Happy Ied Mubarak!

Dua bulan kemarin saya absen ngeblog. Faktor utamanya adalah pekerjaan yang memang membutuhkan konsentrasi penuh. Setelah pekerjaan itu beres, saya terkena penyakit rutin: malas. Momen pasca Idul Fitri ini menjadi momen saya mulai menulis lagi. Semoga saja bisa bertahan terus.

Ketika tulisan ini terbit, maka saya - dan mungkin juga yang membaca tulisan ini - sudah kembali ke rutinitas masing-masing: pekerjaan dan kesibukan sehari-hari. Yang tersisa tinggal pekerjaan yang belum selesai, dan menurut mitos sih, bokek. 

Idul fitri memang seringkali jadi tersangka perut lebar plus dompet kurus. Berkumpul dengan keluarga dan suasana pesta berperan membuat kita lupa kalau masih ada kehidupan setelah lebaran, haha. Pengeluaran saya sendiri juga terhitung lebih besar dari biasanya. Tapi alhamdulillah, tidak sampai jebol.

Lebaran yang jatuh di pertengahan tahun juga memberikan saya waktu untuk berkontemplasi - khususnya soal finansial. Saya memang terbilang cukup ketat soal finansial - biarpun bukan berarti saya super-hemat. Malah saya termasuk boros. Karena itulah, saya mengevaluasi kembali tujuan dan pencapaian finansial saya tahun ini.


MENENTUKAN TUJUAN KONKRET


Tahun ini, saya ingin lebih hemat dan konkret. Kalau tahun kemarin saya tidak punya patokan khusus: Pokoknya simpan uang sekian rupiah di rekening yang sama. Hasilnya saya malah jadi tidak disiplin -- karena tujuannya tidak tegas dan konkret, saya merasa uang yang disimpan tidak harus penuh dan masih bisa dipakai untuk keperluan yang lain.

Sebenarnya, sampai beberapa bulan lalu, tujuan saya juga belum jelas: hanya berwujud "lebih hemat dari hari-hari kemarin". Setelah membaca beberapa artikel, saya memutuskan untuk melengkapinya. Secara garis besar, tujuan saya menabung adalah untuk menyimpan dana cadangan baik darurat maupun hari tua.



BERKACA DARI ORANGTUA

Memiliki orangtua satu-satunya yang bekerja dalam sektor informal membuat saya sangat perhatian mengenai hal ini. Ayah saya tidak punya pesangon maupun pensiun karena beliau berwiraswasta dalam skala kecil. Tanggungannya tidak hanya anak-anak namun juga usahanya.

Usaha harus terus berputar, dan kadang-kadang uang untuk keperluan pribadi jadi imbalannya. Melihat Ayah saya yang kondisinya sudah tidak fit seperti dulu dan anak-anaknya yang masih kecil, saya selalu berpikir: seharusnya tidak seperti ini.

Dulu, almarhumah Ibu saya yang memiliki penghasilan tetap kantor. Pun, karena ditanggung berdua (baik keuangan maupun merawat keluarga), Ayah saya bisa mengelola usahanya lebih baik. Namun kita tak tahu ke mana roda nasib berputar, bukan? Siapa yang tahu kalau nantinya Ayah saya bakal jadi orangtua tunggal dan dana simpanan berakhir untuk biaya operasi dan kemoterapi Ibu.

Hal-hal lain setelah itu juga berkontribusi pada situasi finansial yang rapuh. Dan gawatnya, keluarga kami tidak memiliki dana darurat. Seringkali Ayah kelimpungan untuk menutupi biaya sehari-hari, seperti untuk makan dan sekolah. hal itu terjadi di tahun-tahun terakhir saya kuliah, membuat langkah saya sering terasa berat karena saya sendiri waktu itu masih mahasiswa yang belum berpenghasilan. 

Berkaca dari pengalaman tersebut, maka saya berjalan ke arah yang berlawanan dari tren pekerjaan bidang kreatif, bidang yang saya pelajari ketika kuliah. Saya memilih tidak menjadi freelancer atau wiraswasta dengan menjual karya, namun memilih pekerjaan entry-level di perusahaan dengan akar yang stabil (lembaga milik negara).

Yang penting bagi saya saat ini adalah keamanan. Memiliki sesuatu yang pasti setiap bulan membuat saya tidak perlu berpikir bagaimana cara mencari uang -- melainkan hanya bagaimana cara mengelola. Waktu yang tersisa bisa digunakan untuk melatih kemampuan di bidang lain dan mungkin mencari mata pencaharian yang lebih baik atau menjadi freelancer. Yes, I still want that.

Target utama saya saat ini adalah mempersiapkan pensiun serta dana darurat sedini mungkin, sambil tetap berusaha membantu orangtua dalam kebutuhan sehari-hari.

JENIS-JENIS PAYUNG UNTUK DISIMPAN


Kemarin, saya membuka dua rekening tabungan baru khusus untuk menabung. Maksudnya agar tidak bercampur dengan rekening biasa untuk operasional (dan membuat saya lupa akan tabungan saya dalam proses). Ada tiga hal yang menjadi fokus utama saya dalam perencanaan ini, namun karena satu dan lain hal, saya baru merealisasikan dua saja. Semoga akhir tahun ini semuanya sudah bisa terwujud.

