collage by me, pictures from unsplash.

Apa kabar? Selamat bulan Mei, dan selamat menyambut bulan Ramadan!

Sudah terbiasa menjalani kegiatan di rumah? Sudah menghitung-hitung apa saja yang sudah dibeli semenjak lebih sering browsing shopping sites? Sudah berapa resep cemilan mudah dari youtube yang dibuat?

Kalau saya, empat. Hehehe.

Sebulan terakhir saya dapat kesempatan "simulasi menjadi Ibu Rumah Tangga", kalau kata suami. Pagi hari ke dapur, sore hari juga ke dapur - dengan waktu yang lebih lama dari biasanya. Saya punya waktu untuk mengerjakan tugas rumah tangga di pukul sepuluh pagi, atau dua siang, kalau saya mau. Penyebabnya ya udah jelas yaa, karena pandemi yang menyebabkan rutinitas harus berubah drastis.

Hingga awal bulan Maret kemarin, rasanya topik COVID-19 masih jauh. Ada dua kasus positif yang diumumkan di Indonesia, dan saya pikir, ah, kami akan aman-aman saja. Nyatanya, dengan cepat, kasus tersebut berkembang, dan saat saya mengetik tulisan ini sudah ada lebih dari delapan ribu kasus. Di Jawa Barat sendiri, kasus sudah mencapai seribu kasus.

Bulan Maret berlalu lambat banget rasanya. Saya jadi terbiasa mengecek berita sore hari kala jumlah kasus diumumkan.

Sudah sebulan saya bekerja dari rumah. Beruntung instansi memberikan masa work from home yang cukup panjang (tepatnya sampai masa darurat COVID-19 berakhir, sementara ini sampai akhir bulan Mei 2020). Suami masih bekerja selang-seling, dan masih harus ke luar kota juga, bikin saya cukup ketar-ketir. Tetapi yang jelas, frekuensi pergi ke kantor sudah jauh lebih berkurang.

Awal bulan April pun, saya masih berpikir tahun ini akan ikut suami mudik ke kampung halaman. Maklum, ini tahun pertama kami menjalani Ramadan sebagai suami istri. Saya juga belum pernah berkunjung ke sana, jadi deg-degan sekaligus excited.

Nyatanya, dengan larangan mudik yang diberikan pemerintah, ditambah bandara dan pesawat komersial yang berhenti beroperasi, otomatis rencana itu harus batal. Bersama dengan adik ipar yang "ngungsi" sementara karena penghuni kosnya kosong, jadilah kami melalui bulan Ramadan bertiga di kontrakan.

Keluarga saya sendiri ada di Bandung, tetapi saat ini jelas belum bisa berkunjung. Alhamdulillah, meskipun suasananya berbeda, saat ini saya bersyukur dalam keadaan sehat, bisa berbelanja mudah dengan bantuan kurir, serta bisa memasak sendiri di tempat tinggal. Itu yang paling penting saat ini: sehat.

The Overthinking Problem


Saya termasuk orang yang paranoid. Karena hobinya mikiiiir terus, otomatis saya rentan dengan pikiran yang aneh-aneh. Apalagi karena WFH jadi lebih sering di rumah, cenderung banyak kesempatan untuk merenung. Lebih banyak pula waktu untuk mengonsumsi sosial media.

Ada orang yang cenderung mudah menyetel pola pikir "waspada, jadi jangan panik" - contohnya suami saya. Ada orang yang sekali membaca fakta langsung bisa membayangkan kemungkinan terburuk, misalnya saya.

Pada awal pandemi mulai, cukup sulit untuk saya me-manage diri sendiri. Saya juga sempat jatuh sakit, dari radang tenggorokan sampai asam lambung. Asam lambung naik sampai menyebabkan sesak napas dan sulit tidur berhari-hari. Hal ini tentu berbahaya untuk sistem imun saya, yang bisa meningkatkan risiko saya terpapar. Pikiran ini kembali bergulir menjadi kecemasan berulang, yang akhirnya berpengaruh pada kondisi fisik.

Pelan-pelan, saya mulai menyesuaikan diri, dan Alhamdulillah, sekarang keadaan saya sudah cukup lebih baik. Sudah bisa beraktivitas normal seperti biasa, sans ngantor dan jalan-jalan ke luar. Terlebih karena sekarang suami lebih sering di rumah juga, dan saya ditemani oleh adik ipar, jadi tidak terlalu sering sendirian. Another human presence really helps. Selain itu, saya juga melakukan beberapa hal untuk menjaga diri dari pikiran buruk tersebut.

agenda, something that keeps my sanity.


