10 Hadiah Pernikahan yang Pasti Dipakai Oleh Pengantin
Kamis, Juli 02, 2020
Selepas Idul Fitri, selain kembali bekerja dan menghabiskan kue lebaran di toples (serta menumpuk berat badan lagi), biasanya orang Indonesia punya kebiasaan lain: datang ke acara pernikahan.
Bagi Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim, tanggal-tanggal habis lebaran biasanya dijadikan tanggal baik untuk pernikahan. Namun, sejak wabah COVID-19 membesar, praktis segala kegiatan yang melibatkan orang banyak dibatasi.
Mencicipi Croissant Kampung Ala Waroeng Snoepen
Kamis, Juni 25, 2020
Ini adalah cerita dari bulan Februari. Awalnya tidak akan dipost sampai situasi kembali normal dan bisa jalan-jalan lagi, tetapi dipikir-pikir, menyebarkan info tentang makanan enak itu nggak dosa, hehehe. Masa iya ngilernya di blog Mbak Jane terus, gaes. Plus, makanannya masih bisa dipesan lewat ojek online. So here we go!
New Normal Essentials: Ketika Kembali Bekerja dalam Pandemi
Kamis, Juni 18, 2020
Notifikasi whatsapp datang dari sekretariat seminggu yang lalu.
“Teh, Senin mulai masuk kantor lagi ya! Piket seminggu dua kali masuk kantor.”
Percaya nggak percaya, baru kemarin itu rasanya senang banget bisa masuk kantor lagi, hahahaha. Kantor saya memang termasuk ketat menerapkan kebijakan masuk, karena merupakan instansi dengan penghuni banyak. Sekitar 10.000 orang beraktivitas sehari-hari dalam kondisi normal.
7 Jurus Memasak Orang (sok) Sibuk Bersama Yummy App
Selasa, Juni 02, 2020
gambar kolase dari: unsplash + koleksi pribadi |
Dapur Masa Kecil dan Resep Ekspres
Seperti apa aroma dapur di rumah tempat kalian tumbuh?
Dapur di rumah masa kecil saya, aromanya seperti kecap dan merica.
Jendelanya hanya satu, secara tidak langsung menghadap kamar saya yang ada di lantai dua. Setelah memenuhi seisi lantai satu, aroma masakan dari exhaust fan akan naik ke kamar saya pelan-pelan. Kalau Ibu masak sambal, saya akan langsung tutup jendela biar nggak bersin-bersin.
Menyiapkan Pernikahan Tanpa Wedding Organizer dan Paket
Rabu, Mei 13, 2020
Kotak cincin dan seserahan semua dibuat sendiri. Hasil ngepas juga senang :) |
"Kalau kamu nikah, nanti di depan rumah aja. Pasang tenda, tapi pokoknya catering dan makeupnya harus dari ****. Itu temen Ibu, sekarang aja udah terkenal, apalagi nanti."
Itu kata almarhumah Ibu, pada saya yang masih kelas tiga SD waktu itu. Menyebut nama vendor pernikahan milik temannya yang sekarang harganya sudah selangit. Beliau sejak dulu memang super ekstra.
10 Langkah Untuk Tampilan Blog yang Profesional
Selasa, Mei 05, 2020
Sadar nggak, tampilan blog saya baru? Ayo kalau belum lihat, mari reload lagi home page-nya. (Pamer)
Iya, saya mau pamer aja nih, template blog saya baru. Akhirnya kesampaian juga beli template di Maira Gall Studio, yang sudah saya incar sejak dulu. Cakep kan? Cakeeeep.
Antara Rebahan, Menjaga Kesehatan, dan Melindungi Pikiran Saat #dirumahaja
Jumat, Mei 01, 2020
collage by me, pictures from unsplash. |
Apa kabar? Selamat bulan Mei, dan selamat menyambut bulan Ramadan!
Sudah terbiasa menjalani kegiatan di rumah? Sudah menghitung-hitung apa saja yang sudah dibeli semenjak lebih sering browsing shopping sites? Sudah berapa resep cemilan mudah dari youtube yang dibuat?
Kalau saya, empat. Hehehe.