Dana Darurat


Masih banyak orang yang menyepelekan kebutuhan dana darurat. Memang, godaan untuk tidak menyisakan dana darurat sangat besar--karena dana darurat tidak memiliki alasan dan tujuan selain untuk "kebutuhan darurat". Kelewat klise, tidak jelas, tidak juga terprediksi. Semua tampak baik-baik saja, jadi mengapa butuh dana darurat?

Tapi kemungkinan terburuk selalu ada. Entah sakit mendadak, perlengkapan rumah tangga yang rusak, atau biaya dadakan dari suatu tempat. Saat itulah dana darurat bisa jadi penyelamat. Idealnya dana darurat disediakan sejumlah 3-6 bulan biaya hidup sehari-hari. Untuk rekening dana darurat ini, saya membuat rekening TabunganKu - tabungan program negara yang bebas biaya administrasi. Karena mereka tidak menyediakan fasilitas ATM, membuat saya tidak akan tergoda menggunakan isinya. Tabungan ini membatasi jumlah transaksi maupun nominalnya. Karena itu, sampai ada hal yang memang benar-benar penting, saya tidak akan menggunakan uang yang di sini!

Tabungan Investasi


Kata orang, menabung saja tidak cukup bahkan bisa dibilang gagal. Ini karena adanya inflasi. Nilai uang di saat ini tidak akan sama dengan nilai uang 20 tahun yang akan datang. Sebagai contoh: Sewaktu saya SD, lima ratus rupiah sudah bisa membeli semangkuk bakso. Sekarang minimal kita butuh uang lima ribu-enam ribu rupiah. Karena itu, baiknya tabungan kita diputar lagi untuk sesuatu yang nilainya lebih tinggi, misalnya emas atau saham. Sampai saat ini, emas masih jadi salah satu benda yang tidak akan digerus inflasi. Pilihan lainnya yang lebih memiliki kemungkinan untung lebih besar, saham dan obligasi, membutuhkan lebih banyak pengetahuan.

Saya sebenarnya tertarik dengan tabungan emas dari Pegadaian. Tetapi setelah bertanya pada UPC di dekat rumah saya, prosesnya cukup merepotkan: tabungan hanya bisa dicetak di kantor cabang, yang jaraknya cukup jauh. Pilihan saya lainnya masih belum saya riset, seperti pembiayaan emas dari bank lain. Saya juga berminat pada investasi reksadana; tapi yang ini masih kurang pengetahuan. Karena itu, sambil berhemat, saya akan memperbanyak pengetahuan soal ini agar dapat memutuskan.

Dana Pensiun


Kalangan Pegawai Negeri Sipil memiliki uang pensiun yang didapatkan setelah mereka memasuki masa purnabakti. Kalau di perusahaan swasta, dana tersebut biasanya diberikan sekaligus di masa purna bakti (lump sum). Keduanya sama-sama mengambil sedikit gaji sepanjang masa kerja, yang kemudian diinvestasikan oleh perusahaan/lembaga pengelola.

Saat ini saya tidak mendapatkan kedua benefit tersebut. Lalu, bagaimana caranya kita mempersiapkan dana pensiun? Nah, sejak tahun 1994, pemerintah sudah menunjuk lembaga-lembaga keuangan untuk memfasilitasi kalangan swasta/informal yang ingin mempersiapkan dana pensiun. Lembaga ini disebut lembaga DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan). Tidak ada batasan tentang siapa yang boleh memiliki rekening ini: selama cukup umur dan sanggup menabung rutin, maka diperbolehkan. Hal ini memungkinkan orang-orang yang bukan karyawan pun dapat menyiapkan dana pensiun sendiri. Nantinya, setelah masa pensiun, kita dapat mengambil 20% hasilnya, sementara 80% lain dapat diambil setiap bulan.

Karena saya adalah nasabah Bank BNI '46, maka saya berniat membuka rekening DPLK dari BNI. Tetapi karena syarat-syarat administrasinya belum terpenuhi, sementara saya siapkan saja dulu. Menurut riset, semakin muda kita mempersiapkan dana pensiun, maka investasi yang kita butuhkan juga semakin kecil lho. Memang saya nggak tahu sampai mana umur saya, tapi nggak ada salahnya bersiap-siap.

Karena uang tidak membeli segalanya, namun segalanya butuh uang.


Itu patokan saya dalam memikirkan tabungan di atas. Kadang-kadang saya merasa I think about money too much. But I guess I can't help it for now; saat ini itulah fokus saya. Karena melihat keadaan sekeliling, karena saya juga ingin memudahkan orang-orang yang ada di sekitar saya; keluarga. Paling tidak, jangan sampai saya juga menyusahkan mereka.

Keamanan finansial bagi saya adalah fondasi untuk ketenangan. Bila saya merasa aman--memiliki atap, uang untuk makanan, dan orang-orang di sekitar saya sehat, saya dapat fokus untuk hal lainnya, seperti meningkatkan kualitas diri dan belajar. Karena sangat sulit belajar ketika kita tahu orangtua belum memiliki biaya untuk membayar biaya pendidikan. Karena sulit berkonsentrasi ketika kita tahu keluarga kita sakit--dan kita tidak punya cukup biaya.

Langkah ini kecil, tapi bisa menjadi sebuah awal.