thank you for asking. (Siapaaa juga yee)

Mulai dari yang kecil

Beberapa tabungan yang wajib dimiliki sebelum menabung untuk yang lain adalah dana darurat, dana pensiun, dan dana talangan. Bagi saya ini non-tolerable. Karena semakin awal memulai dana pensiun semakin kecil nominal yang dibutuhkan per bulannya, saya sudah menabung dana ini sejak usia 24 tahun.

Tapii, untuk orang yang susah membayangkan seperti contoh sebelumnya (iyaaa… suami aku… yaaa betul, maksudnya Abang!—karena dia baca blog ini juga—), membayangkan ini sudah pasti sulit.

Pensiun adalah usia yang masih sangat jauh dari usia kami yang saat ini masih produktif. Kalau memang belum terbiasa, jangan memaksakan diri. Yang ada malah di tengah jalan stres karena menabung untuk hal yang belum “menyusup” ke hati, lalu tabungannya diambil, kandas deh.

Mulai dengan menabung untuk hal konsumtif, nggak masalah. Terutama untuk yang sebelumnya terbiasa mencicil. Rasakan dulu membeli barang tanpa harus mencicil. Setelah terbiasa, baru naik kelas ke tabungan dengan tujuan yang lebih jauh.

Sisihkan begitu dapatkan uangnya

Meskipun sudah ada kesadaran perlu menabung, saat dapat gaji, saya begitu seering menunda untuk memasukkan tabungan, karena takut untuk dipakai keperluan mendadak atau yang lainnya.

Padahal seringnya nggak dipakai untuk kebutuhan darurat, malah bablas buat jajan yang lain atau berbagai kebutuhan berlabel “nanggung, tambahin deh….”.

Kalau masih berpikiran begini, berarti keuangannya perlu disusun ulang. Sebelum menabung untuk hal lain, sediakan jatah untuk dana darurat dan/atau dana talangan. Dengan demikian tidak ada lagi alasan menyimpan “uang nganggur” untuk kebutuhan darurat yang ujungnya malah terpakai untuk hal lain.

Begitu dapat uang, sisihkan tabungan lebih dulu, baru sesuaikan di pos-pos keuangan lain seperti makanan, tempat tinggal, tagihan, dan sebagainya.

Gunakan instrumen yang tepat.

Inflasi akan menggerus nilai uang kita seiring waktu, dan inilah yang akan terjadi kalau kita menabung di rekening biasa. Tentu sudah tahu yaa kalau bunga bank itu nggak sampai secuilnya inflasi setiap tahun. Belum lagi biaya administrasi bulanan yang malah mengurangi saldo.

Artikel: Inflasi, Pencuri Uang Kita di Tabungan

Menabung di bawah kasur? Selain rawan digigit tikus, tetap saja nilai uang tidak bertambah maupun berkurang. Nominal boleh bertambah, tapi saat diterjang inflasi, ujungnya tetap gigit jari.

Untuk menabung jangka panjang, sebaiknya memilih instrumen investasi yang sesuai. Bisa menggunakan deposito, emas, reksadana, obligasi negara, atau bahkan saham langsung, tergantung dengan kebutuhan serta kesiapan kita menerima risiko.

Apakah itu berarti jangan menabung di rekening biasa, dan alihkan semua ke instrumen investasi? Oh tentu saja tidak, Ferguso. Dana darurat dan dana talangan tetap memerlukan instrumen yang cair dan mudah dicairkan. Jadi tetap harus menyediakan tabungan di rekening ya.

Agar tidak tercampur dengan operasional, pisahkan tabungan dalam rekening tersendiri. Kalau perlu yang ATM-nya sulit ditemukan atau tidak mengaktifkan layanan e-banking supaya tidak tergoda. Kalau sudah tahan godaan, silakan pakai rekening apa saja.

Satu yang pasti, jangan digabungkan dengan rekening operasional, karena kalau ini terjadi blas pasti akan pusing. Kecuali nih, kalian sudah pro dan bisa mengingat/mencatat dana sekian untuk tabungan sekian.