Sebulan terakhir saya dapat kesempatan "simulasi menjadi Ibu Rumah Tangga", kalau kata suami. Pagi hari ke dapur, sore hari juga ke dapur - dengan waktu yang lebih lama dari biasanya. Saya punya waktu untuk mengerjakan tugas rumah tangga di pukul sepuluh pagi, atau dua siang, kalau saya mau. Penyebabnya ya udah jelas yaa, karena pandemi yang menyebabkan rutinitas harus berubah drastis.
Hingga awal bulan Maret kemarin, rasanya topik COVID-19 masih jauh. Ada dua kasus positif yang diumumkan di Indonesia, dan saya pikir, ah, kami akan aman-aman saja. Nyatanya, dengan cepat, kasus tersebut berkembang, dan saat saya mengetik tulisan ini sudah ada lebih dari delapan ribu kasus. Di Jawa Barat sendiri, kasus sudah mencapai seribu kasus.
Bulan Maret berlalu lambat banget rasanya. Saya jadi terbiasa mengecek berita sore hari kala jumlah kasus diumumkan.
Setelah Dua Bulan Menikah,
Sabtu, Maret 07, 2020
photo by waffle photo |
Lately,
pulang ke utara, bukan ke timur seperti biasa. Bertemu setiap hari, bukan janjian dua kali seminggu. Masih dijemput dari kantor - tapi sekarang berhenti di depan pintu yang sama, lalu berkomentar norak karena belum terlalu lama, "Hayo, sekarang kok kita satu rumah ya? Yakin nggak salah tempat?"Bangun bisa lebih siang karena lebih dekat jaraknya. Tetapi ternyata waktu yang dihabiskan sama saja, karena tidak bisa lagi pergi begitu saja sambil teriak sama orang rumah, "nanti sarapan beli di depan ya!" (Atau mungkin, bertahun-tahun ke depan bisa jadi begini, tapi semoga tidak terlalu sering).
Oh, ternyata kalau hal seperti ini, dia nggak suka. Kalau hal seperti ini, saya yang nggak cocok. Ternyata kalau mau tidur dia harus begini, saya harus begitu.
Sekarang jadi harus mengatur jadwal kapan menelepon orangtua, nenek di sini, bibi di sana, uwak di sisi satunya. Padahal sebenarnya dulu juga jarang bertemu, tapi sekarang beda katanya, karena 'sudah diambil orang'.
Masih sedikit bingung dalam posisi saya di rumah tangga. Mungkin karena saya anak pertama, jadi keras kepala. Mungkin juga karena saya masih takut ini-itu, kadang masih ada yang mengganjal, tapi tidak tahu apa. Lebih banyak rasa tenang. Lebih banyak tidur, lebih banyak makan. (Berat badan nambah adalah sebuah kepastian).
Masih belajar banyak, dan akan belajar terus. Karena dua bulan itu sebenarnya seperti cuma mengejapkan mata. Terlalu sedikit buat sebuah testimoni, jadi anggap saja ini komentar pembuka.
Yang pasti itu satu: terima kasih selalu untuk semuanya.
(Ngomong-ngomong, halaman About saya sudah diperbarui setelah dua tahun).
Some favorites,
cute illustrations by Agathe Sorlet. |
A blog: A Considered Life. Saya belum tahap zero waste, masih labil juga soal less waste, tapi bacaan di blognya bagus dan cukup lengkap.
An instagram account: Waroeng Snoepen adalah rekomendasi tempat yang saya temukan lewat thread twitter. Ternyata tempatnya di dekat rumah. Review soon, sekarang ngiler saja dulu liat fotonya.
A song: At Your Best, You Are Love - Aaliyah (1994). There are times when I find - You want to keep yourself from me. When I don't have the strength; I'm just a mirror of what I see. But at your best you are love....
A watercooler conversation: Nggak main tiktok tapi ini sungguhlah cult of fanfiction culture.
I plan to make this kind of entry as a newsletter. but for now, hey, i just want to fill this blog with more of my personal writings.
Yours Truly,
Mega.
Plan With Me, 2020
Kamis, Februari 13, 2020
Ada cuitan yang bilang, Januari itu free trial. Kehidupan baru dimulai bulan Februari. Oke, hal itu juga yang membuat saya baru menerbitkan tulisan ini pada bulan Februari.
