September Curated Readings
Rabu, September 28, 2016
by Vaso Michailidou.
Bulan September buat saya selalu jadi bulan yang cepet banget lewatnya. Nggak tahu kenapa. Bulan Agustus selalu jadi puncak lelah, lalu pelan-pelan menyesuaikan diri di September dan setelah itu akhir tahun akan berlalu tanpa terasa.
Sejak bulan Agustus, banyak kegiatan di tempat kerja saya yang membuat ritme sehari-hari jadi rusak. Bahasa kerennya: jadi males-malesan, hahaha. Alhamdulillah kerjaan sampai sekarang masih lancar. Berhubung project yang ada di tangan sekarang makin padat, mudah-mudahan saya dikasih kekuatan buat beresin semuanya. Temen-temen juga ya, semoga diberi kekuatan di bahu untuk menyelesaikan pekerjaan dan persoalan masing-masing.
So, here are some notable links I found this month for you...
Saran kesekian di artikel ini cukup nampol buat saya yang mood dietnya timbul tenggelam. Entah sejak kapan, kaum perempuan sering terobsesi sama angka. Termasuk saya juga. Pada dasarnya kan, fashion style yang bagus adalah yang mendukung penampilan pribadi secara keseluruhan--dan orang nggak akan liat tag ukuran berapa selama penampilan kita enak dilihat.
Waktu kecil, doa yang sering mampir buat kita adalah cepat besar, cepat dewasa. Sering juga berandai-andai bagaimana rasanya kalau sudah dewasa dan mandiri. Ketika sudah dewasa, yang ada kita malah kangen masa kecil dan ingin jadi anak kecil lagi. Jiwa anak-anak itu masih ada kok di dalam diri kita. Pertanyaannya: apa kita sudah mendengarkan dia dan benar-benar tahu apa yang dia mau?
dari cerita burned out kemarin nih. Masa-masa burned out memang suka bikin pikiran terbang kemana-mana, bawaannya males dan pengen ganti kerja, padahal kalau lagi suka ya kangen ngerjainnya (cieee gaya banget ya, kangen sama kerjaan). Kenyataannya, pekerjaan adalah bagian dari rutinitas yang nggak segampang itu diganti atau disudahi. Jadi, cara yang terbaik adalah bikin kita jatuh cinta lagi.
Orang yang berkecukupan atau bisa mencapai mimpi adalah mereka yang rajin, itu pasti. Namun, pernyataan 'orang yang tidak berhasil adalah orang yang malas' dapat dikaji kembali. Apakah mereka mendapatkan kemudahan yang sama seperti kita? Apakah mereka mendapatkan akses mudah untuk pendidikan dan kultur? Magdalene has a nice piece about Privilege and work hard.
Saya menemukan blog ini waktu sedang kalap pengen beli parfum (padahal bokek). Saya jarang beli parfum, but fragrance always fascinates me, so finding this blog has been a good read. Victoria Frolova yang berada di balik blog ini adalah profesional dalam bidang perfumery, dan caranya mendeskripsikan parfum sangat menarik untuk dibaca; menggabungkan seni, budaya, dan sensorik dalam setiap tulisannya.
Oktober sebentar lagi datang. Saya belum punya rencana spesifik sih, tapi pengen banget jalan-jalan berkunjung ke tempat teman, atau main ke tempat yang sedikit jauh.
How is your month going so far?
The Importance of Self-Care
Selasa, September 20, 2016
Setiap hari, saya berangkat pukul 5:30 pagi teng. Jam pulang kantor adalah 16:30, dan kalau nggak macet, saya bisa sampai rumah pukul 18:30. Kalau sial, bisa pukul 19:30 baru sampai. Meja makan kosong menyambut saya begitu masuk. Cek nasi, sudah tentu habis, karena memang saya yang tanggung jawab atas dapur. Cucian piring nambah karena ada orang yang makan. Ruang tengah berantakan. Harusnya saya masak nasi, tapi alih-alih itu, yang ada saya tiduran, malas mikir, diam sampai pukul sembilan malam.
Burned out, itu istilah populernya.
