Budgeting, Agar Pendapatan Tidak Habis di Tengah Bulan
Sabtu, September 08, 2018
Pertama kali saya mendapatkan gaji yang cukup besar adalah sewaktu saya kuliah, mengerjakan proyekan dari senior. Tiga bulan bekerja paruh waktu, saya mendapatkan 2,5 juta rupiah. Jumlah yang cukup besar untuk mahasiswa, apalagi waktu itu saya bergantung pada uang beasiswa untuk kegiatan sehari-hari.
Merasa kaya raya? Jelas. Wih, kapan lagi dapat uang segitu? Proyekan belum tentu ada lagi, pikir saya. Tanpa memikirkan lebih lanjut, saya gunakan uang itu begitu saja. Lima puluh ribu di sini, seratus ribu di sana. Mengiyakan ajakan makan di sini, nonton bioskop di sana. Sampai tentu saja, uang itu habis.
Lho! Habis? Iya lah. Namanya juga dipakai. Setelah uangnya habis, baru saya bingung dan menyesal. Karena uangnya tidak jadi apa-apa - saya tidak beli sepatu baru, baju baru, apalagi ponsel baru. Aliran uang itu saya habiskan begitu saja, dan saya bahkan tidak ingat dipakai untuk membeli apa saja.
Saat sudah bekerja dan memiliki pendapatan, saya kembali mengulang pola yang sama dengan alasan berbeda. Toh saya akan dapat gaji lagi bulan depan, pikir saya. Alhasil, uang yang masuk cepat juga keluar. Dua tahun setelah bekerja dan saya tidak punya tabungan, saya baru sadar kalau ada yang salah. Di situ saya mulai memberlakukan perencanaan anggaran pada diri sendiri. Surprise-not-so-surprise, keuangan saya relatif lebih aman sekarang, meskipun kadang masih ada bolong di sana-sini.
Kenapa Perencanaan Anggaran?
Awal mulanya, membuat perencanaan anggaran atau budgeting tampak seperti sesuatu yang melelahkan. Bagi saya sih, godaan utamanya seperti ini: karena kita tidak tahu apa saja kebutuhan di bulan itu, jadi ya mengapa tidak menyesuaikan sambil jalan saja? Namun, justru karena kita tidak tahu akan ada apa saja kebutuhan di bulan itu, setidaknya kita bisa menghitung prediksi agar tahu situasi finansial walaupun hanya perkiraan saja.
Mengetahui kondisi keuangan dengan pasti adalah dasar dari keuangan yang sehat.
Kita bisa mengetahui bagian mana yang berlebihan, atau mungkin mengatur uang untuk tujuan ke depan. Tidak perlu rinci seperti rencana anggaran yang dibuat perusahaan. Selama kita tahu berapa yang masuk dan keluar, itu sudah bisa disebut rencana anggaran.
Ketahui jumlah pemasukan
Hal utama dari perencanaan anggaran adalah mengetahui pemasukan. Berapa gaji yang didapat setiap bulannya? Karena saya adalah karyawan, maka mudah - saya tinggal mengecek slip gaji dan melihat rincian gaji yang diperoleh (sudah dipotong pajak). Kalaupun ada faktor yang naik-turun seperti uang makan dan transpor, tetapi ada jumlah perkiraan yang setidaknya tetap dan bisa ditulis sebelum gajinya turun.
Bagaimana dengan pekerja lepas? Meskipun pendapatan pekerja lepas naik turun, ada baiknya juga menentukan spending cap/income cap, batasan pemasukan. Berapa rata-rata penghasilan yang didapat setiap bulan? Jumlah itu bisa dijadikan pertimbangan. Oh ya, seiring dengan berjalannya hari, masukkan juga kalau ada bonus atau pendapatan lebih. Prinsipnya, semua harus dimasukkan.
Catat rencana pengeluaran satu bulan ke depan
Nah, setelah sudah tahu berapa pemasukan, berikutnya tentu perkiraan berapa yang harus dikeluarkan. Kalau merasa setiap bulan pasti berbeda-beda, pasti akan ada pola dasarnya. Dimulai dari pengeluaran yang sudah pasti, misalnya pengeluaran untuk makanan pokok, belanja bulanan, biaya transportasi, dan tagihan-tagihan rutin. Cicilan hutang juga dimasukkan paling pertama, ya.
Bagaimana kalau tidak ada bayangan sama sekali? Paling mudah adalah jangan dulu membuat budget, namun mulai dengan analisis pengeluaran sehari-hari. Catat dengan teliti berapa yang dihabiskan setiap bulan, sampai nominal sekecil mungkin. Itu termasuk lima ratus rupiah yang dikeluarkan untuk polisi cepek. Mengapa? Kalau kita jarang mencatat dan tidak memikirkan benar-benar uang yang dikeluarkan, kadang nominal yang kita prediksi dengan nominal asli bisa berbeda. Ini yang menyebabkan gaji rasanya mengalir seperti air.
Prinsipnya, pengeluaran harus lebih kecil daripada pemasukan, atau paling tidak sama. Jangan lupa memasukkan keperluan yang sebenarnya penting, tapi suka terlupakan: tabungan dan donasi atau zakat. Setelah terisi semua, pasti akan terlihat pola yang jelas dan kamu bisa menilai bagian mana yang perlu dikurangi, atau keperluan apa yang perlu dipangkas dan dialihkan ke keperluan lain.
Setelah rencana pengeluaran tercatat, tinggal mencatat nilai aktual yang dikeluarkan setiap kali terjadi transaksi yang menggunakan uang. Cocokkan dengan perencanaan yang sudah dibuat sebelumnya, dan jangan sampai melebihi jatah yang sudah ditentukan!
Metode 50/30/20 + Zero Sum Budget
Bingung untuk membagi, atau tidak ada bayangan untuk mengisi hal-hal di atas? Saya menggunakan metode 50/30/20 dan zero sum budget.
Buat saya, metode 50/30/20 ini adalah metode paling sederhana untuk mengatur anggaran. Prinsipnya, dari jumlah penghasilan pasti, 50% dipergunakan untuk kebutuhan sehari-hari, 30% untuk keinginan dan foya-foya, 20% untuk menabung dan donasi. Kalau porsi yang 50% tidak cukup, maka yang dikorbankan adalah 30%. Sebisa mungkin pos tabungan tidak boleh diotak-atik.
Kalau kebutuhan sehari-hari sudah tercukupi di bawah 50%, bagaimana? Wah itu bagus. Apakah itu berarti kadar keinginan dan foya-foya harus ditambah? Boleh saja sih, tetapi saya lebih suka mendistribusikannya ke 20% alias tabungan. Tabungan buat foya-foya yang lebih heboh daripada dihabiskan di bulan yang sama - atau untuk kebutuhan darurat ketika ada waktu di mana pendapatan tidak mencukupi untuk porsi yang 50%.