Halah bohong. Engga ding. Saya memang masih beradaptasi. He he. Sebulan menikah, ada banyak hal baru yang berpengaruh pada ritme hidup sehari-hari. Selain itu sih memang sayanya juga males dan masih ingin memanfaatkan free trial.
2019 bagi saya berlalu dengan cepat. Banyak hal yang saya biarkan mengalir saja tanpa rencana tertentu. Hal itu memang sudah saya canangkan sejak akhir tahun 2018 - dan Alhamdulillah terjadi berbagai hal yang saya syukuri (tahu-tahu nikah misalnya).
Di sisi lain, saya juga merasakan bahwa sebaiknya saya tetap menulis resolusi dan rencana. Tidak menuliskannya menyebabkan niat dan itikad makin sering lari kemana-mana.
Kesimpulan: Meskipun saya mager garis keras, pada dasarnya saya memang planner garis keras juga.
Momen pergantian tahun memang selalu saya jadikan momen introspeksi dan perencanaan, ditulis di jurnal pribadi dan seringnya gagal; sama seperti 80% kebanyakan orang. Tidak terlalu merasa bersalah karena toh yang tahu hanya saya sendiri. Jadinya semacam tidak bertanggung jawab, ya.
Tahun ini, saya mau menuliskannya di blog biar berasa ada yang baca. Selain itu, agar saya bisa melihatnya setiap kali membuka dashboard blog. Juga untuk berbagi dengan yang kebetulan lewat dan membaca, siapa tahu bisa menyemangati juga.
Secara umum, resolusi dan rencana tahun ini terpayungi dalam satu kata saja: deliberate.
To deliberate means to carefully think or talk something through — it also means slow and measured, the pace of this kind of careful decision making. If you chose deliberately, you make a very conscious, well-thought-through choice.
Kalau tahun kemarin saya berikhtiar untuk menjalankan semuanya dengan mengalir, tahun ini saya ingin memikirkannya baik-baik. Memastikan semua yang saya lakukan memang dilakukan dengan kesengajaan.
Pilihan-pilihan yang diambil adalah dengan niatan penuh dari diri sendiri. Dengan demikian, sebisa mungkin saya akan melakukan yang terbaik. Baik diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar. Nah, apa saja rinciannya?
2020 Goals and Action Plan
Financial
Setelah pernikahan yang menguras kantong sampai titik darah penghabisan, waktunya me-reset semua dari nol. Karena sekarang saya juga punya keluarga sendiri, maka perencanaan keuangan pun otomatis harus menyesuaikan.
Rencana jarak-sedang - alias kurang dari lima tahun - adalah membeli rumah, karena itu kami harus menabung. Kemudian, menyiapkan dana darurat untuk dua orang. Jumlahnya dua kali lipat lebih banyak daripada dana darurat sendiri.
Action plan: Menabung setiap awal bulan dengan jumlah yang sudah ditentukan. Sebelumnya memang sudah biasa, tetapi karena sekarang menggabungkan kebutuhan dua orang, masih banyak penyesuaian yang harus dilakukan. Setidaknya, sudah ada jumlah tetap yang InsyaAllah akan ditambah kalau saya bisa menemukan celah lagi.
Career
Target jangka panjang saya adalah bisa bekerja dengan waktu fleksibel, terlebih setelah menikah. Mau bagaimanapun. Itu berarti saya harus mengembangkan pekerjaan sampingan lebih baik sebagai batu loncatan untuk mencapai hal tersebut.
Utamanya adalah membuka usaha yang sudah direncanakan sejak 2019. Hal ini harus dilakukan tanpa mengorbankan kewajiban pekerjaan tetap saya sekarang. Hayo, sanggup nggak ya? Amin.
Tambahan lagi, tentu saja, adalah blog ini. Blog ini memang tidak saya rencanakan untuk menjadi sumber penghasilan, tetapi saya ingin menjadikan blog ini lebih established - minimal dari tulisan yang rutin deh, sisanya bisa mengikuti.
Action plan: Meskipun masih lambat, saya sudah kembali mulai menulis setiap hari. Targetnya sih seminggu sekali bisa keluar satu artikel, tetapi saya nggak akan ngoyo. Itu saja dulu, untuk lainnya menyusul di pertengahan tahun. He-he.