Plus bisa mengalahkan godaan mental, departemen yang paling susah saat menggabungkan tabungan. Sebagai manusia yang punya tendensi boros, saya nyerah sama yang ini.

Perhatian: Trading saham bukan investasi/menabung saham. Trading itu proses jual-beli dalam waktu singkat  dan terus-menerus. Gatal sekali sebenarnya saya melihat tren trading saham dan aplikasi lainnya akhir-akhir ini, yang diiklankan sebagai “investasi”. Tapi saya curhat soal ini di artikel lain aja, yaa. 😆

Sediakan jatah tabungan foya-foya.

Ini adalah “pelipur lara” saya agar tidak berhenti menabung. Menabung buat kesenangan sah-sah saja. Saya menyisihkan ini agar saya tahu ada “kesenangan” yang bisa saya petik dalam waktu dekat, selain tabungan untuk masa depan yang masih jauh.

Tabungan foya-foya buat saya berarti tabungan untuk parfum, yang jadi hobi saya (meskipun tetap jarang beli yang mahal sih, hahaha). Bisa juga untuk ganti ponsel, yang memang sekadar ingin ganti, bukan karena ponsel saya sudah rusak. Atau liburan yang belum kesampaian karena masih pandemi. Hiks.

Tabungan foya-foya memberikan saya tenaga untuk menabung bagi hal lainnya. Hasil tabungan ini juga, sesuai namanya, bisa untuk saya foya-foya tanpa harus kepikiran kebutuhan yang lain. Coba, nikmat mana yang kamu dustakan? #tsah

Pexels; Karolina Grabowska

Menabung Tidak Harus Menghilangkan Kesempatan Bersenang-senang

Kalau cashflow kita baik dan pos-pos tabungan kita sudah terpenuhi, kenapa nggak ya kan? One bungkus snack pakai micin can’t hurt you. Maap contohnya micin, karena micin adalah salah satu bentuk kenikmatan dunia.

Yang perlu diingat adalah cukup, cukup, cukup. Tidak berlebih dalam menggunakan uang untuk kesenangan yang temporer. Memaksimalkan kinerja uang yang ditabung sesuai dengan tujuan. Perasaan pun akan lebih tenang ketika hendak membelanjakan uang untuk hal-hal tersier.

Dan kembali lagi pada kesiapan kita: apakah sudah siap kalau harus kehilangan “kesenangan” tersebut? Jangan memaksakan diri kalau ada orang yang bisa hidup tanpa jajan kopi, misalnya.

(Ini karena “ditch your Starbucks coffee” adalah saran yang lumayan lazim di saran mengenai finansial—yang menurut saya, kurang relevan. Sebelum meniadakan pembelian kecil, evaluasi terlebih dahulu kemampuan finansial kita dan hutang yang ada.)

Bagi saya, dana darurat, dana talangan, dan dana pensiun wajib hukumnya sebelum bisa menabung untuk yang lain-lain. Bagi yang sudah menikah dan/atau punya anak, bisa meneruskan dengan tabungan rumah (kalau belum punya rumah sendiri), tabungan persiapan melahirkan, tabungan pendidikan, dan seterusnya.

Ngomong-ngomong soal dana darurat, kemarin Mbak Eno cerita mas driver-nya berhasil mengumpulkan dana darurat. Huhuhu membacanya bikin saya semangat untuk mencapai dana darurat yang masih on progress.

Sisihkan pembiayaan untuk jajan kopi, if you can’t live without coffee; sisihkan tabungan untuk traveling, kalau memang itu adalah kecintaan utama seperti Mbak Justin dan Mas Gepeng. Semua orang punya cara masing-masing untuk membahagiakan diri serta mencapai tujuan.

Dan kalau memang merasa perlu untuk menabung, namun sulit untuk melakukannya, mungkin bisa mulai dari hal-hal di atas.

Atau, teman-teman ada yang punya cara lain yang barangkali bisa ditularkan buat saya? 😄

Salam
Mega