Tempat Cincin dan Mas Kawin
Kotak cincin dan seserahan semua dibuat sendiri. Hasil ngepas juga senang :)


"Kalau kamu nikah, nanti di depan rumah aja. Pasang tenda, tapi pokoknya catering dan makeupnya harus dari ****. Itu temen Ibu, sekarang aja udah terkenal, apalagi nanti."

Itu kata almarhumah Ibu, pada saya yang masih kelas tiga SD waktu itu. Menyebut nama vendor pernikahan milik temannya yang sekarang harganya sudah selangit. Beliau sejak dulu memang super ekstra.

Berhubung usia Ibu tidak kesampaian, jadi saya mengatur pernikahan ini tanpa bantuan Ibu. Sejak itu pula, keinginan saya tentang resepsi pernikahan lebih sederhana: Hanya syukuran saja, dihadiri oleh keluarga dan tetangga. Kalau bisa simpel lebih enak: cukup tumpengan di rumah, tempat keluarga besar, dan di kantor.

Waktu bicara begitu pada keluarga besar saya, langsung diprotes, tentu saja.

"Menikah itu sekali seumur hidup, masa nggak ada apa-apa?"

"Masa' kamu mau pakai baju biasa aja, nggak cantik-cantik? Nanti nyesel!" Itu waktu saya bilang mau beli gamis dari Pasar Baru aja, terus pengajian di rumah. Hehehehe.

Bukannya saya nggak mau juga sih dipestakan. Tetapi pikiran saya mentok di biaya - saya ingin sebisa mungkin tidak menyusahkan orangtua. Realistis saja: biaya pernikahan zaman sekarang sudah menyaingi harga mobil, bahkan harga rumah. Dan saya tahu keluarga saya tidak boleh memaksakan diri untuk hal-hal tersebut.

Plus, saya melotot waktu melihat daftar harga catering, dekorasi, make up, dan lain-lain. Waktu menghitung dengan calon suami, kok ya jadi nggak selera makan. Memangnya bisa kesampaian? Duit dari mana, padahal rencana menikah tidak sampai setahun lagi. 

Terus, gimana? Yaa... tetap menikah, dong.

Kami tetap mengadakan akad dan resepsi seperti pada umumnya. (Nggak ada zuppa soup sih).

Hal paling mencolok dalam acara pernikahan saya adalah kami memutuskan untuk tidak menggunakan Wedding Organizer atau menggunakan paket Wedding yang biasa diberikan catering. Kami mengurus vendor sendiri dengan bantuan keluarga besar. Alhamdulillah, Desember 2019 lalu akad dan resepsi pernikahan saya terselenggara dengan lancar.

Berhubung saya yakin masih ada banyak calon pasangan yang berniat menikah dengan budget pas-pasan, saya mau share saja pengalaman saya di sini sekaligus sebagai kenang-kenangan. Sekalinya beres, tulisan ini ternyata jadi panjang banget. Oke, bagaimana caranya mempersiapkan pernikahan (dengan biaya mepet, dan tanpa WO)?

notes: tulisan ini dibuat sebelum pandemi di Indonesia, so apologies untuk beberapa fakta yang sudah tidak relevan. Semoga segera relevan lagi di masa mendatang.

Enjoy!

Index

  1. Memastikan Budget lebih Detail
  2. Tentukan Prioritas
  3. Lihat Sumber Daya yang Ada
  4. Teliti Terhadap Vendor
  5. Kompensasi dengan Keluarga
  6. Jangan Lupa Urusan Administrasi

Bedanya Wedding Organizer dan Paket

Kadang-kadang orang suka bingung apa bedanya Wedding Organizer dan Paket Wedding. Semuanya digunakan interchangeably dan saya yang awam soal pernikahan ini bingung apa bedanya. Saat merencanakan pernikahan, saya baru paham.

Wedding Organizer bertindak sebagai project manager dari pernikahan kita. Untuk vendor, biasanya kita mencari sendiri, tapi kemungkinan pihak WO juga akan memberikan rekomendasi kolega yang sudah biasa bekerja sama dengan mereka. 

Mereka juga akan membantu kita mengonsep hari pernikahan sesuai seperti apa yang kita mau. Jadi, kita ada ide apa, budgetnya berapa, akan diakomodasi dan diusahakan oleh Wedding Organizer.