Recreation
Pilihan rekreasi saya di tahun 2019 lebih banyak berupa unconscious consumption. Alias scrolling sosial media. Memang selalu jadi penyakit dari tahun ke tahun, dan di akhir tahun biasanya sudah jadi kedodoran lagi. Tahun baru, mulai lagi membatasi.
Tahun ini saya ingin lebih banyak mengonsumsi konten yang bermanfaat. Entah membaca buku, mendengar podcast, atau menonton film. Pokoknya lebih sedikit konten yang pendek dan ringan serta lebih banyak konten yang menambah ilmu.
Action plan: Berdasarkan rekomendasi teman, saya mengunduh Inspigo, platform podcast yang menyajikan obrolan dengan orang-orang kreatif. Saya mendengarkan podcast ini ketika kegiatan di rumah sedang tidak perlu berpikir banyak: memasak, menyapu, atau menyeterika.
Target lainnya adalah memulai hari tanpa sosial media serta membatasi waktu menggunakan sosial media hanya pada sore hari saja. Saya sadar sih lebih produktif kalau saya nggak langsung buka twitter di pagi hari. Tapi masih sering tergoda saja.
Waktu yang bisa saya dapatkan kembali akan saya gunakan untuk membaca buku serta menulis. Pokoknya jangan mudah tergiur dengan mindless scrolling.
Kecuali video kucing. Nggak ding.
Health
Assalamualaikum, satu bulan setelah menikah berat badan saya langsung bertambah beberapa kilo. Hahaha. Rumah saya sekarang dekat dari kantor, tetapi karena sekarang menyiapkan keperluan suami juga, jadinya sama saja seperti waktu belum menikah.
Kabar baiknya, karena sekarang saya punya dapur sendiri dan hanya memasak untuk dua orang, saya bisa lebih banyak makan sayur dan buah. Berikutnya saya harus bangun lebih pagi supaya bisa memasukkan jadwal work-out kecil-kecilan setiap pagi.
Action plan: Memasukkan lebih banyak sayur ke dalam makanan sehari-hari, yang somehow sudah tercapai. Rencana jangka panjangnya adalah melakukan meal prep. Kemudian berolahraga rutin, setiap pagi, minimal lima belas menit cukup. Semua hal besar dimulai dari hal kecil, iya kan.
Relationship
Dengan bertambahnya anggota keluarga baru, ternyata obligasi keluarga saya lebih banyak. Keluarga yang sekarang berbeda tempat tinggal, lalu keluarga besar, serta keluarga dari pihak suami. Alhamdulillah, semuanya adalah rezeki. Butuh waktu untuk menyeimbangkan cabang-cabang baru dan perubahan situasi baru.
Karena bertambah hal baru dalam keluarga itu pula, bisa jadi saya akan melupakan teman-teman karena kesibukan. Atau malah hubungan dengan diri sendiri. Sekarang sih ya, saya masih senang-senangnya bersama dengan suami, tetapi pelan-pelan saya juga harus menyesuaikan. Tidak boleh lupa dengan menyediakan waktu untuk diri sendiri dan keep in touch dengan teman-teman.
Action plan: Menelepon keluarga paling tidak seminggu sekali. Entah orangtua, nenek (keluarga ibu), atau keluarga mertua. Kadang-kadang suka malas dan keburu capek, jadi saya masih mencari waktu paling cocok untuk melakukannya. Sepertinya saya juga harus buat remindernya di kalender.
Sejauh ini, Sabtu pagi dan hari kerja sekitar pukul sepuluh - izin keluar dulu sebentar - adalah waktu yang cukup pas untuk saya.
Sementara, mencari relasi dan teman baru sepertinya belum menjadi fokus saya tahun ini. Tahun ini saya ingin tetap menjaga silaturahmi dengan teman-teman dekat. Tapi kalau relasi teman online, oh ya boleh. Hahaha.
Growth
Setiap tahun saya selalu mengevaluasi diri - apa yang saya lakukan di tahun itu, apa yang berubah dan apa yang sudah berhasil saya lakukan. Tahun 2019 ada perubahan ekstrem dari luar (menikah), dan membiarkan semua mengalir, membuat saya keteteran.