Hal yang Dilakukan Untuk Menjaga Diri dari Pikiran Buruk


Limit the news


Saat anxious, social media scrolling menjadi salah satu katarsis yang bisa membahayakan. Semakin saya mencoba mencari berita terbaru, semakin perasaan tidak enak muncul di dalam hati serta kepala, membuat perut mual dan jantung berdegup kencang. Ketika sadar membaca berita menjadi aktivitas yang membahayakan fisik saya, akhirnya saya berhenti. Untuk sementara.

Kalau tidak kuat membaca, tapi penasaran, itu berarti memang harus dikurangi. Membaca berita memang membuat kita tahu banyak hal, namun perlu dikaji juga: manfaatnya apa, sih? Apakah dengan membaca berita bisa membuat situasi berubah? Apakah kamu perlu tahu berapa jumlah orang yang terpapar di kabupaten nun jauh di sana?

Tetap update dengan berita juga penting, karena tanpa pengetahuan cukup, kita bisa lupa untuk menjaga diri. Sekarang, saya hanya mengecek berita saat sore hari. Di luar waktu itu, saya menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan lainnya. Karena sekarang sore hari saya sibuk juga mempersiapkan buka puasa, seringkali saya membaca berita pada malam hari.

Hanya satu sumber yang saya baca. Selebihnya tidak. Saya tidak perlu kelebihan informasi. Buat baca berita, saya cukup cek timeline punya Nuicemedia, yang mengintisarikan berita-berita penting tanpa harus terganggu pop-up iklan atau headline clickbait.


Tetap punya rutinitas


Meski bekerja di rumah, saya mengusahakan agar sudah mulai bekerja pada pagi hari. Meski bekerja di rumah, sebelum membuka laptop, saya harus sudah mandi. Ada beberapa hari saya pakai piyama, namun seringnya pakai celana kerja. Kaos boleh. Kadang-kadang ditambah lipstik.

Pertama kali WFH diberlakukan, saya cukup optimis. Malah senang, karena akhirnya saya bisa punya jam kerja "freelance" - dari rumah sendiri - seperti apa yang saya cita-citakan. Langsung sukses? Nggak. Malah kebablasan. Apalagi ketika sakit, praktis beberapa hari saya nggak bisa ngapa-ngapain.

Sekarang saya cukup konsisten: di hari kerja, maksimal pukul sembilan pagi saya sudah membuka file pekerjaan. Selesai diusahakan sekitar pukul tiga. Ini efek positif bekerja di rumah: tidak ada distraksi dari meja sebelah atau rapat mendadak. Rutinitas memberikan sense of normalcy, memberikan saya perasaan tanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaan hari itu.

Ada hari yang gagal? Oh ada dong. Ada waktu di mana saya baru buka laptop sore ke malam hari karena terdistraksi. Atau tidak sama sekali, sehingga saya menumpuk pekerjaan untuk keesokan hari. Wajar, wajar. Improvise. Adapt. Overcome. Hehehe.


taken from actual footage of me and my sisters video call-ing.

Telepon keluarga


Physical distancing membuat kita tidak bisa berkunjung ke berbagai tempat dengan mudah. Jangankan mudik lebaran, untuk datang ke rumah keluarga yang satu kota saja tidak memungkinkan. Saya benar-benar tidak mengunjungi rumah orangtua dulu - baik ayah, nenek, ataupun paman-bibi - untuk menghindari risiko. Terlebih karena rumah-rumah tersebut berisi lansia yang memang rentan.

Beruntung sekali karena kita hidup di zaman yang memudahkan. Kalaupun bertemu secara fisik tidak bisa, gunakan saja fasilitas video call. Situasi seperti ini membuat saya lebih sering menghubungi adik, karena tidak bisa mengobrol langsung di kantor (kebetulan kami satu kompleks kantor).

Saya juga mengobrol dengan adik-adik yang berada di rumah lain serta di luar kota. Biasanya, ini jarang dilakukan, namun karena sekarang lebih banyak waktu, jadi hal yang memungkinkan.

Menghubungi keluarga, selain untuk mengetahui kabar, juga memberikan sense bahwa kita masih terhubung. Masih harus bersabar sampai bisa bertemu.


Olahraga rutin


Kalau ini statusnya masih berupa niat. Mengapa niat? Soalnya belum bisa rutin, terpisah-pisah dengan jarak yang cukup jauh. Semua orang tentu sudah tahu, olahraga dalam kadar yang cukup akan membantu menjaga tubuh bugar, memproduksi antibodi untuk menjaga diri dari penyakit, juga bikin senang.

Nulis teori memang gampang, tapi praktiknya sendiri susah. Susah sekali untuk memulai, meskipun ketika sudah mulai saya senang-senang saja. Bagian memulainya itu lho. Apalagi sekarang masuk bulan Ramadhan, ada saja alasannya: lemas, harus menyiapkan buka puasa, dan lain-lain.