Wedding Organizer cocok untuk yang suka mengurusi setiap detail dari pernikahan, tetapi tidak mau terlalu repot. Komunikasi dengan pihak vendor akan ditanggung oleh Wedding Organizer dan kita menerima laporannya saja.

Untuk pembayaran tiap vendor, biasanya juga dibantu oleh Wedding Organizer ini. Tetapi, saran saya, sebaiknya tetap mengurus pembayaran sendiri atau mendampingi, agar transparansi keuangan tetap terjaga.

Untuk Paket Wedding, biasanya adalah ekstensi dari satu layanan: bermula dari salon dan/atau catering, yang membuat ekspansi usaha. Sebenarnya, di belakang juga mereka sudah pasti bekerja sama dengan vendor lain. 

Tetapi kita tidak perlu pusing-pusing, kita tinggal memilih dari apa yang disediakan oleh pihak salon/catering. Kita tinggal membaca harga dan menyesuaikan dengan budget masing-masing.

Pilihan yang diberikan bergantung pada paket harga yang diambil. Semua harga sudah all-in, biar mereka yang mengatur. Bergantung dari paket yang diambil, biasanya paket wedding juga memberikan Wedding Organizer khusus hari H.

Enaknya kita tidak usah berpikir lagi, semua sudah disediakan satu paket. Tidak enaknya, pilihan lebih terbatas karena tidak bebas memilih vendor satu per satu.

Kalau tidak pakai keduanya? Berarti edisi gotong royong. Ini yang saya lakukan saat pernikahan kemarin. Rasanya? Oooo luar biasa. Asyik, tapi pastinya, nggak akan mau melakukan untuk yang kedua kalinya. (Iya dong!)

Kembali ke atas




Hal-hal yang Harus Diperhatikan

Memastikan budget (lebih detail).

Idealnya ini dibicarakan langsung. Berapa nominalnya? Jangan malu-malu menyebutkan angka, daripada ada salah paham yang berujung runyam di kemudian hari. Kami mendiskusikan angka sebelum lamaran, agar tahu bayangannya. Tulis di dokumen online yang mudah diakses oleh ponsel agar tidak lupa kalau-kalau perlu sebagai referensi. Kami menggunakan google sheet.

Selama proses persiapan, usahakan semua nota dan pengeluaran dicatat, termasuk hal seperti biaya transport dan konsumsi di perjalanan. Saya menggunakan google drive yang di-share berdua. Tidak tercatat lengkap, apalagi menjelang hari H, tetapi secara garis besar cukup jelas.

Budget sangat penting karena menentukan seluruh keputusan yang akan diambil. Tanggal, misalnya: lebih cantik tanggal, vendor akan cenderung lebih sulit dicari dan harganya pun lebih mahal. Jumlah undangan, tempat, dan vendor juga berpengaruh dengan budget.

Jangan lupa siapkan biaya tak terduga sekitar 30% dari perkiraan. Pastikan sejak awal dana yang tersedia sudah mencakup 30% dana tak terduga ini.

Jangan dipas! Karena pasti deh, akan adaaa saja yang kurang dan harus dibeli menjelang hari H. Mulai dari membayar jasa orang sampai hal semacam peniti atau lem.

Bicara soal budget, alasan budget ini juga yang membuat kami memilih venue rumah untuk penyelenggaraannya. Kami menyelenggarakan pernikahan di kampung halaman Ayah - Garut, Jawa Barat, yang berjarak +-70km dari Bandung.

Awalnya yang mengusulkan adalah Ayah saya. Alasan utamanya adalah karena saudara-saudara yang bisa membantu persiapan semua tinggal di kota tersebut, sedangkan di Bandung mayoritas adalah keluarga dari Almarhumah Ibu yang jumlahnya lebih sedikit dan kebanyakan sudah berusia lanjut. Selain itu, rumah keluarga di sana juga luas, sehingga memungkinkan untuk mengadakan acara besar.

Risikonya tentu tamu undangan lebih sulit mencapai tempat resepsi, karena pada dasarnya kami berdua hidup dan beraktivitas di Bandung. Namun kami positive thinking saja: orang yang memang berniat datang, akan datang. Alhamdulillah, mayoritas tamu bisa hadir meskipun perjalanannya sedikit merepotkan.

foto pernikahan berdua.