Jangan biarkan ada dana yang "menganggur". Bukan berarti setiap ada sisa uang/penghasilan harus segera dipakai, maksudnya. Tetapi direncanakan hingga setiap rupiah pendapatan memiliki tugas masing-masing. Uang yang ditabungkan juga termasuk uang yang sedang "bertugas". Bertugas untuk liburan tahun depan, bertugas untuk kebutuhan darurat. Hal ini disebut sebagai zero sum budget. Dengan pola pikir seperti ini, nafsu belanja saya bisa lumayan dikendalikan.
Mana kebutuhan, yang mana keinginan?
Ketika menjalankan anggaran dengan sistem ini, yang paling banyak godaannya adalah ketika kita menentukan apa itu kebutuhan dan apa itu keinginan. Contoh mudah dari saya adalah membagi anggaran konsumsi. Kebetulan saya memegang kendali atas anggaran rumah tangga keluarga juga, jadi pengeluaran saya nggak jauh beda sama pengeluaran keluarga kecil dengan dua anak dewasa. Sejak bekerja di tempat yang jaraknya jauh, saya jadi suka malas memasak. Otomatis, saya mengeluarkan uang untuk membeli makan di luar yang dikeluarkan dadakan.
Apakah makanan sehari-hari itu kebutuhan primer? Iya, betul. Tetapi apakah setiap hari harus keluar sekian puluh ribu hanya untuk makanan yang dibeli di pinggir jalan atau dari luar? Bagaimana cara menghematnya? dengan mencatat perkiraan pengeluaran dan mengetahui alur keuangan kita, dengan sendirinya juga kita jadi lebih 'perasa' terhadap jumlah uang yang dikeluarkan (setidaknya ini yang saya rasakan).
Apakah ada tagihan yang bisa dinegosiasikan? Selalu ada ruang untuk bernegosiasi. Ngomong-ngomong, setelah setahun, akhirnya saya juga meninjau kalau biaya BPJS keluarga terlalu mahal untuk kondisi kemampuan saya sekarang. Jadi saya berencana untuk menurunkan kelasnya. Itu satu contoh betulan, masih banyak contoh yang lain. Mungkin keperluan yang bisa dipotong, seperti menggunakan angkot untuk menggantikan ojek online yang harganya lebih mahal? Bisa juga menukar paket internet dengan yang lebih murah kalau kuotamu selalu bersisa.
Berikan ruang untuk fleksibilitas
Meskipun judulnya zero-sum budget, tetap saja kita tidak tahu apakah akan ada pengeluaran dadakan di bulan mendatang. Karena itu jangan terlalu ketat memberikan jumlah pasti pengeluaran. Selalu berikan kelonggaran, lebihkan sedikit dari perkiraan kasar yang dibuat. Jadi kita juga lebih aware dan kalau sewaktu-waktu ada pengeluaran tambahan, bisa langsung menyesuaikan. Asal jangan keterlaluan saja gap-nya, nanti malah jadi alasan untuk jajan tambahan.
Sebenernya saya suka gemes di sini sih. Soalnya, mau seteliti apa pun saya dalam ruang fleksibilitas, selalu saja ada yang lepas dari kendali dan akhirnya harus bongkar di tengah jalan. Karena itu, pernah juga saya berhenti melakukan budgeting. (Karena toh nantinya dibongkar lagi, buat apa dibuat, kan). Efeknya saya malah lebih parah kendornya, jadi akhirnya saya kembali ke jalan yang lurus.
Disiplin mencatat pengeluaran seiring waktu berjalan
Saya percaya data adalah awal dari penyelesaian masalah. Dengan adanya data kita tahu problem apa yang ada dan apa tindak lanjut permasalahan tersebut. Sama seperti proses budgeting dan pencatatan ini. Kalau budget tidak dipraktekkan dan pengeluarannya tidak dicatat, sama saja bohong. Jadi, yang paling penting, setelah direncanakan, pengeluaran harus dicatat dengan teliti dan rutin, jangan sampai ada yang terlewat. Gunakan metode yang paling mudah dan memungkinkan kita untuk mengisinya setiap kali ada transaksi.
Mungkin, menggunakan layout excel yang rapi memang tampaknya lebih keren dan lengkap, tapi juga tidak akan optimal kalau hanya dibuka beberapa hari sekali karena malas. Saya orang yang nggak cocok dengan menuliskan budgeting di excel sih, hahaha. Karena ingatan jangka pendek saya jelek, sebisa mungkin setiap transaksi langsung saya tulis. Menggunakan aplikasi seperti Monefy memudahkan saya untuk mencatat setiap transaksi dengan detail. Bahkan sudah ada di ponsel pun, saya masih suka malas. Biasanya saya melakukan input di perjalanan berangkat dan pulang kantor, saat terjebak macet di angkot.
Final Verdict
Saya belajar tentang budgeting ini sudah lama, tapi baru konsisten menjalaninya dua tahun terakhir. Itu pun masih ada bolong-bolongnya. Padahal saya juga yang paling tahu, dengan tersajinya data hasil pencatatan dan perencanaan akan memudahkan bagi saya sendiri. Kalau data tersaji lengkap, maka kita juga bisa lebih mengerti pola pengeluaran dan pemasukan kita sendiri. Mana yang harus dikurangi, dan mana yang bisa dialihkan untuk keperluan lain?
Ada waktunya saya nggak sadar kalau saya sudah mengeluarkan terlalu banyak uang untuk budget snack, padahal itu baru pertengahan bulan. Melihat nominal yang melambung, saya jadi bisa bilang dengan tegas pada diri sendiri: stop, jangan jajan lagi. Kalau tidak dicatat dan dibatasi, saya tentu tidak akan merasa kalau sudah mengeluarkan uang banyak - karena kebanyakan yang saya beli toh snack-snack kecil. Snack kecil yang kalau bertumpuk dan berkali-kali, nominalnya lumayan juga. Dengan cara ini juga saya jadi tahu berapa yang seharusnya saya tabung dan berapa yang bisa saya berikan untuk orangtua atau keluarga.
Tentu saja metode ini nggak bakal selalu cocok untuk setiap orang. Mungkin ada yang lebih efektif dalam berhemat tanpa budget. Mungkin ada juga yang malah bertambah khawatir tidak jelas kalau menggunakan budget (sebenarnya untuk tipe yang begini, budgeting bisa dicoba). Yang jelas, untuk yang sering merasa uang hilang entah kemana, cara ini sangat disarankan untuk dicoba. Happy budgeting! 🙂
foto: unsplash, dokumentasi pribadi
Life Log #002 Busy Days
Minggu, Juli 15, 2018
Setelah melewati liburan panjang setelah Idul Fitri, akhirnya saya kembali lagi ke sini. Sebulan lebih kosong tanpa post, tapi yang penting, tetap mencoba jalan terus, ya. Ha ha ha.
