photo courtesy of waffle photo. thank you!

Sewaktu kecil, saya tanya Ibu, usia berapa beliau menikah? Beliau jawab, dua puluh lima.

"Oh, kalau begitu aku mau dua puluh tiga. Biar lebih cepat dari Ibu."

Mendengar celotehan anak kecil, Ibu saya tentu senyum-senyum saja.

Waktu itu, rasanya usia saya baru menginjak lima tahun. Dua puluh tiga nampak seperti sesuatu yang jauh, dan Ibu saya, yang waktu itu belum tiga puluh, bagi saya adalah figur yang mendekati Tuhan: serba bisa dan mampu melakukan apa saja, semua dengan label "orang dewasa".

Saya di usia dua puluh tiga adalah saya yang bisa melakukan apa saja, dan dengan demikian, menikah adalah salah satunya. 

Sewaktu kecil juga, saya bertanya, mengapa Ibu mau dengan Ayah?

Beliau jawab, Ayah yang mau tuh, bukan Ibu. Saya yang masih kecil tentu makin tidak mengerti. Karena saya tahu Ayah saya nggak ganteng (ha ha ha), jadi saya bingung, kok Ibu mau dengan yang jelek?

Sudah bilang begitu, baru Ibu saya ngakak betulan, dan bilang, "nanti juga mengerti. Kalau jodoh, bakal terasa sendiri."

Sayangnya, karena Ibu saya tidak sempat menjelaskan lebih lanjut mengapa, saya juga jadi tidak benar-benar mengerti. Mau mengamati secara langsung pun, tidak bisa: saya terhitung jarang melihat Ayah dan Ibu bersama (karena kesibukan masing-masing), dan saya juga terlalu kecil untuk memperhatikan secara khusus.

Sepanjang saya hidup, saya lebih sering melihat ayah saya sendiri. Sendirian, dalam artian tidak punya teman hidup yang bisa ditemui. Pernikahan kedua beliau tidak bertahan lama. Dari situ, saya juga belajar bahwa orang bisa berpisah karena kemauan masing-masing. Perasaan bisa berubah.

(Padahal, semua orang pasti menikah berharap satu kali untuk selamanya. Iya, kan.)

--

Umur dua puluh tiga, tentu saya ingat keinginan kecil saya. Jadi pengen menikah, jelas. Tapi saya belum tahu pasti untuk apa menikah. Mengapa menikah. Cuma ingin dengan orang yang disukai saja adalah ungkapan yang tepat.

Banyak orang yang sudah siap menikah di usia dua puluh tiga, tetapi saya memang bukan salah satunya. Karena belum bisa mengurus diri sendiri, perasaan ingin punya pasangan pun jadi semacam jalur solusi.

Tentu saya juga jadi bagian dari orang yang khawatir, bagaimana kalau saya selalu sendirian. Tapi sebenarnya, waktu itu saya juga tidak benar-benar tahu apa yang saya inginkan. Saya jadi lebih suka main-main saja, mencari jalur aman.

Jangan berharap aneh-aneh, ada teman jalan yang menyenangkan saja sudah cukup.

Sama seperti banyak orang, usia-usia itu saya lewati dengan masa-masa quarter life crisis. Meskipun tidak pindah kota, namun saya mengalami berganti pekerjaan, pendapatan yang tidak menentu, kehilangan teman yang menjauh satu per satu - bukan karena permusuhan, tetapi keadaan - , juga ditambah patah hati.

Lalu, seiring waktu, hal yang sebelumnya chaos perlahan jadi stabil. Pekerjaan jadi tetap. Adik-adik tumbuh jadi remaja. Tanggung jawab melebar, tapi alhamdulillah, bisa dipenuhi walaupun secukupnya. Keyakinan untuk bisa hidup mandiri semakin besar. Besar, karena didasari rasa takut.

Tahun-tahun itu, beberapa kejadian membuat saya mengambil otoritas dalam keluarga lebih banyak. Sampai akhirnya muncul pemikiran, "kalau sekarang saya sibuk mengurus ini semua, untuk apa menikah? Lebih baik usahakan saja semua sendiri." 

Keluarga biasanya jadi tameng alasan. Adik-adik masih sekolah, Tidak perlu. Karena diri sendiri juga sudah mencukupi. Saya bisa mencari bahagia sendiri; tidak harus selalu berdua. Tanpa suami pun, saya sudah terbiasa jadi Ibu, eh, anak rumah tangga.

Segala kewajiban rumah tangga sudah saya lakukan meskipun tidak sempurna. Mengapa saya harus menambah lagi kewajiban itu?