Tentukan prioritas

Karena budget pas-pasan, tentu saja kita tidak bisa selalu mendapatkan semuanya yang diinginkan. Kalau dana tidak terbatas, tentu saja saya mau outdoor wedding dengan konsep piknik di atas rumput lengkap dengan segala printilan lucu-lucu lainnya. 

Hal ini tentu juga dipengaruhi pertimbangan dari orangtua dan keluarga besar. Kalau keluarga kalian nggak keberatan dengan suka-suka sendiri, guide ini tidak terlalu diperlukan. Tapi orangtua saya 'kan bukan orangtuanya Suhay Salim.

Prioritas Ayah saya adalah: Seluruh keluarga bisa hadir (Karena keluarga suami berasal dari luar pulau - Jambi, Sumatera - sejak awal memang kemungkinan kehadiran lebih sedikit daripada keluarga pihak saya). Dengan demikian, opsi resepsi intimate dengan tamu kurang dari 100 jadi pupus. Resepsi kami adalah resepsi standar untuk 500 undangan.

Prioritas berikutnya berarti: Makanan harus cukup. 500 undangan berarti perlu minimal 1000 porsi, malah sebaiknya lebih. Kembali ke budget, apabila menggunakan catering biasa, harganya akan terlalu mahal. 

Maka, kami mencari alternatif: Alih-alih menggunakan catering per porsi, bahan dibeli sendiri dan kami membayar tukang masak serta pekerja harian. Karena bibi saya sudah biasa berbelanja untuk kebutuhan banyak, maka hal ini memungkinkan.

Prioritas terakhir, dari kami berdua: Dokumentasi harus bagus. Prinsipnya mau menikah di mana pun, kalau fotografernya pintar mengambil momen, hasilnya akan memuaskan. Suami pun tidak keberatan kalau anggaran yang dikeluarkan cukup besar. 

Setelah browsing-browsing instagram, akhirnya pilihan kami jatuh pada waffle.photo dan mengambil paket pre-wedding serta wedding. Hasilnya alhamdulillah bagus dan bikin muka kami yang tidak camera-friendly ini jadi bagusan dikit terlihatnya hahaha.

Kami merencanakan pernikahan dengan mengutamakan tiga hal tersebut. Ini berarti hal lain bisa dikompensasikan atau diusahakan kalau memungkinkan. Pernikahan saya tidak punya photobooth dengan foto instan, tidak menggunakan Make Up Artist kenamaan, tidak menggunakan dekor berkonsep custom. Tetapi saya puas dengan hasil akhirnya.

Komunikasi baik dengan keluarga dan pasangan tentunya jadi faktor penting. Jangan sampai karena sudah memprioritaskan satu hal, jadi lupa dengan prioritas pasangan atau orangtua (karena biasanya orangtua akan turut campur dalam kultur pernikahan kita).

desain undangan pernikahan
hasil sumber daya diri sendiri: undangan desain sendiri, lol.

Lihat sumber daya yang ada

Nah, ini lanjutan dari prioritas tadi. Karena ketiga prioritas tadi harus terpenuhi, caranya bagaimana? Paling dekat tentu saja keluarga. Lihat ke sekitar, ada apa yang bisa dimanfaatkan. Lalu, ditambah berhubung saya BM (banyak mau) tapi budget ngepas, jadi banyak yang harus dikerjakan sendiri.

Yang paling utama, keluarga dan teman adalah penolong. Memang benar, katanya silaturahmi itu sumber rezeki. Tanyakan pada teman-teman dan keluarga apakah ada alternatif vendor yang bagus dengan harga yang lebih rendah, atau untung-untungnya ada yang memang mau membantu kita. 

Tapi jangan jadi teman tidak tahu diri yang mau semuanya gratis, ya. Ingat, karya yang baik itu memang harus dihargai dengan dibayar sepantasnya. He he.

Seperti sudah dijelaskan di atas, Bibi saya di Garut adalah expert mengenai masak untuk jumlah besar. Adiknya banyak - perempuan - dan beliaulah yang memegang komando dapur. Untuk memasak juga dibantu dengan saudaranya yang ahli masak lulusan jurusan boga. 