Belakangan ini saya baru sadar kalau saya sering mengabaikan diri sendiri. Alasan kesibukan dan keluarga bikin saya malas mikirin hal-hal semacam perawatan diri. Setiap hari kerja practically saya hanya numpang tidur di rumah. Begitu pulang sudah malas mikir, boro-boro mikirin gizi makanan yang dimakan atau apa yang harus dibersihkan.
Sadar-sadar seterikaan menumpuk selama dua minggu, berat badan tidak terkendali, dan jerawat bermunculan. Akibatnya saya jadi gampang marah, kesal karena tidak ada yang selesai--biarpun sebenarnya waktu saya habis untuk mengerjakan banyak hal. Setiap pulang ke rumah, kata-kata pertama yang saya katakan adalah "Capek banget!"
Sampai di suatu sesi curhat sama temen, dia komentar: "Kamu kok kayaknya susah melulu sih, Neng?"
Komentar dari teman saya itu lumayan nanjleb. Karena itu berarti saya terlalu banyak mengeluh. Bukannya saya nggak membolehkan diri ngeluh ya. Ngeluh itu sehat dan dibutuhkan, tapi kalau sampai teman kita juga notice.... hmmm... kayaknya ada yang harus dievaluasi.
from Bubble Gum by Arvida Bystrom
Self-care dan rutinitas
Ketika kesibukan datang, kita memang seringkali lupa dengan diri sendiri. Fokus kita lebih terpaku pada hal yang harus diselesaikan, mengejar deadline dan kebutuhan yang kayaknya datang silih berganti.
Kalau capek bawaannya cuma mikir dua: butuh cuti/liburan, atau butuh belanja, hahaha. Dua hal yang sebenarnya bisa dibilang cukup besar komitmennya: baik komitmen waktu maupun materi.
Nyatanya, kesibukan itu nggak kenal waktu cuti, nggak kenal pola hidup kita. Menunggu cuti atau belanja sampai jebol hanya akan membuat kita makin pusing karena tidak bisa selalu mengabulkan keinginan tersebut. Jadi, sebisa mungkin kita memang harus memasukkan me time ke dalam rutinitas sehari-hari, sesibuk apa pun itu.
Me time ini nggak perlu ribet, apalagi mahal.
from Palm Springs by Mayan Toledano
Simple ways to take care of yourself
Merencanakan liburan atau belanja sebagai retail therapy memang bentuk dari self-care. Tapi hal-hal di bawah ini juga merupakan beberapa bentuk self-care yang mudah dilakukan dan gampang juga dimasukkan ke kehidupan sehari-hari. Malah, memang sebaiknya dilakukan secara otomatis, sehingga kita nggak gampang terbawa kesibukan dan stres.
Saya sendiri juga masih sering lupa sih--kayaknya lebih gampang marah-marah dan bete seharian daripada berusaha ingat dan beradaptasi. Yah, sama-sama berusahalah, hehe.
Tidur cukup & teratur
Ini yang nggak boleh ketinggalan. Biarpun sibuk, sebisa mungkin tidur kita harus cukup: minimal 6 jam. Bahaya tidur tidak teratur juga banyak, dan tentu saja akibatnya bisa ke kegiatan kita sehari-hari.
Usahakan jam tidur dan jam bangun juga sama setiap harinya. Kalau bisa, lebih pagi. Jadi mengerjakan berbagai hal nggak akan terburu-buru, terutama untuk kita yang masuk kerja / kuliah pagi.
Do everything mindfully
What is mindfulness? Pada dasarnya, artinya adalah menyadari dengan benar-benar apa pun yang kita lakukan. Kegiatan sehari-hari yang jadi rutinitas biasanya kita lakukan secara autopilot, seperti mandi, makan, bahkan berjalan kaki. Pikiran kita pergi ke pekerjaan yang menunggu atau masalah yang ada hari itu, tanpa memperhatikan hal yang kita kerjakan.
Hal itu yang menyebabkan kita seringkali merasa kekurangan waktu. Dengan mempraktekkan Mindfulness, kita berkonsentrasi pada apa yang sedang kita lakukan. Nggak perlu mikirin apa pun. Kalau kita sedang makan, fokuskan pada makanan yang dimakan, suasana makan (sendiri, sama teman, atau keluarga), dan keberadaanmu di sana. Kalau sedang bekerja, kita aware dengan apa yang kita kerjakan dan manfaat dari pekerjaan tersebut.