Bisa dibilang, itulah alasan paling utama. Saya tidak mau diganggu oleh orang lain yang tidak saya ketahui. Saya takut berbagi. Takut, karena saat itu pun saya bukan pelakon rumah tangga yang sempurna. Rumah tangga timpang, tepatnya.

Ada rasa lelah karena "merasa" sudah sibuk mengurusi orang. "Merasa", karena sebenarnya saya banyak menerima bantuan dari orang-orang di sekeliling saya, namun saya terlalu sombong untuk melihat). Karena "merasa" sudah memegang banyak tanggung jawab, jadi saya hanya ingin menyenangkan diri sendiri.

Tapi toh, masih ada, rasa penasaran itu.

Karena sudah tidak bisa bertanya pada Ibu, pernikahan orang-orang yang saya kenal menjadi sebuah tempat penelitian. Kadang saya bisa jadi bertanya terlalu detail alias kepo dengan orang-orang yang sudah menikah.

Pertanyaan utama saya, apa yang harus dikorbankan dari sebuah pernikahan? Apa yang membuat kalian mau berkorban?

Mengapa kalian bisa bertahan?

Apa yang membuat kalian bahagia dalam sebuah hubungan yang mengharuskan kalian mengorbankan banyak hal? Tidak takut?

Memutuskan untuk membagi semuanya dengan orang lain - apalagi yang tidak kita kenal sejak dulu - tentu menakutkan.

Tidak takut? Kok, bisa?

(Orang yang akan menikah dengan saya, kira-kira akan seperti apa? Apakah saat itu saya juga masih akan merasa takut?)

--

Terus terang, saya tidak menyangka juga kalau keputusan menikah saya is not all that fancy.

Semua di luar dugaan saya. Tidak sesuai bayangan sama sekali. Baik dari sisi orangnya, situasinya, kondisi saya saat itu, pokoknya semuanya. Tidak ada all that revelation bahwa saya menemukan cinta sejati.

Penyadaran "kayaknya saya ketemu jodoh" sih, lumayan. Not all that fancy, but still exciting nonetheless.

Tapi yang jelas, hampir semuanya di luar dugaan. Memang Tuhan itu mudah sekali membalikkan semua prediksi dan bilang, "lihat 'kan, kamu nggak akan bisa tebak apa nasib yang sudah saya siapkan buat kamu."

Karena herannya, saya tidak pernah merasa se-siap nikah ini sebelumnya. Mungkin karena usia sudah mencukupi, mungkin karena sayanya naksir (hahaha ya iya lah), mungkin bertemu dengan orang yang bisa mengakomodasi.

Banyak faktor yang masuk logika, tapi ada juga faktor yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.

"Kalau bertemu jodohnya, nanti juga mengerti sendiri." Itu kata Ibu dulu. Saya masih nggak tahu apakah betul jodoh atau tidak, tapi sedikit banyak saya rasanya bisa mengerti.

Rasanya seperti menanyakan pertanyaan yang sebenarnya sudah saya tahu jawabannya. Karena saya mau, dan saya sudah siap. Siap, memang bukan sepenuhnya siap, bukan berarti saya akan tenang dan kalem menghadapi segala kemungkinan; tetapi setiap langkah yang saya ambil, saya tahu kalau ini keputusan yang sadar, dan saya akan berusaha agar bisa menjalani semuanya dengan bahagia.

--Meskipun tetap banyak nangisnya juga. Hehe. Tetap stres, tetap bingung, tetap ragu. Tapi semua tetap berjalan.

Maka beginilah saya sekarang. Tanpa terasa, pernikahan saya tidak sampai dua bulan lagi. Waktu pertama kali memutuskan, saya menangis banyak sekali karena takut keputusan saya salah. Takut kehilangan kesenangan saya sekarang. Takut dengan hal ini dan itu. Sekarang? ternyata masih takut juga. Memang dasarnya penakut sih, haha. Tetapi kali ini, ada keberanian di dalamnya.

Saya bersyukur berniat menikah di waktu ini, di usia ini, dengan orang ini. Nggak ada yang bisa memberi garansi seperti apa yang akan saya hadapi di depan. Mungkin nanti saya bakal ketawa. Bakal nangis juga. Memang akan kehilangan beberapa hal, namun saya yakin banyak juga yang akan saya dapatkan.

Selain semoga akad dan prosesnya lancar, lebih banyak lagi doa yang tersemat di belakangnya. Semoga kami jadi orang yang lebih baik dari kami sekarang. Semoga kami bisa mendapatkan pelajaran yang banyak dengan cara yang membahagiakan.

Semoga, bertahun-tahun kemudian saat saya membaca tulisan ini kembali, saya masih akan tersenyum.

(Because whatever it takes, in the end, it's all gonna worth it.)



Bandung, 11 November 2019.