Sepupu saya menjadi perantara kru di lapangan seperti fotografer, MC, dan band. Karena beliau juga fotografer pernikahan, alhasil dia sudah tahu lebih banyak apa yang diperlukan dan memberikan saran untuk saya yang bingung ini. Beliau juga membantu saat proses acara berlangsung hingga alokasi waktunya cukup.

Ini memang salah satu keuntungan menikah di kampung halaman serta dekat dengan keluarga. Saya yang nggak gaul ini dibantu macam-macam, semua dengan semangat kekeluargaan.

Untuk souvenir, Ayah saya sendiri memang pengusaha konveksi, hehehe. Memang kami sudah tidak menerima order besar lagi sejak beberapa tahun yang lalu, tetapi masih banyak mesin-mesin dan kain yang ada di rumah. 

Maka, begitu kepastian tanggal sudah ada, kami langsung mengobrak-abrik lemari kain perca dan menemukan banyak yang bisa dimanfaatkan. Jadi, souvenir saya adalah buatan rumah sendiri. 🙂

Sahabat saya, teh Fuji, memberikan pre-wedding make up sebagai hadiah. Selama ini beliau memang suka mendandani teman kantor kalau ada acara resmi yang mengharuskan kami bertugas, tapi saya belum pernah kebagian dirias karena selalu bertindak sebagai orang di balik layar yang tidak perlu rias. 

Sekalinya didandani, ternyata saat foto pre-wedding. Bersyukur banget punya teman yang baik.

Untuk alasan pribadi yang memang rempong, undangan, kotak cincin serta seserahan saya sendiri yang mendesain dan mengatur. Sebenarnya kalau mau menyewa jasa orang, selalu ada yang lebih murah, tapi saya lebih puas saja kalau dikerjakan sendiri. Puas sekali saat melihat hasilnya, meskipun tidak se-oke yang dikerjakan profesional.

muka tegang macam apa ini. biar gemes aja.


Teliti Terhadap Vendor

Memang nggak salah kalau Industri Wedding sekarang termasuk paling berkembang di Indonesia. Peluang bisnisnya masih bagus sampai bertahun-tahun ke depan. Saya sendiri termasuk orang yang 'gatal' memanfaatkan peluang ini.

Sekali pun ekonomi sedang surut, pernikahan tetap diadakan di mana-mana, (kebanyakan) sepanjang akhir minggu dan sepanjang tahun. Hal ini juga dipengaruhi dengan penduduk terbanyak Indonesia yang saat ini adalah generasi produktif.

Apa pengaruhnya? Kita punya banyak pilihan kalau mau memilih. Yang mahalnya kayak sultan ada, yang murah banget ada. Yang murah tapi berkualitas sudah pasti ada, tapi kita harus pandai mencari. Biasanya, setiap vendor punya persyaratan masing-masing. 

Kalau berusaha mencari harga ekonomis, pasti ada hal yang harus kita kerjakan sendiri. Karena saya menghubungi vendornya langsung, saya tentu bertindak sebagai wedding organizer saya sendiri. Tidak semua vendor memiliki apa yang saya mau  lengkap, apalagi vendor di pedesaan. Jadi banyak yang harus saya cari sendiri.

Beskap orangtua, misalnya, saya sewakan di Bandung karena yang disediakan oleh vendor kurang bagus. Jas pengantin pria kami beli sendiri di Sogo, karena ukuran suami yang memang tidak umum untuk penduduk setempat. Pengawasan saat pendirian tenda pun dilakukan sepenuhnya oleh keluarga.

Terlepas dari harga, yang paling penting adalah komunikasi. Tidak hanya komunikasi dengan pasangan dan keluarga yang penting selama pernikahan, tetapi juga komunikasi dengan vendor. Ini karena vendor adalah eksekutor dari keinginan kita. Kalau komunikasi kita dengan vendor kurang baik, hasilnya juga tidak akan maksimal.

Hal ini bisa dites sejak awal. Apakah dia mudah dihubungi, responsif, memberikan ide yang baik, dan menjelaskan layanannya dengan baik. Untuk komunikasi dengan vendor, selain dengan vendor fotografer yang Bandung-based, saya dibantu oleh sepupu.

Vendor lain ini, seperti dekor, MC, dan band juga didapatkan dari koneksi sepupu saya. Mereka memberikan tawaran harga bargain (dengan penyesuaian paket yang didapatkan tentunya), yang kalau nggak pakai koneksi nggak mungkin didapatkan.