Cuaca Bandung sekarang sedang dingin. Tapi hanya malam dan pagi hari saja. Karena kemarau, perbedaan cuacanya bisa lumayan jauh. Siang hari bisa mencapai 33 derajat celsius, cukup buat bikin saya misuh-misuh. Dini hari pernah anjlok sampai 12 derajat celsius dan bikin saya malas bangun untuk ke kantor. (Huuu... alasan.) Padahal, daerah tempat tinggal saya saja termasuk panas. Karena perbedaan suhu itu, jadi serba salah. Pakai jaket, siangnya kepanasan. Tidak pakai jaket, pagi-pagi dingin seali di jalan.
Soal kedinginan dan kepanasan sih risiko, ya. Yang bikin tidak mengenakkan itu karena sinus saya makin berulah, lebih sering mampet. Sedang mempertimbangkan untuk ke dokter lagi sih, lihat saja nanti. Saat ini saya juga sedang sibuk di kantor, jadi malas ke dokter karena memikirkan antriannya panjang.
Iya, kegiatan di kantor memang sedang sangat penuh. Alhamdulillah saya sibuk, selalu ada hal untuk dikerjakan, tapi juga panik karena kok rasanya banyak sekali yang harus diselesaikan, hahaha. Di saat begini saya kesal karena menggunakan desktop dan bukannya laptop, karena saya ingin kabur ke ruangan lain supaya tidak diganggu dengan suasana. Iya, suasana. Sayanya yang tidak mudah konsentrasi kalau banyak orang berseliweran; atau mungkin, saya hanya bosan berada di tempat yang sama.
Maka, saya masih berkutat dengan kerjaan kantor. Kalau berharap nanti bisa lebih longgar, ya bisa, sih, tapi sekarang sepertinya saya harus berpintar-pintar saja dengan cara membagi waktu.
CURRENTLY....
Watching In terms of movies, saya belum nonton apa-apa lagi selain The Incredibles 2 (yang memang sudah dari dulu ditunggu), dan Oceans' Eight (di mana saya kesengsem sama Cate Blanchett). Dua-duanya film menyenangkan yang tidak butuh mikir. Kalau di Youtube, saya lagi suka nonton video anak-anak di HiHo Kids. Awalnya saya kita nonton anak-anak itu bosenin, tapi ternyata tingkah mereka memang nggak ada habisnya hahaha.
Listening to A lot of Kpop Indie. Beberapa yang baru saya dengarkan adalah Rad Museum dan Ofonoff, yang diskografinya cocok untuk menenangkan diri di kala pusing dengan tugas kantor. It's a chill RnB genre yang bisa didengarkan siapa saja yang butuh ketenangan... dan sedikit ngantuk. Hahaha.
Playing Karena banyak kerjaan yang menuntut saya harus konsentrasi, ketika saya nggak bisa konsen dan tetap terpikir kerjaan, saya maunya melakukan sesuatu yang nggak pakai mikir. Awalnya temen saya yang ngasih link wormate.io ke saya, tahunya sekarang saya jadi lumayan sering main juga. Malam minggu orang jalan-jalan, saya malah main game sampai jam 10 😞 Tapi game ini emang asik, lumayan kalau pikiran lagi capek.. (ngeblognya kapan?)
The 9 to 5 Self Care Essentials: 7 Cara Merawat Diri saat Jam Kerja
Minggu, Mei 13, 2018
Angkat tangan kalau kalian juga pejuang 9-5 dalam ruangan seperti saya. Sebagai pekerja kantoran dengan jam kerja tetap, rutinitas 9-5 (atau 8-4, atau 10-6, you name it) adalah hal yang menjadi makanan sehari-hari.
Diterpa macet pagi hari, ditambah pekerjaan yang tidak habis-habis dan bermacam obligasi saat jam kerja, bisa membuat tubuh capek tanpa terasa. Untuk mencegah burnout, kita juga perlu menjaga agar kondisi tubuh saat jam kerja tetap prima. Mencintai diri sendiri dimulai dari merawat diri sendiri, termasuk saat bekerja.
Baca juga: The Importance of Self-Care
Lagian, kalau kondisi tubuh dan mental buruk, pastinya pekerjaan juga nggak bisa diselesaikan dengan efektif - berujung dengan membuatnya bertumpuk, dan bikin stresnya makin numpuk juga. Atau membuat produktivitas kerja menurun dan hanya diisi dengan mindless browsing. (yes, I'm guilty of this so many times)
Saya bekerja di dalam ruangan, di depan meja, dengan jam kerja tetap setiap harinya, tetapi tips-tips di bawah tidak eksklusif hanya untuk pejuang depan komputer, kok. Semua tipsnya mudah dan tentu saja... mayoritas tidak perlu biaya. Iya dong. Apalah saya tanpa hal yang murah.
1. Air minum adalah teman
Bekerja di dalam ruangan dengan pengatur suhu membuat kulit lebih mudah kehilangan kelembapan alaminya. Apalagi kalau tidak ada air humidifier di dalam ruangan. Karena itu, menjaga tubuh terhidrasi dengan meminum air secara rutin adalah solusinya. Air putih ya, karena kopi dan minuman berkafein lainnya justru akan membuat kita dehidrasi.
Jangan malas berjalan ke dispenser terdekat untuk mengambil air minum. Kalau memang malas a la saya, kalian bisa mengganti mug dengan botol yang kapasitasnya besar, sehingga tidak perlu bolak-balik. Saya sendiri menggunakan botol dengan kapasitas 1,4 liter. Target saya, seisi botol itu harus habis saat waktunya pulang kerja.
2. Perhatikan temperatur ruangan
Jadi ternyata, temperatur AC ruangan kantor memang disesuaikan untuk laki-laki. Maka jangan heran kalau lebih banyak perempuan yang kedinginan di dalam ruangan kantor daripada laki-laki, karena secara biologis tubuh mereka lebih banyak memproduksi panas.
Ada cerita sedih di balik tips yang ini. Sejak pertengahan tahun kemarin, saya pindah lokasi kubikel jadi lebih dekat ke AC sentral ruangan. Karena pendingin ruangan itu memang sudah tua, saya tidak terlalu terganggu dengan suhunya. Sampai dua bulan yang lalu, pendingin ruangan itu diganti. Awalnya tidak terlalu terasa, tapi waduh, saya kena infeksi sinusitis sampai susah berjalan dengan benar. Kepala serta bahu saya pun terus-terusan sakit.