Live at the present instead of worrying about the future. (I'm guilty for this, a lot.)
Be your own bestfriend
Kalau dengerin temen curhat, biasanya ngapain sih? Dengerin dia sampai selesai, lalu menemani dia, memberikan dia saran yang menurut kita paling baik. Kita ingin teman kita dapat yang terbaik--solusi yang membuat dia tetap nyaman, tapi juga membantu menyelesaikan masalahnya. Kita pengen bikin dia merasa lebih baik, karena kita sayang sama dia.
Sekarang, bagaimana kalau sahabat itu adalah kita sendiri? Apakah kita sudah mendengarkan tubuh dan pikiran kita? Lebih perhatian sama kebutuhan diri, tujuan dan mencarikan apa yang paling baik untuk kita sendiri adalah hal utama yang harus diperhatikan terus menerus.
Habiskan waktu sendiri
Maksudnya bukan berarti menyendiri nggak mau ngobrol sama orang. Soalnya, ketemu dan ngobrol sama temen juga menambah semangat dan mengurangi stres, hahaha. Berikan diri sendiri quality time di mana kita bisa mengerjakan apa pun yang kita mau sendiri tanpa gangguan.
Mungkin bisa fokus ke mengerjakan hobi, iseng spa sendiri di rumah, belanja dikit (asal nggak sampai budget bulanannya jebol, yaaak), atau coba-cobain make-up yang kemarin belum sempat diulik?
Saya sadar banget kemarin stres karena nggak menyediakan waktu untuk menulis atau membaca. Padahal menghabiskan waktu buat tidur-tiduran atau scroll social media juga sering. Makanya, sekarang saya berusaha menyediakan waktu untuk menulis biarpun sebentar. (Mudah-mudahan bloggingnya juga jadi lancar, haha).
Exercise
Karena olahraga bukan untuk yang ingin diet saja, tapi juga mengurangi stres. Buat yang kerjanya duduk melulu atau ngedeprok di studio melulu a la mahasiswa seni rupa kejar deadline
Anyway, kemarin saya semangat banget kan nyobain 7-minute workout. Sekarang saya udah coba metode lain sih, tapi yang pasti, berusaha olahraga biarpun sedikit.
from Russian Dacha by Masha Mel.
Self-care itu tidak egois
Pada dasarnya, self-care adalah bertanggung jawab sepenuhnya pada kesehatan fisik, emosi, intelektual, dan juga spiritual kita. Jadi tindakan self-care itu bukan egoisme--justru upaya pencegahan agar kita bisa selalu beraktivitas dengan maksimal dan tentunya tetap bahagia. Kalau kita tahu pasti ada hal baik yang bakal kita dapat--dengan cara memperhatikan diri sendiri--melakukan pekerjaan atau kewajiban-kewajiban lainnya juga nggak bakal terasa berat.
Seperti kata quote di atas: karena banyak yang harus kita perhatikan, memperhatikan diri sendiri lebih dulu adalah cara agar orang-orang di sekitar kita mendapatkan diri kita yang terbaik. Dan siapa lagi yang paling sayang diri kita, kalau bukan diri kita sendiri?
(Abis itu, silakan berbagi sayang sama orang lain. Kiw.)
read more:
45 simple self care practices for a healthy mind, body, and soul
Take care of you first
5 Self care practice every women needs to do today
The Day You Would Have been Fifty
Jumat, September 16, 2016
flower pattern by Maggie Humphrey.
Saya lebih sering ingat tanggal lahir Ibu--empat belas September--daripada hari ketika Ibu meninggal. Secara sadar, sebenarnya saya cenderung lebih memilih haul alias tanggal meninggal untuk diingat, karena pada umumnya itu yang dihitung. Berapa tahun setelah almarhum/ah meninggalkan. Tapi alam bawah sadar saya lebih suka ingat bulan September tanggal empat belas, mungkin karena saya lebih suka merayakan pertambahan usia daripada tahun-tahun setelah kehilangan.
Di keluarga yang menganggap ulang tahun sebagai momen numpang lewat, mengingat ulang tahun Ibu adalah hal yang istimewa. Tahun ini adalah tahun kesembilan. Suara yang dulu bisa didengar setiap hari sudah tidak begitu saya ingat, wajah yang tersisa tinggal kenangan yang bisa dilihat di layar atau di kertas cetakan. Wajah saya berubah, wajah Ibu tidak. Pengalaman saya bertambah, pengalaman Ibu tidak.