Seperti sudah saya tuliskan di atas, to be deliberate, pada akhirnya, yang saya inginkan adalah pertumbuhan. Bertumbuhnya saya menjadi orang yang lebih baik, entahlah, orang lain yang menilai. Saya ingin lebih nyaman dan sayang pada diri sendiri.
Resolusi tahun baru kebanyakan gagal di bulan kedua. Kalau saya biasanya bulan ketiga atau keempat. Semua itu biasanya saya tulis di jurnal sendiri yang tidak terlihat oleh orang lain. Sekarang saya memberanikan diri menulis di sini; semoga saya tidak bosan untuk melihat tulisan ini lagi saat malas mulai menerpa.
Apa rencana kalian di tahun 2020?
(Karena Januari hitungannya free trial, masih boleh tanya kan?)
A Plan for Two: Tentang Memutuskan Menikah
Kamis, Januari 16, 2020
photo courtesy of waffle photo. thank you! |
Sewaktu kecil, saya tanya Ibu, usia berapa beliau menikah? Beliau jawab, dua puluh lima.
"Oh, kalau begitu aku mau dua puluh tiga. Biar lebih cepat dari Ibu."
Mendengar celotehan anak kecil, Ibu saya tentu senyum-senyum saja.
"Oh, kalau begitu aku mau dua puluh tiga. Biar lebih cepat dari Ibu."
Mendengar celotehan anak kecil, Ibu saya tentu senyum-senyum saja.
Waktu itu, rasanya usia saya baru menginjak lima tahun. Dua puluh tiga nampak seperti sesuatu yang jauh, dan Ibu saya, yang waktu itu belum tiga puluh, bagi saya adalah figur yang mendekati Tuhan: serba bisa dan mampu melakukan apa saja, semua dengan label "orang dewasa".
Saya di usia dua puluh tiga adalah saya yang bisa melakukan apa saja, dan dengan demikian, menikah adalah salah satunya.
Saya di usia dua puluh tiga adalah saya yang bisa melakukan apa saja, dan dengan demikian, menikah adalah salah satunya.
Sewaktu kecil juga, saya bertanya, mengapa Ibu mau dengan Ayah?
Beliau jawab, Ayah yang mau tuh, bukan Ibu. Saya yang masih kecil tentu makin tidak mengerti. Karena saya tahu Ayah saya nggak ganteng (ha ha ha), jadi saya bingung, kok Ibu mau dengan yang jelek?
Sudah bilang begitu, baru Ibu saya ngakak betulan, dan bilang, "nanti juga mengerti. Kalau jodoh, bakal terasa sendiri."
Beliau jawab, Ayah yang mau tuh, bukan Ibu. Saya yang masih kecil tentu makin tidak mengerti. Karena saya tahu Ayah saya nggak ganteng (ha ha ha), jadi saya bingung, kok Ibu mau dengan yang jelek?
Sudah bilang begitu, baru Ibu saya ngakak betulan, dan bilang, "nanti juga mengerti. Kalau jodoh, bakal terasa sendiri."
Sayangnya, karena Ibu saya tidak sempat menjelaskan lebih lanjut mengapa, saya juga jadi tidak benar-benar mengerti. Mau mengamati secara langsung pun, tidak bisa: saya terhitung jarang melihat Ayah dan Ibu bersama (karena kesibukan masing-masing), dan saya juga terlalu kecil untuk memperhatikan secara khusus.
Sepanjang saya hidup, saya lebih sering melihat ayah saya sendiri. Sendirian, dalam artian tidak punya teman hidup yang bisa ditemui. Pernikahan kedua beliau tidak bertahan lama. Dari situ, saya juga belajar bahwa orang bisa berpisah karena kemauan masing-masing. Perasaan bisa berubah.
(Padahal, semua orang pasti menikah berharap satu kali untuk selamanya. Iya, kan.)
--
Umur dua puluh tiga, tentu saya ingat keinginan kecil saya. Jadi pengen menikah, jelas. Tapi saya belum tahu pasti untuk apa menikah. Mengapa menikah. Cuma ingin dengan orang yang disukai saja adalah ungkapan yang tepat.
Banyak orang yang sudah siap menikah di usia dua puluh tiga, tetapi saya memang bukan salah satunya. Karena belum bisa mengurus diri sendiri, perasaan ingin punya pasangan pun jadi semacam jalur solusi.