Dalam jangka panjang, tentu akibatnya akan lebih buruk untuk kesehatan (yha, kemarin juga sakitnya sampai sebulan). Jadi, sejak saat itu, saya selalu berbekal jaket yang lumayan tebal untuk dipakai... menutupi kepala. Kalau memungkinkan, pastikan kita berada di posisi yang jauh dari pendingin ruangan, atau kompromi untuk menyesuaikan suhu. Sediakan sweter di kantor kalau-kalau temperatur mendadak turun drastis.
3. Jangan lewatkan jam istirahat makan siang
Untuk orang pemalas seperti saya, lebih enak kalau makan siang dimakan di depan komputer sambil browsing youtube atau lainnya. Sekarang, kebiasaan ini sebisa mungkin saya hilangkan. Kalaupun nantinya saya menghabiskan istirahat dengan browsing, minimal separuh waktunya saya pakai untuk makan siang dan mengobrol bersama teman.
Jam istirahat tentu ada bukan tanpa alasan - dia memberikan kita jeda dari melihat layar komputer terus-menerus dan menghirup udara di luar ruangan. Jadi, jangan sampai menyia-nyiakan waktu ini untuk hal lain, apalagi masih mengurusi pekerjaan. Lain lagi kalau memang sedang mengejar tenggat waktu (tapi juga jangan sering-sering, lah). Hindari melihat layar komputer atau ponsel saat istirahat, dan gunakan jam istirahat benar-benar untuk rileks.
Kalau memungkinkan, coba tidur sekitar lima belas sampai dua puluh menit. Ini juga favorit saya: tidur bisa benar-benar menyegarkan otak yang penat, soalnya. Lumayan untuk penyegaran sebelum terjun ke dalam pekerjaan lagi. Memang agak susah sih kalau yang nggak terbiasa tidur di tengah keramaian, tapi bisa dilatih! (Yakin? Iya, dengan niat semua bisa. Niat tidur lho ini, bukan niat olahra... eh.)
4. Bangkit dari kursi dan lakukan senam ringan
Zaman sekarang, duduk bisa dibilang memiliki efek yang mematikan seperti rokok (saya menulis ini sambil duduk sih. Hmmm). Terlalu lama duduk dapat menyebabkan meningkatnya risiko diabetes, serangan jantung, dan tentu saja, kenaikan berat badan. Sambil ngetik ini saya jadi serem sendiri dan berniat akan makin mengencangkan disiplin untuk bergerak setiap kali duduk lama.
Idealnya, setiap satu jam duduk, kita selingi dengan bergerak lima sampai sepuluh menit. Karena kalau asyik bekerja kita bisa jadi lupa, saya menggunakan aplikasi Eyeleo untuk membantu saya mengingatkan kalau sudah tiba waktunya untuk bergerak. Selain memberikan pengingat untuk bangkit dari kursi, aplikasi ini juga memberikan waktu istirahat singkat dan latihan sederhana untuk mata.
Banyak yang bisa kita lakukan dalam waktu sepuluh menit. Ke toilet, menunaikan ibadah, atau mengisi botol air minum hanyalah beberapa di antaranya. Boleh juga ke tempat teman untuk mengobrol, atau kalau yang mau ekstrem, mencoba beberapa latihan olahraga sederhana dari Darebee. Mereka bahkan punya set latihan khusus buat dilakukan di sela-sela jam kantor.
5. Pilih cemilan sehat
Ini terus terang gak susah buat saya, tapi sekarang saya lagi berusaha. Hiii. Cemilan yang tersedia di kantor saya adalah keripik asin-manis-pedas nan kaya msg. Enak yang bikin guilty pleasure gitu lho hahaha. Selain numpuk gula, kolesterol, gizinya juga nooolll.... Mana kalau saya lagi eneg sama kerjaan, bawaannya pengen ngemil terus 😞 Mungkin masih jauh perjalanan saya buat jadi cewek kece yang cemilannya granola dan chia seeds setiap hari, tapi sedikit-sedikit deh.
Karena saya punya maag juga, memang saya tidak boleh membiarkan perut kosong terlalu lama. Kalau sedang rajin, saya membawa biskuit dari rumah (satu bungkus besar yang jatahnya dibagi untuk beberapa hari), atau membawa buah seperti pisang dan tomat. Tahun depan saya sudah bisa jadi cewek-kece-yang-cemilannya-granola-dan-chia-seeds setiap hari belum ya? Mari kita lihat.
6. Jaga kulit tetap lembap
Kalau tadi bicara soal kelembapan dari dalam, sekarang kelembapan dari luar. Udara AC yang bikin kering bikin kulit tangan menderita. Begitu juga kulit wajah. Jadi selain menggunakan SPF dan pelembap saat berdandan di pagi hari, jangan lupa mengaplikasikan ulang setelah jam istirahat, apalagi wajah yang terkena air wudhu selepas ibadah.
Selain stok SPF dan pelembap, ada baiknya juga menyediakan hand and body lotion di laci serta hand cream untuk yang tangannya ekstra kering (saya). Awalnya sih saya cuek soal ini, tetapi setelah melihat jari-jari tangan super kering karena terkena pendingin ruangan, debu, dan cairan pencuci piring, akhirnya saya mencoba berinvestasi pada hand cream and I will never go baccccck!
Pilihan saya saat ini adalah Hand Cream seri Floral Collection dari Marks and Spencer. Teksturnya cukup nyaman, mudah menyerap, dan harganya masih terjangkau. Sayang sekali, belum ada merek lokal yang nyantol di saya. Antara tidak ada efek melembapkan sama sekali, atau baunya bikin eneg satu kubikel dan kubikel tetangga. (Disarikan dari kisah nyata op kors.)
7. Investasi pada earphone/headphone berkualitas
Hidup berkubikel kadang membuat privasi berkurang. Lagi konsentrasi, mendadak terdengar heboh dari sisi lain ruangan. Saat hendak fokus, eh telinga terdistraksi dengan obrolan di sebelah. Bagi saya earphone/headphone yang bagus itu penting. Tidak perlu yang jutaan a la beats-nya Justin Bieber, yang penting kualitasnya cukupan dan mereknya bukan merek tidak jelas.
Kalau sudah ada headphone, tentunya, musik jadi hal penting. Saya lebih mudah konsentrasi dengan dibantu musik. Kadang butuh yang liriknya saya hafal, biar bisa sambil karaoke. (Saya suka karaokean dengan tidak tahu diri di kubikel. Selama nggak berisik sampai ada yang terganggu, nggak masalah.) Kadang juga butuh yang instrumental, supaya bisa konsentrasi di pekerjaan dan bukannya baperin lagu.
Final Verdict
Kantor untuk saya sudah seperti rumah kedua. (Kata teman kantor sih, itu karena belum ada yang nunggu saya pulang di rumah, hahaha). Makanya, penting bagi saya untuk membuat diri senyaman mungkin. Kalau soal coworker, atau beban kerja, memang ada hal yang tidak bisa kita kendalikan - tapi paling tidak, hal-hal di atas bisa membantu kita setidaknya untuk tetap nyaman.