Padahal saya udah punya playlist, contohnya ini. Atau ngintip workout k-pop ini. Yang ini masih harus ditingkatkan yaa.


Komunikasikan pada pasangan atau teman dekat


Berbagi adalah cara efektif untuk membuat kita merasa tidak sendirian. Entah lewat sosial media, keluarga, atau pasangan. Cerita ke suami tentang apa yang dirasakan lumayan membantu saya. Seringnya sih saya ditegur karena parnoan, tapi saya juga terbantu karena seaneh apa pun cerita dan bayangan saya, dia tetap dengerin, hahaha.

Saya juga cerita pada teman-teman dekat saya lewat grup chat, dan dari situ bisa dapat input juga tentang perasaan mereka. Pada dasarnya kita semua sekarang sama-sama punya alasan untuk cemas, sama-sama punya alasan untuk khawatir. Karena kita semua sama, jadi semua InsyaAllah bisa dilewati bersama-sama.

Nggak apa-apa meskipun tidak produktif


Sejak pandemi muncul, COVID-19 sudah memberikan banyak perubahan. Kayak yang saya tulis di atas, banyak orang mendadak masak macam-macam, bikin lukisan ini-itu, merapikan rumah, sampai bikin bangku untuk tupai. Ada statement yang menyatakan kalau pandemi akan berakhir pada bulan Juni, ada juga yang bilang akhir tahun. Tapi sebenarnya, siapa yang benar-benar tahu?

Diam di rumah, berusaha memenuhi kebutuhan secara daring hanya satu hal kecil. Ribuan orang kehilangan pekerjaan, orang yang sehat hari ini bisa memburuk keadaannya dalam waktu beberapa minggu. Belum lagi efek sampingnya. Semua orang tahu kalau ekonomi yang memburuk berkepanjangan bisa berimbas pada kesejahteraan dan keamanan sosial.

Pun, berada di rumah terus-menerus bukan berarti waktu luang akan selalu lebih banyak. Pekerjaan yang dibawa ke rumah kadang menghabiskan waktu lebih lama daripada di kantor; kita lebih banyak mencuci atau memasak, juga melakukan banyak hal sebagai tindakan pencegahan. Kalau kata sebuah tulisan yang saya baca:

"You are not working from home; you are at your home during a crisis trying to work." -From a Tweet


TBH untuk saya sendiri juga masih sulit menanamkan mindset ini. Sering muncul perasaan bersalah kalau saya tidak mencapai hal yang ditargetkan - tapi juga nggak membuat saya menyelesaikan target lebih cepat. Saya nggak harus ngikutin Shakespeare, kok. Lha wong saya bukan Shakespeare!

10 Productive Things You don't Need to do During Coronavirus Pandemic

Ikhtiar dan jaga kesehatan


Seperti sudah dijelaskan, asam lambung saya sempat kumat karena stres.Karena tidak berani pergi ke dokter, saya menggunakan aplikasi halodoc.

Tetap saja, pada akhirnya tubuh kita yang menentukan apakah kita cukup kuat memulihkan kondisi. Beberapa hari tidak bisa tidur karena perut mual, sesak napas dan tidak nyaman, saya benar-benar kapok sakit di masa pandemi.

Setelah sebulan, saya juga mulai malas untuk lagi-lagi mencuci tangan, untuk mendesinfektan, dan tergoda untuk keluar tanpa jaket atau masker. Tetapi harus benar-benar ingat, bahwa pandemi ini belum selesai - kita bisa terkena sewaktu-waktu, tanpa kita ketahui, dan kita tidak tahu siapa yang berisiko.

Ada prediksi yang bilang, tetapi pada umumnya, pandemi baru akan selesai minimal dalam waktu 18 bulan atau lebih, sampai vaksin ditemukan. So, better safe than sorry.

Final Verdict: This is the New Normal


Sudah berapa kali kita membaca kalimat itu di setiap berita atau artikel, tapi berkali-kali juga harus mengingatkan diri. Saya memikirkan itu setiap hari, ketika pikiran berkelana dan membuat terdistraksi dari pekerjaan, juga saat suntuk karena terjebak di kontrakan tiga ruangan.

Daripada mencari tahu kapan masa pandemi ini berakhir, dan jadi kepikiran macam-macam, pada akhirnya kita hanya bisa beradaptasi. Pelan-pelan, berusaha agar bisa bekerja lagi dengan baik. Mencari alternatif yang bisa dilakukan meskipun dari rumah. Membiasakan diri tetap beraktivitas dengan segala kenormalan baru ini.

Sambil terus berharap, berdoa dan berencana. Tetap berencana itu nggak dosa, 'kan? Semoga kita semua juga sehat selalu. Kesehatan diri dan mental lebih penting dari apa pun, karena tanpa itu, kita nggak bisa membantu orang di sekitar kita.

Salam dari rumah,

Mega