The Start of the Weekend Book Club
Jumat, Februari 26, 2016
featuring Minimalist Bookshelf by Chan Hwee Chong.
Tahun ini, selain menulis, saya juga menargetkan untuk membaca lebih banyak buku. Saya nggak sadar entah sejak kapan--mungkin sejak kuliah--saya jadi lebih jarang membaca buku. Tidak bisa dipungkiri juga sih, sejak adanya internet, otomatis kita jadi lebih jarang mencari buku di perpustakaan, dan lebih senang mencari yang dibutuhkan via google. Selain jurnal ilmiah dan buku untuk sumber tugas akhir, buku yang dibaca dalam setahun bisa dihitung dengan jari.
Memang kalau tidak diperhatikan tidak akan kentara, karena setiap hari manusia terus-menerus dibombardir oleh bacaan. Hanya saja, 'bacaan' itu belum tentu menambah pengetahuan atau memberi sesuatu yang sama seperti membaca buku. Daripada membaca buku, sekarang saya lebih sering membaca chat yang masuk, e-mail, atau update status. Yang lainnya adalah artikel blog atau berita. Memang secara kuantitas, mereka juga membaca, namun secara kualitas tentu jauh sekali.
Karena itu, tahun 2016 ini saya bertekad untuk membaca. Tidak pasang target muluk-muluk, satu bulan satu buku saja cukup (iya, sampai separah itu saya jarang membaca). Buku fiksi boleh, nonfiksi juga boleh. Bagi saya, berlatih membaca lagi itu penting karena:
Money Game: Six Financial Lessons I Learned Through the Years
Jumat, Februari 05, 2016
a digital collage by me because using pantone 2016 colors is cool. (not sarcasm.) |
Seperti biasa, setiap pagi sebelum mulai bekerja saya selalu menyempatkan diri membaca berbagai macam artikel. Saat sedang mengubek-ubek tentang personal finance, saya menemukan artikel mengenai money lessons dari Forbes. Di situ dikatakan pentingnya memperkenalkan uang sejak dini.
Saya tumbuh besar di dalam keluarga yang bisa dibilang memanjakan. Mungkin karena saya anak pertama, dan orangtua juga berkecukupan, plus mindset orangtua — saya belajar untuk tidak memikirkan uang sejak kecil. Orangtua mengajarkan saya untuk tidak pernah memikirkan dari mana uang datang dan nilai uang. Saya bahkan tidak tahu membeli sesuatu harus memakai uang sampai saya kelas 1 SD. Biarpun orangtua saya tidak termasuk boros, hal ini membuat saya tidak mengenal uang dengan baik.
Masuk usia remaja, baru mata saya dibukakan soal uang. Pada masa itu, Ibu saya mulai sakit dan pengeluarannya cukup besar. Ayah juga mengalami penurunan penghasilan yang cukup signifikan. Puncaknya adalah sewaktu Ibu meninggal dan membuat monthly income praktis hanya digawangi Ayah saya sendiri saja. Saya mulai menyadari kalau untuk mendapatkan sesuatu tidak semudah dulu, dan saya tidak bisa menuntut kebutuhan finansial saya dengan gampang. Berbagai hal yang saya alami serta cara hidup orang di sekitar saya — seperti teman-teman keluarga — helped me shaping my current perspective about money and financial. Ada pelajaran yang saya ambil dari cara orangtua dan keluarga dalam menghadapi uang; baik dari yang mereka lakukan, maupun tidak mereka lakukan.
Three Simple Sentences for New Year
Selasa, Februari 02, 2016
Saya tahu ini sudah bulan Februari. Sudah tidak musim menuliskan resolusi; bulan Februari adalah waktunya kita mulai merasa gagal dalam menjalankan resolusi masing-masing. Hahaha! Sinis amat bunyinya, tapi memang kenyataannya, kebanyakan menyatakan bahwa kebanyakan resolusi runtuh mencapai 81-92 persen.
Well, are you one of them? Semoga saja enggak. Soalnya saya termasuk yang begitu.
Iya, biarpun pada dasarnya saya nggak merayakan tahun baru, juga bukan fans membuat resolusi tahunan (in fact, saya berulang membuat komitmen pada diri sendiri beberapa kali setahun), tetap saja saya juga suka gatel membuat di akhir tahun. Saya membuat daftar panjang apa-apa yang harus saya perbaiki. Tapi seperti biasa, saya juga akan gagal. Tepatnya sering lupa karena ada begitu banyak yang saya lakukan. Karena itu, saya mencoba metode angka tiga tahun ini.
Apa maksudnya dengan angka tiga?
Ini sebenarnya diangkat dari cara mengatur waktu dengan time and task management, bukan resolusi tahun baru. Tapi saya pikir, hal ini juga dapat diaplikasikan dalam berbagai hal. Menurut artikel yang saya baca di Zen Habits, tiga adalah angka ideal untuk memulai sesuatu. Tidak terlalu banyak hingga kesannya tidak memberatkan, tapi juga tidak terlalu sedikit hingga membuat kita menyepelekannya. Setiap hari, idealnya, kita mengambil tiga tugas utama yang harus kita kerjakan setiap harinya. Fokus pada tiga tugas tersebut, kerjakan paling utama. Setelah selesai, maka lanjutkan dengan tugas lainnya. Terdengar mudah, bukan? Hal ini membantu kita fokus pada hal yang memang diprioritaskan, sekaligus menciptakan clarity--kejelasan pikiran--dalam menjalani tugas-tugas kita.
Maka, tahun ini, saya juga membatasi resolusi sejumlah tiga saja. Tiga kata sederhana yang memang kalau dipecah akan jadi lebih panjang. Tapi tiga kata ini membantu saya menyederhanakan mengenai ingatan apa saja yang menjadi fokus saya untuk tahun ini.
Langganan:
Postingan (Atom)