Akhir-akhir ini saya lagi doyan nyari stationery buat meja via online, dan rasanya kok susah banget buat nyari stationery yang lucu-lucu tapi nggak kelewat cute kayak buat anak SD/SMP. I want something feminine but not too cute. Ada yang punya rekomendasi enaknya beli di mana?
Semoga hari kerja kalian juga tetep nyaman meskipun sibuk, by the way! Selamat menyambut workweek lagi maksudnya, hihihi.
Life Log #001 - Mencoba Menjadikan Menulis Rutinitas (Lagi)
Kamis, Mei 10, 2018
Akhirnya tiba lagi saatnya saya mengisi blog ini dengan sesuatu yang lebih diary-ish. Setelah dua tahun terakhir mencoba meningkatkan intensitas ngeblog dan sepertinya masih belum optimal, tahun ini saya tidak ingin kalah.
Tetapi karena saya juga masih meraba-raba, jadinya saya masih bingung dengan jadwal penulisan blog ini. Makanya, entri ini sebenarnya saya post dengan backdate. Ditulisnya akhir minggu, tetapi dijadwal untuk dipost tanggal 10. Jeda tanggal semata-mata agar terlihat lebih estetis saja. Pardon me and my weird perfectionism.
Sekali pun selama beberapa tahun terakhir blog ini jarang diperbaharui isinya, saya sebenarnya tetap menulis jurnal. Entah jurnal tertulis maupun digital, di blog lain yang alamatnya tidak diketahui manusia normal maupun privat. Jurnal sehari-hari saya tersebar di berbagai media. Karena blog ini memang saya khususkan untuk tulisan yang lebih 'refined', jadinya blog ini pun lebih sering kosong.
Tapi rasanya, aneh juga kalau blog ini hanya terisi dengan konten semi-artikel, ya. Sekali pun semuanya juga sama-sama pendapat pribadi dan menyelipkan cerita kehidupan sehari-hari, sepertinya blog saya tetap butuh entri tanpa struktur seperti ini. Jadi beginilah sambil berusaha mencari jadwal yang enak untuk menulis.
Tahun kemarin, saya bisa dibilang nggak menulis sama sekali. Jadilah, tahun ini saya lumayan berapi-api untuk mengisi blog ini lagi. (kontennya masih sedikit, tapi buat saya ini sudah termasuk berapi-api, jadi gitu lah ya.) Ternyata sekarang saya bisa menemukan waktu untuk menulis meskipun kesibukan kantor masih tetap banyak dan padat. Memang yang penting itu niat.
Setelah kemarin menulis di media yang tida konsisten (kadang digital, kadang manual. Kadang di sini, kadang di sana) sekarang waktunya naik level sedikit. Minimal tempat menulis jurnal hariannya harus selalu sama, lah. Karena sekarang saya aktif kembali menulis blog, jurnal harian rencananya akan saya tulis manual, di binder yang dulu saya pakai waktu kuliah.
Sama seperti log yang direncanakan akan rutin dinomori seperti ini, jurnal harian juga harus saya nomori hahaha. Mudah-mudahan saja nanti lebih linear dan makin banyak. bangga juga kan kalau lihat dokumentasi yang rapi. (Saya doang sih yang bangga).
Minggu depan sudah masuk Ramadhan, Insya Allah saya juga ada lebih banyak waktu untuk menulis (semoga). Semoga selain ada waktu lebih, diberikan kesehatan lebih juga.
Recently....
Listening to Playlist saya masih belum banyak berubah; masih lagu-lagu random. Rilisan baru yang sekarang lagi sering saya dengarkan adalah lagu terbaru Troye Sivan, Bloom. Menurut saya suara Troye nggak begitu bagus, tetapi lagu-lagunya super nagih. Oh, Latar belakang lagu ini juga lumayan kontroversial: it's a bottom anthem for sure. Jarang-jarang saya menemukan lagu yang bercerita gamblang soal percintaan gay, apalagi tentang pengalaman seks.Obsessed with Classical Musician's React Series dari ReacttotheK! Saya sudah nggak begitu update lagi sama kpop (karena sudah punya daftar musisi yang disuka dan cenderung lebih memperhatikan skena independen atau RnB), tapi channel reaction ini menarik sekali untuk ditonton. Biasanya channel reaction cuma ngomongin soal gantengnya orang atau tampilan visual MV, tetapi channel ini berbeda karena menampilkan sudut pandang dari segi musik yang sangat detail.
Ini karena yang mengomentari adalah mahasiswa-mahasiswa Konservatori Musik Eastman, and honestly, it's very entertaining sekali pun saya nggak ngerti apa-apa soal musik hahaha. Kalau suka k-pop dan ingin sekalian belajar dan nontonin college kids having fun, coba aja nonton ini. Ujung-ujungnya jejangan bisa binge watching kayak saya.
Reading Nothing at the moment, masih blog-blog yang biasa saya baca saja. Oh, saya juga lebih sering blogwalking sekarang. Lumayan kan, waktu yang biasa dipakai browsing gajelas ditukar jadi blogwalking. Saya gagal melalui reading challenge saya bulan lalu, jadi bulan ini saya belum memilih buku untuk dibaca. Setelah nulis ini, kayaknya besok saya harus mampir ke perpustakaan, deh.
Skincare Save and Splurge: Hemat Belanja dengan Pintar Memilih Produk
Senin, April 30, 2018
Beberapa tahun terakhir, industri kecantikan dan perawatan kulit merajai pasar dunia. Bukan perasaan doang, tapi memang sekarang banyak sekali merk dan jenis yang muncul di pasaran. Produk perawatan kulit saja, contohnya, ditaksir akan bernilai mencapai 11 milyar dolar di 2018.
Masyarakat, khususnya perempuan, dimanjakan dengan berbagai pilihan produk dan merek. Perawatan yang sebelumnya sederhana sekarang menjadi lebih kompleks, terutama dengan tren 10-step skincare yang dipopulerkan oleh merek-merek Korea. Saya sendiri awalnya mikir step sebanyak itu amit-amit banyaknya, tapi toh, sekarang dijalankan juga, walaupun nggak semua. Hahahaha.
Belum lagi kehadiran e-commerce yang memudahkan kita berbelanja, mulai dari merek terkenal sampai yang obscure. Sebagai cewek saya senang sama berbagai pilihan itu. Selain bisa mencari produk yang paling cocok dengan kulit, harga juga lebih bersaing, ditambah lagi free ongkir. (Ya, halo, Sh*pee)
Tapi bingung nggak sih? Segala produk ada, segala merk ada, yang tetap cuma isi dompet. Dengan berbagai pilihan produk yang mengaku bisa memberikan hasil ini dan itu, masa iya harus beli yang mahal semua? Ya kali. Kantong saya bisa jebol dua kali, itu mah.