Kadang-kadang, ada rasa berdosa karena saya tidak bisa ingat Ibu secerlang yang dulu; karena saya semakin lama semakin merasa jauh dari beliau. Waktu Ibu berhenti di sembilan tahun yang lalu, dan saya tumbuh, bersama dengan adik-adik dan Ayah. Ibu ada di belakang, di bawah tanah, dan ada begitu banyak hal yang saya lewati tanpa beliau.
Saya masih ingin bercerita pada Ibu. Tentang keadaan saya dan adik-adik, tentang saya dan Ayah, tentang pekerjaan, dan rumah. Tentang percakapan yang hanya untuk Ibu dan anak perempuannya. Serta masih banyak lagi yang lainnya.
Banyak hal yang ingin disampaikan, tapi tak ada lagi yang bisa saya dengar dari beliau. Rasanya jadi tidak adil. But I guess that's my way to remember. Agar beliau selalu ada di sini, biarpun waktunya berhenti, agar saya senantiasa ingat dan dapat menyentuh beliau--dengan cara yang tak kasat mata.
Selamat ulang tahun ke-50, Ibu. I'll keep writing for you.
Tiny Day Out: One Eighty Coffee & Music
Selasa, September 13, 2016
Lokasi kafe ini dekat banget sama kantor. Jadinya saya iya-iya saja waktu teman kantor ngajak main ke sini. Sekalian makan siang, gitu. (Gaya bangeeet makan siangnya di kafe.... ini ceritanya awal bulan sih, jadi belum bokek, hahaha).
Dari SMA saya doyan main ke kafe. Bukan buat gaya-gayaan, tapi lebih suka suasananya aja. Plus, waktu SMA sampai kuliah saya memang doyan kopi. Nggak pro sampai hafal biji ini-itu sih, tapi seneng aja--jadi ya, ke kafe selain untuk suasana juga memang ada tujuan minum kopi. Saya betah duduk sendirian sambil ngemil atau corat-coret sesuatu di buku. Seandainya perpustakaan membolehkan kita makan minum di dalam, saya nggak bakal ke kafe deh, suwer.
Menabung Untuk Hari Hujan: Tujuan Menabung Saya Tahun Ini
Senin, Juli 25, 2016
Happy Ied Mubarak!
Dua bulan kemarin saya absen ngeblog. Faktor utamanya adalah pekerjaan yang memang membutuhkan konsentrasi penuh. Setelah pekerjaan itu beres, saya terkena penyakit rutin: malas. Momen pasca Idul Fitri ini menjadi momen saya mulai menulis lagi. Semoga saja bisa bertahan terus.
Ketika tulisan ini terbit, maka saya - dan mungkin juga yang membaca tulisan ini - sudah kembali ke rutinitas masing-masing: pekerjaan dan kesibukan sehari-hari. Yang tersisa tinggal pekerjaan yang belum selesai, dan menurut mitos sih, bokek.
Idul fitri memang seringkali jadi tersangka perut lebar plus dompet kurus. Berkumpul dengan keluarga dan suasana pesta berperan membuat kita lupa kalau masih ada kehidupan setelah lebaran, haha. Pengeluaran saya sendiri juga terhitung lebih besar dari biasanya. Tapi alhamdulillah, tidak sampai jebol.
Lebaran yang jatuh di pertengahan tahun juga memberikan saya waktu untuk berkontemplasi - khususnya soal finansial. Saya memang terbilang cukup ketat soal finansial - biarpun bukan berarti saya super-hemat. Malah saya termasuk boros. Karena itulah, saya mengevaluasi kembali tujuan dan pencapaian finansial saya tahun ini.
A Lazy Girl Guide to 7 Minute Workout
Selasa, April 12, 2016
Sudah berapa kali saya menulis di sini ya... I hate exercising.
Keluarga saya bukan keluarga yang atletis dan doyan olahraga. Jadi, sejak kecil saya juga tidak dibiasakan untuk berolahraga rutin. Menginjak sekolah dasar, saya selalu paling bontot dalam lomba lari. Padahal dalam pelajaran non-olahraga, saya kebalikannya. Pengalaman itu menjadikan olahraga sebagai kenangan buruk. Pokoknya saya tidak bisa olahraga, nggak usah, selesai.