Tentu saya juga jadi bagian dari orang yang khawatir, bagaimana kalau saya selalu sendirian. Tapi sebenarnya, waktu itu saya juga tidak benar-benar tahu apa yang saya inginkan. Saya jadi lebih suka main-main saja, mencari jalur aman.
Jangan berharap aneh-aneh, ada teman jalan yang menyenangkan saja sudah cukup.
Banyak orang yang sudah siap menikah di usia dua puluh tiga, tetapi saya memang bukan salah satunya. Karena belum bisa mengurus diri sendiri, perasaan ingin punya pasangan pun jadi semacam jalur solusi.
Tentu saya juga jadi bagian dari orang yang khawatir, bagaimana kalau saya selalu sendirian. Tapi sebenarnya, waktu itu saya juga tidak benar-benar tahu apa yang saya inginkan. Saya jadi lebih suka main-main saja, mencari jalur aman.
Jangan berharap aneh-aneh, ada teman jalan yang menyenangkan saja sudah cukup.
Sama seperti banyak orang, usia-usia itu saya lewati dengan masa-masa quarter life crisis. Meskipun tidak pindah kota, namun saya mengalami berganti pekerjaan, pendapatan yang tidak menentu, kehilangan teman yang menjauh satu per satu - bukan karena permusuhan, tetapi keadaan - , juga ditambah patah hati.
Lalu, seiring waktu, hal yang sebelumnya chaos perlahan jadi stabil. Pekerjaan jadi tetap. Adik-adik tumbuh jadi remaja. Tanggung jawab melebar, tapi alhamdulillah, bisa dipenuhi walaupun secukupnya. Keyakinan untuk bisa hidup mandiri semakin besar. Besar, karena didasari rasa takut.
Tahun-tahun itu, beberapa kejadian membuat saya mengambil otoritas dalam keluarga lebih banyak. Sampai akhirnya muncul pemikiran, "kalau sekarang saya sibuk mengurus ini semua, untuk apa menikah? Lebih baik usahakan saja semua sendiri."
Keluarga biasanya jadi tameng alasan. Adik-adik masih sekolah, Tidak perlu. Karena diri sendiri juga sudah mencukupi. Saya bisa mencari bahagia sendiri; tidak harus selalu berdua. Tanpa suami pun, saya sudah terbiasa jadi Ibu, eh, anak rumah tangga.
Segala kewajiban rumah tangga sudah saya lakukan meskipun tidak sempurna. Mengapa saya harus menambah lagi kewajiban itu?
Segala kewajiban rumah tangga sudah saya lakukan meskipun tidak sempurna. Mengapa saya harus menambah lagi kewajiban itu?
Bisa dibilang, itulah alasan paling utama. Saya tidak mau diganggu oleh orang lain yang tidak saya ketahui. Saya takut berbagi. Takut, karena saat itu pun saya bukan pelakon rumah tangga yang sempurna. Rumah tangga timpang, tepatnya.
Ada rasa lelah karena "merasa" sudah sibuk mengurusi orang. "Merasa", karena sebenarnya saya banyak menerima bantuan dari orang-orang di sekeliling saya, namun saya terlalu sombong untuk melihat). Karena "merasa" sudah memegang banyak tanggung jawab, jadi saya hanya ingin menyenangkan diri sendiri.
Tapi toh, masih ada, rasa penasaran itu.
Karena sudah tidak bisa bertanya pada Ibu, pernikahan orang-orang yang saya kenal menjadi sebuah tempat penelitian. Kadang saya bisa jadi bertanya terlalu detail alias kepo dengan orang-orang yang sudah menikah.
Pertanyaan utama saya, apa yang harus dikorbankan dari sebuah pernikahan? Apa yang membuat kalian mau berkorban?
Mengapa kalian bisa bertahan?
Pertanyaan utama saya, apa yang harus dikorbankan dari sebuah pernikahan? Apa yang membuat kalian mau berkorban?
Mengapa kalian bisa bertahan?
Apa yang membuat kalian bahagia dalam sebuah hubungan yang mengharuskan kalian mengorbankan banyak hal? Tidak takut?
Memutuskan untuk membagi semuanya dengan orang lain - apalagi yang tidak kita kenal sejak dulu - tentu menakutkan.