Terus, produk apa yang harus diutamakan, kira-kira?
Of Wearing Fragrance, On a Budget
Minggu, April 22, 2018
Sejak kecil, saya suka sekali parfum.
Ibu saya bukan penggemar parfum. Beliau lebih suka pakai deodoran saja. Saya nggak punya memori masa kecil menemukan botol-botol parfum atau aroma parfum tertentu dari beliau.
Tapi, nenek saya dulu adalah sales advisor untuk Avon. Setiap bulan saya dapat katalog dari beliau. Biarpun nggak pakai (karena semua buat orang dewasa, ya), tapi saya rajin membaca produk-roduk yang ditawarkan terutama wewangian. Setiap nama parfum saya baca, saya teliti foto-fotonya, saya ingat komposisinya.
Memang, membeli parfum tidak hanya soal membeli aroma, tapi juga kesan dan cerita yang ada di baliknya. Part of buying fragrances are buying the fairytale itself; itu yang membedakan rasanya membeli parfum di supermarket atau parfum refill yang daya tahannya katanya bisa menyaingi parfum aslinya.
Kalau memang ada yang daya tahannya sama dengan aroma yang mirip, mengapa harus yang mahal?
Konon 80% harga parfum berasal dari biaya untuk advertising dan membentuk imej. Membeli parfum mirip seperti membeli novel favorit atau mencari pasangan yang tepat. Parfum adalah hal yang sangat pribadi, seperti koki memberikan citarasa masakan atau penulis yang memiliki ciri khas tersendiri.
A right scent can write their own novel, dan dengan sendirinya juga memperkuat latar belakang penggunanya: diri kita sendiri.
Satu lagi yang menyebabkan parfum bisa dihargai tinggi: menurut riset, manusia mengingat aroma dan bau lebih lama daripada penglihatan, suara, rasa yang ada di lidah, dan perasaan. Orang dapat mengingat aroma dengan akurasi 65% setelah satu tahun, sedangkan ingatan visual hanya bertahan 50/50 dalam waktu seperempatnya (tiga bulan).
Manusia mengidentifikasi tanpa sadar dengan bau, dan saya juga termasuk. Hidung ini nggak sensitif sih, tapi mungkin karena kebiasaan sejak kecil juga, saya 'membangun' sesuatu dengan aroma. Dengan sendirinya, saya juga jadi tertarik. Mulai dari saat saya baru bisa beli fragrance mist murah di supermarket, sampai sekarang suka nabung sedikit-sedikit untuk beli yang sedikit berat di kantong.
Nah, jadi seperti sudah diketahui, parfum itu termasuk kebutuhan tersier dengan harga yang tersier juga. tapi saya adalah orang yang
Kalau punya minat dengan hal mahal dengan tetap berbudget pas-pasan, bagaimana dong?
Hobi apa pun, dengan sedikit pemikiran bisa diakali. He he.
Jenis menentukan ketahanan, tapi tidak selalu.
Parfum di pasaran dibagi dalam beberapa kategori - mulai dari eau de parfum, eau de toilette, eau de cologne, dan nama-nama lain yang bisa membuat orang awam mengernyit atau tidak memahami bedanya.Poinnya adalah, harga memang menentukan kualitas, tapi tidak selalu. Eau de cologne dengan harga lebih mahal daripada sebuah eau de parfum dari merk yang tidak terkenal belum tentu lebih tahan lama. Malah bisa sebaliknya.
- Eau de Cologne / Eau Fraiche adalah yang paling ringan, dengan konsentrasi perfume oil sekitar 2%-5%. Di pasaran, eau de cologne juga dijual dengan nama body mist atau body splash. Daya tahannya paling sebentar, sekitar 2 jam dan setelah itu harus dipakai ulang.
- Eau de Toilette, memiliki konsentrasi perfume oil sekitar 4%-10%. Daya tahannya bisa mencapai 4-5 jam. Jenis ini cukup banyak dijual di pasaran.
- Eau de Parfum, jenis yang paling banyak dijual, memiliki konsentrasi 8%-15%, atau sekitar 5-7 jam. Cocok dipakai setelah mandi untuk seharian, tidak untuk dipakai berulang-ulang.
- Perfume, atau Extrait, adalah yang memiliki konsentrat paling tinggi, sekitar 25%. Ketahanannya juga tentu paling lama, bisa sehari penuh. Ini adalah jenis dengan harga yang paling mahal - biasanya diberikan dalam botol biasa, bukan botol dengan atomizer, karena pemakaiannya memang hanya dimaksudkan hanya di titik-titik nadi tertentu.
Dari penjelasan di atas, Extrait memang bisa dibilang paling menguntungkan karena paling murni, tapi harganya juga bisa jadi paling selangit. Saya cenderung memilih eau de parfum, karena ketahanannya yang medium. Dengan mematok budget dan jenis yang sudah jelas, maka kelebihan budget juga bisa dihindari.
Pahami hidung dan tandai jenis parfum yang kamu sukai.
Memang iklan yang ditunjukkan parfum itu hebat: kita bisa begitu terpengaruh dengan bagaimana mereka memberikan imej untuk parfumnya.Saya pernah terobsesi (iya) dengan parfum perempuan bercita-rasa sportif, seperti eskulin hijau yang dibintangi Andien waktu itu. Sewaktu remaja saya terkesan dengan botol-botol lucu Anna Sui, kemudian ingin jadi wanita klasik dengan menggunakan Lancome.
Eit, tapi yang paling penting dari segala iklan itu adalah wanginya kita suka. Kalau memang sudah ada wewangian yang disukai, boleh dicek apa saja komposisi notes-nya (bisa cek di fragrantica), dan setiap memilih parfum, jadikan notes itu sebagai patokan.
Misal, kalau kita suka parfum yang manis dan segar... cari hanya parfum floral-fruity. Kalau senang dengan yang hangat dan elegan, mungkin vanila atau musk bisa jadi pilihan. Kalau suka dengan aroma yang segar dan agak maskulin, pilih citrus.
Banyak juga versi 'dupe' dari parfum mahal; di mana merk terjangkau mengeluarkan dengan komposisi aroma yang mirip. Bukan parfum palsu, lho. Knowledge is power.
Gunakan dengan tepat dan hemat.
Setelah memilih jenis parfum yang cocok, gunakan dengan benar. Siapa yang selama ini menggunakan parfum dengan cara digosok atau disemprot ke baju begitu saja?Jangan menggunakan parfum dengan cara digosok, karena ini akan merusak struktur wanginya. Gunakan hanya di titik-titik nadi tertentu agar tersebar merata. Nadi leher, dada, siku, belakang lutut adalah tempat yang cocok agar parfum tersebar merata.