Saya yakin bukan cuma saya saja yang berpikir begini. Alasannya bisa beda-beda, tapi bagi kebanyakan orang, berolahraga bukan hal yang mengasyikkan - time consuming, heavy duty, dan... nggak ngaruh juga sama badan. Lari seminggu tiga kali? Kerja saja sudah menghabiskan lebih dari separuh hari. Ke gym? Yaiks! Mana ada waktunya. Mahal pula.
Sekarang, bagaimana kalau ada yang bilang.... olahraga itu hanya butuh tujuh menit sehari?
Nah lho. Nggak ada lagi alasan.
Wallpaper | Act Like a Lady, Think Like a Boss
Selasa, April 05, 2016
It's April again!
Nggak ngerti juga apa yang saya kerjakan bulan Maret, tapi saya tidak bisa menyelesaikan satu pun buku dan film yang sudah ada di daftar saya. Kesibukan masih sama - but in another light, postingan blog bulan ini bisa dibilang banyak. I'm a bit behind my schedule, though.
Bulan April ini sama sekali nggak ada tanggal merah, jadinya harus makin pintar saja mengatur waktu kosong. Bulan ini, hal-hal yang akan menjadi fokus saya adalah:
1. Blogging! Seperti sudah ditulis di atas, I'm a bit behind my blogging schedule. Niatnya sih mau keren biar bisa pakai editorial calendar, tapi kemarin ketinggalan. Bulan ini, saya akan mencoba lebih teratur lagi dalam mengatur jadwal. Paling tidak, ada poin-poin agar saya tahu akan menulis apa setiap bulannya.
2. Personal Projects! Di luar pekerjaan sehari-hari sebagai desainer grafis in-house untuk sebuah institusi, saya jaraaang sekali mengerjakan proyek untuk diri sendiri. Bulan ini, setiap minggu, saya harus menggambar / mendesain sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.
3. Sport! Dagu saya.... jadi ada dua. Bahaya. Nggak sadar juga, karena jadwal makan saya nggak ada perubahan. Tetapi sepertinya ngemil saya nambah, berhubung penghuni ruangan saya adalah gudang cemilan. Memang sih saya sejak dulu tidak terbiasa olahraga. I hate exercises! Tapi karena tubuh kita selalu perlu, maka bulan ini saya akan berjuang untuk melakukan olahraga rutin. Yang kecil-kecil saja, sedikit-sedikit.
Saya membuat wallpaper ini sebagai pengisi wallpaper komputer saya untuk bulan April. Sebenarnya arti kata-kata di atas bisa beragam, ya. Akhir-akhir ini saya sedang terlibat kegiatan sebagai penanggung jawab. Mengatur waktu itu sulit, mengatur letak barang itu sulit, tapi mengatur emosi ketika sedang bekerja sama adalah yang paling sulit. Kata-kata itu adalah pengingat agar selalu dapat menjaga sabar.
Then it's my plan for this month. Semoga bulan ini juga berjalan lancar dan baik seperti bulan kemarin. How about you?
Wallpaper - Act Like a Lady, Think Like a Boss // DOWNLOAD HERE
How to download: Tautan di atas akan membawa kalian ke halaman deviantart. Klik tombol 'download' dan sebuah jendela baru akan muncul, menampilkan gambar dengan resolusi tinggi. Klik kanan, simpan, dan set untuk wallpaper komputer atau ponsel. for personal use only.
Weekend Book Club: Focus, by Leo Babauta
Jumat, April 01, 2016
not the actual published cover. |
Di dalam post ini, ada tautan buku gratis. Yep! Karena ebook yang saya baca kali ini gratis dan bebas disebarkan pada siapa saja. So click around.
Bulan Maret ini, saya gagal membaca buku dengan benar. Sering terdistraksi dan tidak fokus. Ironisnya, buku yang saya baca bulan ini judulnya "Focus". Sedih nggak sih? Jadinya sebal juga sama diri sendiri.