Memutuskan untuk membagi semuanya dengan orang lain - apalagi yang tidak kita kenal sejak dulu - tentu menakutkan.
Tidak takut? Kok, bisa?
(Orang yang akan menikah dengan saya, kira-kira akan seperti apa? Apakah saat itu saya juga masih akan merasa takut?)
--
Terus terang, saya tidak menyangka juga kalau keputusan menikah saya is not all that fancy.
Semua di luar dugaan saya. Tidak sesuai bayangan sama sekali. Baik dari sisi orangnya, situasinya, kondisi saya saat itu, pokoknya semuanya. Tidak ada all that revelation bahwa saya menemukan cinta sejati.
Penyadaran "kayaknya saya ketemu jodoh" sih, lumayan. Not all that fancy, but still exciting nonetheless.
Tapi yang jelas, hampir semuanya di luar dugaan. Memang Tuhan itu mudah sekali membalikkan semua prediksi dan bilang, "lihat 'kan, kamu nggak akan bisa tebak apa nasib yang sudah saya siapkan buat kamu."
Penyadaran "kayaknya saya ketemu jodoh" sih, lumayan. Not all that fancy, but still exciting nonetheless.
Tapi yang jelas, hampir semuanya di luar dugaan. Memang Tuhan itu mudah sekali membalikkan semua prediksi dan bilang, "lihat 'kan, kamu nggak akan bisa tebak apa nasib yang sudah saya siapkan buat kamu."
Karena herannya, saya tidak pernah merasa se-siap nikah ini sebelumnya. Mungkin karena usia sudah mencukupi, mungkin karena sayanya naksir (hahaha ya iya lah), mungkin bertemu dengan orang yang bisa mengakomodasi.
Banyak faktor yang masuk logika, tapi ada juga faktor yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.
"Kalau bertemu jodohnya, nanti juga mengerti sendiri." Itu kata Ibu dulu. Saya masih nggak tahu apakah betul jodoh atau tidak, tapi sedikit banyak saya rasanya bisa mengerti.
Banyak faktor yang masuk logika, tapi ada juga faktor yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.
"Kalau bertemu jodohnya, nanti juga mengerti sendiri." Itu kata Ibu dulu. Saya masih nggak tahu apakah betul jodoh atau tidak, tapi sedikit banyak saya rasanya bisa mengerti.
Rasanya seperti menanyakan pertanyaan yang sebenarnya sudah saya tahu jawabannya. Karena saya mau, dan saya sudah siap. Siap, memang bukan sepenuhnya siap, bukan berarti saya akan tenang dan kalem menghadapi segala kemungkinan; tetapi setiap langkah yang saya ambil, saya tahu kalau ini keputusan yang sadar, dan saya akan berusaha agar bisa menjalani semuanya dengan bahagia.
--Meskipun tetap banyak nangisnya juga. Hehe. Tetap stres, tetap bingung, tetap ragu. Tapi semua tetap berjalan.
Maka beginilah saya sekarang. Tanpa terasa, pernikahan saya tidak sampai dua bulan lagi. Waktu pertama kali memutuskan, saya menangis banyak sekali karena takut keputusan saya salah. Takut kehilangan kesenangan saya sekarang. Takut dengan hal ini dan itu. Sekarang? ternyata masih takut juga. Memang dasarnya penakut sih, haha. Tetapi kali ini, ada keberanian di dalamnya.
Saya bersyukur berniat menikah di waktu ini, di usia ini, dengan orang ini. Nggak ada yang bisa memberi garansi seperti apa yang akan saya hadapi di depan. Mungkin nanti saya bakal ketawa. Bakal nangis juga. Memang akan kehilangan beberapa hal, namun saya yakin banyak juga yang akan saya dapatkan.
Selain semoga akad dan prosesnya lancar, lebih banyak lagi doa yang tersemat di belakangnya. Semoga kami jadi orang yang lebih baik dari kami sekarang. Semoga kami bisa mendapatkan pelajaran yang banyak dengan cara yang membahagiakan.
Semoga, bertahun-tahun kemudian saat saya membaca tulisan ini kembali, saya masih akan tersenyum.
(Because whatever it takes, in the end, it's all gonna worth it.)
Bandung, 11 November 2019.
Langganan:
Postingan (Atom)