Ada orang yang benci parfum karena ingat kenang-kenangan 'eneg' atau membuat mabuk udara. Bergantung dari jenis aromanya, ada notes parfum yang bisa lebih tahan lama karena komposisi. Parfum dengan aroma 'berat', seperti vanilla atau musk, cocok dipakai saat udara dingin, karena berevaporasi dengan udara lebih lama. Sebaliknya, bila dipakai di cuaca panas, yang ada bisa bikin eneg orang lain.
Jadi hati-hati dengan pemilihan aroma, ya. Untuk cuaca panas, lebih baik memilih yang ringan seperti aroma bunga dan buah. Kalau kita memilih jenis parfum yang sesuai dengan kebutuhan seperti di no. 1, maka penggunaan parfum pun boleh jadi tidak akan boros.
Don't blind buy atau beli versi KW! Coba lewat tester, vial, atau decant.
Di kota saya, banyak tempat isi ulanng parfum dengan harga yang tidak sampai 10% dari harga aslinya. Karena bibit langsung dari pabrik, katanya, jadi bisa lebih murah.Begitu juga dengan toko online - banyak yang menyediakan parfum dengan label "99% grade ori", "original Eropa", "Original Reject", dan "Original Singapore". Ada yang dijual dengan boks atau tanpa boks. Percayalah, semua parfum itu adalah nama lain dari parfum tiruan. Aroma dan kualitasnya sudah pasti berbeda dengan yang asli.
Saya pernah sengaja membeli yang refill untuk dibandingkan dengan yang asli. Memang karena penasaran. Aromanya memang mirip, tapi beda, lho. Mungkin kalau memang tidak berminat/tidak terlalu memikirkan, parfum KW bisa lewat Quality Check. Parfum KW dengan yang asli kemiripannya sekitar 60%-70%.
Daripada membeli yang KW atau ori reject karena ingin memakai sesuatu yang bermerk tapi bukan, lebih baik mencari versi dupe alias parfum merk lain yang aromanya setipe/mirip, tetapi asli.
Barang yang asli dengan aroma mirip akan lebih otentik dibandingkan barang palsu yang dibuat menyerupai asli. Selain itu, kita juga nggak tahu kan, apakah si parfum KW tersebut mengandung zat berbahaya atau tidak?
All Around Conclusions
Saat ini, meskipun saya "suka" parfum, bukan berarti saya punya satu lemari yang penuh dengan koleksi. Malah karena saya suka, jadinya saya memilih-milih sekali apa yang akan saya pakai dan beli. Setiap kali saya beli, saya memastikan saya memang suka.Tidak heran meskipun saya bilang saya "suka" parfum, tetap saja saya hanya membelinya beberapa bulan sekali. Malah seringnya saya beli ukuran mini, atau hanya sampel. Maklum, menyesuaikan dengan kondisi keuangan juga.
Fragrance and lipstick for me are like clothes. It's fun to explore dan mencoba macam-macam, selain menaikkan kebahagiaan diri sendiri dan juga kepercayaan diri. Terlebih ketika menemukan barang yang bagus dengan harga murah. (Wih, kayaknya semua orang suka harga murah). Yang penting jangan sampai mengganggu kondisi keuangan keseluruhan, dan tahu pasti kapan kita bisa belanja dan kapan harus berhemat.
Hmm, kayaknya saya bakal lebih sering berbagi soal parfum ini juga sih, soalnya saya lebih suka eksplor parfum dan kalau beauty review sudah banyak yang lebih oke.
Fighting the Comfort Zone
Kamis, Februari 01, 2018
Apa sih itu 'comfort zone'?
Secara sederhana, comfort zone ya artinya zona nyaman. Tempat baik secara fisik, emosional, maupun secara psikologis memberikan kita kenyamanan, rasa aman, dan familier. Pola yang sudah tertebak, menjaga kita agar tetap nyaman dan juga tenang dalam kehidupan. Intinya, hal yang tidak akan memberikan kita kegelisahan, tetapi juga tidak akan memberikan kita sesuatu yang baru.
Bagi saya, merasa nyaman itu penting. Saya tidak suka yang aneh-aneh, begitu kata saya setiap kali. Yang sudah teruji, yang bisa saya tebak arahnya, yang klasik dan tanpa tambahan macam-macam. Sesederhana memesan makanan tanpa banyak kustomisasi: apa yang ada di menu, ya, itu yang saya pesan. Pengalaman yang biasa-biasa saja, tidak mengambil risiko, dan menyimpan untuk masa depan. Bagi saya, kemarin, itu cukup; beberapa tahun yang diisi dengan beban stres - sebagian besar karena mencari stabilitas - membuat saya sangat menghargai stabilitas dan sesuatu yang tidak neko-neko. Selama stabil, apa yang saya butuhkan ada, sudah cukup.
Dua tahun terakhir, rasanya saya sudah mulai berlebihan berada dalam "stabilitas" ini. Stabilitas yang sebenarnya perlahan tidak stabil lagi karena saya jadi menutup diri, membatasi diri dalam rutinitas. Saya tahu ini, tapi tidak melakukan sesuatu untuk memperbaiki. Beberapa waktu sekali, saya bisa mengalami mental breakdown yang cukup parah tapi juga tidak berwujud: seperti mengambang, bingung harus apa. Lalu menyimpulkan kalau hidup yang ada harus disyukuri, dan kembali tenggelam dalam rutinitas dan menyingkirkan masalah yang sebenarnya: saya ingin kembali melakukan hal baru yang menantang kreativitas di luar dunia kerja saya yang konservatif. Hal yang saya tak pedulikan dengan alasan capek dan lebih memilih hal yang kontraproduktif.
Saya butuh sesuatu yang baru. Dua tahun terakhir, dalam upaya menciptakan stabilitas, bayarannya adalah tidak ada hal baru, meningkatnya rasa malas, dan mengalihkannya dlam budaya konsumtif (pengeluaran saya naik dua kali lipat dibanding beberapa tahun yang lalu). Setiap kali melihat teman, rasanya rasa percaya diri jadi menurun dan membuat saya semakin menutup diri, berhenti berkreasi dan menghentikan proyek yang membutuhkan berpikir lebih banyak seperti waktu kuliah dulu.
Comfort zone saya saat ini adalah pekerjaan dan uang. Setelah beberapa tahun terombang-ambing, ya, meskipun tidak seheboh yang lain, sepertinya... saya mendapatkan posisi yang bisa dibilang "aman". Pekerjaan saat ini adalah hal yang memang ingin saya lakukan, ditambah lagi saya diberikan banyak kebebasan untuk melakukan hal baru - tidak sebegitu menantang sampai menuntut saya stres, tapi juga memberikan say abanyak ruang untuk berinovasi. Ditambah dengan penghasilan yang saat ini dirasa "cukup", relatif menutup tantangan yang sebelumnya ada dan menjadi fokus pencarian saya.