Tapi itu bukan karena bukunya jelek kok. Malah buku ini bagus, saya rekomendasikan buat siapa saja yang ingin meningkatkan kualitas hidup. Dengan syarat: Nggak cuma dibaca, tapi juga dipraktekkan (tentu dong). Tips-tips yang ada praktikal dan berkesinambungan, dan semua dibahas secara ekstensif. Actually, penyebab mengapa saya menunda-nunda buku ini... ya, karena salah saya sendiri.
So why would I recommend this book?
Featuring: Milk Makeup
Selasa, Maret 29, 2016
Make up, alias kosmetik, buat saya merepotkan. Kita cuma punya waktu dua puluh empat jam setiap harinya, dan sepuluh jam lebih dihabiskan untuk bekerja serta commuting.
Saya waktu SMA yang cuma dandan di hari libur sih nggak masalah. Tapi kalau tiap hari? Buat saya lebih baik menyediakan waktu untuk yang lain saja deh. Bukannya nggak mau dandan, tapi itu lho masalahnya. Repot!
Saya waktu SMA yang cuma dandan di hari libur sih nggak masalah. Tapi kalau tiap hari? Buat saya lebih baik menyediakan waktu untuk yang lain saja deh. Bukannya nggak mau dandan, tapi itu lho masalahnya. Repot!
Despite those facts, I like make-up. Every girl has their own way to be pretty, and we choose make up as one way to get it. Lipstik pertama saya miliki waktu SMP, dan ketika SMA, saya mulai belajar memilih warna lipstik mana yang nggak akan bikin wajah saya kayak monster. Saya juga mulai mengoleksi decorative make up, and soon I have a little shelf full of beauty products.
Lewat setahun-dua tahun, saya bosan. Yang membekas dari kosmetik bagi saya adalah: it's expensive, a lot of stuff has to be done, and time consuming.
Plus, memakai makeup itu 'berat' formulanya, rasanya berlapis, dan kulit saya yang mudah berjerawat jadi semakin sensitif. Maka saya pun berhenti memakai kosmetik lengkap. Kulit sehat menjadi fokus utama, plus lipstik, dan selesai sudah.
Sewaktu melihat info tentang Milk Makeup, pikiran saya soal "make up itu repot" semacam sirna.
A Lunch Date with Mom (That Would Have Been)
Jumat, Maret 25, 2016
Keluarga kami menaruh foto-foto Ibu sebagai memento di seluruh rumah. My father is particularly fond of this. Beliau termasuk tidak suka memajang foto di dinding - but when Mom passed away he pinned those photos into walls like crazy.
Kadang saya dan adik saya akan mengobrol dan salah satu dari kami akan membuat sebuah remark tentang Ibu, sambil melirik ganas pada foto itu seakan-akan orangnya bisa dengar. Kadang saya misuh-misuh sambil separuh curhat sambil melihat foto yang jauh tergantung di dinding. Yang sering kami lakukan adalah memprediksi atau membayangkan apa yang akan terjadi kalau sekarang Ibu masih hidup, dan sikapnya terhadap segala technology advancement - sambil menatap foto beliau tepat di mata, nonetheless. Menanti balasan hinaan dari beliau yang (untungnya? sayangnya?) nggak ada.
Ibu adalah seorang yang (sok) trendi dan selalu berusaha menyesuaikan suhu dengan anak-anaknya, jadi memikirkannya saja sudah. Ngomong-ngomong, saya sebenarnya selalu merasa Ibu licik: saya hanya bisa membayangkan Ibu saya dengan wajahnya terakhir kali, sementara saya sudah bertambah tua hampir sembilan tahun. Dying young was terrible but sure has some advantages.... no, I was just satirical. Sorry Mom.
Well, I'd love to have a lunchdate with Mom in a present day timeline (I still want to be alive though).
Mengatur Keuangan Pribadi dengan Monefy
Selasa, Maret 22, 2016
Sering merasa sudah kehabisan uang, padahal masih tengah bulan?
(Ayo bilang sering dong, biar saya ada teman).
Mengatur keuangan memang tricky. Tanpa pengelolaan yang baik, gaji yang jumlahnya tampak banyak di awal bulan pun bisa habis tak tersisa. Sebaliknya, kalau pengelolaannya bagus, sebesar apa pun pendapatannya bisa dimaksimalkan.
Ini bukan soal pendapatan. Kak Alodita - Lifestyle blogger yang sudah well-known pun, membahas soal ini di blognya beberapa waktu lalu.