Sebelum browsing-browsing instagram atau website, coba tanya dulu ke sekitar. Banyak kok vendor yang bagus dengan harga terjangkau. Biasanya memang lebih mudah dicari dari kenalan, karena mereka mungkin belum memaksimalkan sosial media.

Adiknya Ayah jadi pengganti Ibu saya hari itu.

Kompensasi dengan keluarga

Ini adalah problem utama dari banyak pernikahan ada di kultur Indonesia. Maklum, pernikahan itu bukan hanya acara kedua mempelai, namun juga menyatukan kedua keluarga. Komunikasi sangat penting di sini. 

Alhamdulillah, sejak awal keluarga saya maupun keluarga suami termasuk santai dan menerima dengan baik keputusan kami. Mereka nggak ribet, malah memberikan bantuan moril maupun materiil. Jadi sesungguhnya tidak terlalu banyak problem.

Dengar dari banyak orang, ada saja cerita bertengkar antara anak perempuan dan ibu. Anak laki-laki dengan ibu juga ada. Karena tidak ada Ibu yang biasanya menjadi 'kunci' pernikahan anak perempuan, diskusi saya melebar dengan anggota keluarga yang lain, yang sudah seperti ibu saya sendiri: tante dan bibi. Tidak ada berantem-berantem, tapi memang, menyatukan berbagai saran dan lumayan bikin saya bingung.

Keluarga juga pasti punya keinginan, begitu pun kita sendiri. Seperti dijelaskan di atas, awalnya saya ingin mengundang sedikit, tapi Ayah ingin mengundang biasa agar seluruh keluarga bisa datang. Pada akhirnya, saya tidak memaksakan keinginan karena sadar, ini juga acara orangtua yang ingin melihat kita melepas masa lajang. (Hehe). 

Suami (waktu itu masih calon) juga selalu dengar kalau saya mulai ngomel atau nangis-nangis, atau keduanya. Maklum, sifat kami memang agak bertolak belakang. Ketika saya sudah overload, Abang (panggilan saya buat pak suami) yang kasih reminder buat saya tetap tenang. 

Paling penting: jangan ngotot. Selalu ingat, pada akhirnya, yang paling penting dari pernikahan adalah menghalalkan ikatan yang akan dibuat. Hal-hal printilan yang sekarang dikhawatirkan - seperti apakah kamu akan berhasil diet, apakah tirai di depan warnanya senada dengan dekor, pada akhirnya dilupakan saat ijab kabul selesai. Sudah nggak mikir lagi 😄

Jangan lupa urusan administrasi

Ini paling penting. Karena segala harus dicek ulang sendiri dan diurus sendiri, jangan sampai lupa kalau kebutuhan administrasi adalah yang paling utama diurus. 'Kan, nggak lucu juga kalau baju sudah bagus, catering sudah oke, dekorasi sudah mantap, eh penghulunya nggak datang-datang.

Pengurusan administrasi ini berbeda-beda tipis setiap daerah, tetapi dasarnya sama: konfirmasi identitas, mengurus surat izin ke kelurahan masing-masing (dimulai dari surat pengantar RT ya), melengkapi dengan foto dan mengatur jadwal dengan penghulu.

Setelah tanggal ditentukan, hal pertama yang kami lakukan adalah membuat pas foto. Kemudian mengecek kebutuhan surat-surat. Karena suami waktu itu sering tugas ke luar kota, ditambah dengan kondisinya yang perantau beda pulau, cukup repot juga kami waktu mengurus surat izin. Tambahan lagi, kami tidak menikah di domisili pengantin perempuan, alias saya juga harus membuat surat numpang nikah. Jadinya dobel!

Oh ya, karena menikah di kampung, jadinya memang biaya tidak setransparan di kota besar. Ada beberapa 'biaya kultur', jadi pastikan lagi dengan sekitar ya. Untungnya, semua berjalan lancar dan alhamdulillah menikahnya sama penghulu resmi dari KUA. Ya iyalah.

Beberapa referensi mengurus administrasi pernikahan:



keluarga baru :) ayahku mini sekali.