Sadar atau tidak sadar, saya jadi menutup diri. Membatasi kehidupan hanya di situ saja: Bekerja, lalu mengerjakan pekerjaan rumah dan berkumpul dengan famili. Melakukan hobi yang menurut saya sah-sah saja dilakukan, karena saya sudah capek bekerja. Tetapi saya sadar kalau saya sebenarnya meninggalkan hal-hal yang saya sukai karena ingin tetap "merasa" nyaman. Berpura-pura nyaman. Saya sebenarnya tidak nyaman berhenti menggambar, berhenti berkreasi, dengan alasan sudah capek di kantor dan banyak keperluan lainnya yang diada-adakan. Plus, karena saat ini kebutuhan saya sudah tercukupi, jadinya merasa tidak perlu.
Tapi, setelah itu, rasanya kosong. Malah jadi stres yang baru.
Katanya, semakin banyak kita menghabiskan waktu di luar zona nyaman, akan semakin banyak yang kita dapatkan. Sudah cukup lama saya tenggelam di dalam zona nyaman, menghindar dari hal-hal yang sulit dan menganggap hal yang saya hadapi sehari-sehari sudah cukup sebagai "kesulitan" yang harus dijalani.
Here's to a more life experiment forward. Satu hari memang hanya ada dua puluh empat jam, tapi semua orang juga hidup dengan dua puluh empat jam. Saya ingin kembali meninggalkan jejak. Kembali menggambar, terutama: hal yang saya tinggalkan karena takut berkreasi, takut karena saya merasa tidak sanggup.
(Who are you now? Awal tahun ini saya menemukan diri saya bertanya berkali-kali. Akhir tahun ini, semoga dapat sedikit terjawab.)
Welcoming 2018
Senin, Januari 01, 2018
from Rookiemag. |
Tujuan utama tahun ini tentu saja: Sehat pikiran dan badan. Tahun kemarin tidak dapat saya simpulkan dengan jelas, saking banyaknya terbawa arus. Yang jelas, rasanya kok saya lebih stres dibanding tahun sebelumnya, padahal situasi sepertinya lebih baik dibandingkan 2016. Tebakan saya, ya, karena saya lebih sering mengikuti arus dan stres bertambah karena kehilangan kontrol atas diri sendiri.
Sehat pikiran dan badan itu, capaiannya, terbagi dari beberapa hal:
Membaca Lebih Banyak Buku
Ini termasuk dalam sehat pikiran, tentu saja. Bagaimana bisa saya buka Twitter sepuluh jam seminggu (akumulatif), sedangkan membaca satu buku sebulan saja sangat sulit? Menilik tahun-tahun kemarin, resolusi klasik ini kebanyakan bertahan sampai bulan April saja, digantikan dengan endless scrolling Instagram dan Twitter.
Tahun ini saya dan teman-teman saya di linimasa Twitter membuat semacam book club, alias update status bacaan ramai-ramai via Twitter. Lumayan, karena bersama-sama dan menggunakan sosial media, jadinya terpacu juga untuk membaca. to kick it off, hari pertama 2018 saya habiskan dengan membaca seratus halaman. Semoga bertahan.
Berkarya dengan Tangan dan Kepala
Ini sehat pikiran, tentu. Utamanya: menggambar. Sudah hampir setahun sejak saya terakhir menggambar di kertas dengan benar tanpa anxiety merayapi jari. Mungkin ini lebay, tapi setiap kali saya mulai membuat sketsa detail (bukan sketsa kasar) saya jadi khawatir sekali, kesulitan, lalu menghindar. Ada beberapa proyek yang tertunda dan sungguh, saya sangat menyesal. Ini berbeda dengan menggambar digital, sketsa-sketsa yang biasa saya kerjakan untuk keperluan kantor. Tapi ilustrasi yang dulu biasa saya kerjakan. Tahun ini harus mulai lagi.
Kemudian: menulis, tentu saja. Sama seperti menggambar, kegiatan jurnal saya berhenti sejak sekitar bulan Juni 2017, dan sejak itu pula saya merasa lebih mudah stres dan banyak pikiran yang tidak terurai. Padahal tahu untuk memulainya memang harus menulis lagi, tapi susah sekali, malah pindah ke sosial media sebagai gantinya. Sekarang waktunya mengalihkan cuitan pendek-pendek di twitter pribadi itu ke dalam blog post agar lebih bisa dibaca dan didokumentasikan.
- Menulis jurnal harian. Berarti setiap hari.
- Menulis blog. Dua minggu sekali.
- Menggambar sketsa sampai bisa maju ke ilustrasi yang sebenarnya. Ini mungkin akan saya biasakan pelan-pelan.
Ethical Consumption
Ini berlaku baik untuk hal yang dibeli, hal yang dimakan, dibaca… intinya apa-apa yang dikonsumsi diri sendiri. Untuk makanan saja: tingkat kolesterol saya termasuk tinggi lantaran tidak menjaga makanan yang masuk ke tubuh. Pencernaan juga buruk karena saya jarang minum. Untuk ini, sasarannya:
- Minimal makan buah dua hari sekali. (Iya, sejarang itu saya makan buah)
- Minum air, minimal 1.5 liter sehari. Sudah tercapai, tapi kadang-kadang lupa.
- Mengurangi toleransi terhadap garam dan msg. Lidah saya lama-lama bisa mati rasa nih kalau dikasih makan seblak terus.
- Makan mie instan satu minggu satu kali saja. (aduh ini susah aduh)
- Membaca feedly/buku/materi coursera di waktu commuting, mumpung perjalanan rumah-kantor mencapai dua jam.
- Mencoba tiga puluh hari tanpa mengintip linimasa. Sejauh ini baru tahan maksimal empat belas hari, nih. :)
Fokus dan Bersyukur
Saat menulis blog post ini, saya terdistraksi berkali-kali dan menyelesaikannya dalam waktu lebih panjang dari yang seharusnya. Sebelumnya, memulai juga belum, tapi saya lebih suka beralih pada hal lain yang lebih mudah: scrolling sosial media atau mengobrol. Setelah itu, saya lebih sering kecewa pada diri sendiri.
Intinya, tahun ini, saya ingin lebih banyak membuat daripada mengonsumsi sesuatu. Tahun 2017 cukup mengecewakan karena saya nyaris tidak meninggalkan jejak dalam bentuk tulisan. Kali ini saya mau berusaha lebih keras dan bersyukur lebih banyak untuk pencapaian yang saya dapat.
Semoga tahun 2018 ini berjalan lancar, dan tentunya, berbuah diri sendiri yang lebih baik.
Langganan:
Postingan (Atom)