Jaga Ekspektasi dan Nikmati Prosesnya

Terakhir adalah ini. Mengatur pernikahan sendiri tentu berbeda dengan yang dibantu oleh profesional. Tidak usah panik ketika hal yang diharapkan ternyata berbeda dengan hasil. Jangankan yang tanpa profesional, dibantu oleh profesional pun bisa tidak sesuai kok.

Terlebih untuk sesuai budget. Maklum saja kalau ada yang harus dilakukan sendiri, atau bahannya tidak sesuai yang diinginkan. Maksudnya, dengan budget yang disediakan, harap maklum kalau pernikahanmu nggak bisa kayak nikahannya Isyana Sarasvati. Kecuali kalau budgetnya memang setara Isyana, ya silakan. 

Realistis saja dan sesuaikan dengan harga pasaran yang ada. Kalau berharap kualitas bagus dengan harga super murah, salah-salah bisa tertipu vendor.

Karena mengatur pernikahan sendiri, kami menyederhanakan prosesi akad dan resepsi dengan tidak banyak ekstra. Hanya saweran yang ditampilkan sebagai acara budaya. 

Rundown acara secara umum tidak ribet agar tidak menyulitkan keluarga yang membantu. Plus, kami sekeluarga (kompak sama orangtua-orangtuanya) sesama tidak betah dipajang dan ditonton.

Untuk pelepasan balon, itu murni sebagai penanda mulainya resepsi dan supaya ada gambar bagus di album, hehe. Personally saya paling suka foto itu. Terima kasih buat Kang Wirid dari Waffle Photography yang sudah menangkap momen dengan cantik.

Kami juga mengalami beberapa problem saat mempersiapkan pernikahan. Misalnya fitting baju suami yang tidak pas, hal-hal yang tidak sesuai perjanjian, dan beberapa hal yang membuat saya harus bolak-balik menjelang hari H.

Tetapi, kalau dilihat bagian yang tidak menyenangkan saja, kesannya pernikahan jadi tidak sempurna. Belum lagi ujian non-teknis, seperti timing, keluarga, dan hal-hal lain yang tidak bisa dijelaskan. Memang benar kata orang, orang mau menikah itu adaa saja ujiannya.

Ketika sudah kerepotan seperti itu, mari kembali ke awal, apa sih hal utama dari sebuah pernikahan? Meresmikan ikatan di hadapan agama dan negara, serta memberitahukannya pada keluarga serta kerabat. Sudah, itu saja. Ketika saya sudah berpikir terlalu jauh, saya senantiasa diingatkan lagi pada inti ini. 

Kalau hal-hal kecil itu tidak dipikirkan, pernikahan kami sudah berjalan lancar. Sebagian besar keluarga bisa datang, keluarga inti hadir. Makanan tidak berkekurangan. Riasan saya bagus dan saya senang bisa bertemu teman-teman.  Cuaca cerah dan tidak hujan. Band pengisi acara asik banget dan kooperatif. MC sangat membantu mengatur jalannya acara. Suami tidak fit sewaktu hari H, tapi bisa ijab kabul dengan lancar. :)

Memang benar kata-kata klise itu: Kalau sudah niat, jalannya akan dimudahkan. Baik dari sisi bantuan moril maupun materiil, ada begitu banyak jalan dan bantuan yang tidak disangka-sangka oleh kami.

Ada satu hal yang saya sedihkan: salah satu adik sepupu saya meninggalkan kami semua untuk selamanya, beberapa minggu sebelum acara. Pada akhirnya, Allah punya rencana yang paling baik untuk kami semua.

Dan setelah semua kehebohan itu, toh selesai juga. Acaranya saja yang selesai. Pernikahannya sendiri baru kami mulai, dan pastinya akan lebih seru daripada akad dan resepsi yang hanya sehari saja. 

It was our big day, but in the end, not the biggest day of our lives. Masih akan ada hari-hari besar yang akan kami berdua jalani bersama-sama.

Pastinya, that was one of the happiest day of my life. Alhamdulillah.

Vendor yang Kami Gunakan

Dekorasi - Salwa Dekor
Make-up dan Bridal Attire - Rahma Wedding
Groom Attire - Alessandro Vitali (SOGO in-brand)
Beskap orangtua - Ayung Berinda
Kartu Undangan - Kartu Undangan Pelangi
Entertainment - Marvells Project
Master of Ceremony - Kang Riza (Radio Mentari)
Dokumentasi -Waffle Photo

Kembali ke atas