Saya sering banget ngerasa sejahtera di awal bulan, lalu jadi super menderita di akhir bulan. Sampai bingung sendiri kenapa, padahal perasaan sih sudah diamankan. Nyatanya kalau dana habis ya habis saja.
And it's no magic trick. Solusi utamanya adalah mencatat pemasukan dan pengeluaran dengan rinci secara rutin. Jadi kita bisa tahu ke mana larinya uang kita dan kondisi keuangan dengan keseluruhan.
Biarpun kita sudah tahu manfaatnya mencatat jurnal keuangan secara rutin, tetap saja kita masih suka malas mencatat. Atau rutin mencatat untuk satu minggu, untuk kemudian dilupakan. (dan nangis lagi di akhir bulan).
Enter monefy, a simple money management software available on android.
Weekend Book Club: Yasunari Kawabata
Jumat, Maret 18, 2016
not the actual published cover. |
Beberapa waktu lalu saya sudah janji pada diri sendiri untuk membaca buku lebih banyak. Nah, dua judul buku di atas adalah dua buku yang saya baca bulan Februari kemarin. Memang sih, I kind of cheating karena membaca buku ini dalam bentuk ebook (bajakan). Habis, cetakan Indonesianya sudah lama. Selain itu, saya memang hanya ingin membaca yang bahasa Inggris karena faktor penerjemahnya: Khususnya Snow Country.
Siapa itu Yasunari Kawabata? Beliau adalah pemenang Nobel literatur pertama dari Jepang (tahun 1968). Karya-karyanya dikenal karena kelihaian prosa dan kepandaiannya meramu kata-kata. Saya 'berkenalan' dengan beliau lewat situs rekomendasi bacaan Goodreads. Dua novel yang saya baca merupakan judul yang disebut dalam penganugerahan nobel tersebut.
"for his narrative mastery, which with great sensibility expresses the essence of the Japanese mind....."
Ngomong-ngomong, kedua novel ini pendek, hanya berkisar 200-an halaman. Maka dari itu juga saya senang membacanya. (wink wink). So without further ado, here's my kind of (super) short review.
Minimalism: A state of mind about Less is More
Selasa, Maret 15, 2016
Apa yang terbayang di kepala ketika mendengar atau membaca kata Minimalism?
Warna serba putih dan ruangan kosong? Traveling keliling dunia dengan satu tas ransel?
Buat kita yang bekerja kantoran atau memiliki komitmen keluarga, will sneers at this.
We heard "minimalism" word a lot these days. These past years minimalism and slow movement exploded like crazy, especially in USA. Majalah Kinfolk adalah salah satu majalah yang mengapresiasi dua konsep tersebut secara penuh.
Well, untuk kasus ekstrem, memang bisa saja begitu - seperti orang yang hanya memiliki 15 barang ini.
Secara singkat, minimalisme berarti hidup dengan sederhana - mengurangi barang-barang atau sesuatu yang membuat kita tidak bisa menikmati hidup dengan maksimal. Dengan mengeliminasi yang tidak perlu, maka kita bisa berfokus pada hal lain yang lebih penting.
Hal yang bisa dieliminasi ini bisa berupa apa saja: barang yang dimiliki, keinginan membeli, proyek, sampai komitmen untuk suatu kegiatan.
Sekilas memang seperti mengorbankan kesenangan hidup. Kalau begitu, mengapa gaya hidup ini menjadi begitu populer?
Some Tiny Reasons to Choose Public Transport
Jumat, Maret 11, 2016
Tinggal di Bandung membuat saya tidak bisa menggunakan MRT seperti teman-teman di jabodetabek sana. Simply speaking, Bandung lebih kecil dan sejak dulu sarana transportasi umum yang tersedia hanyalah angkot dan bus.
Sehari-hari, saya menggunakan angkot. Perjalanan bisa mencapai dua jam terutama kalau sedang waktu macet. Kalau tidak macet, setidaknya bisa berkurang jadi satu jam.
Terlepas dari ongkos yang masih relatif mahal dan regulasi yang nggak jelas, ditambah sopir ugal-ugalan, saya masih mengandalkan transportasi publik. Ada beberapa keuntungan yang membuat saya lebih memilih angkot dan transportasi publik lainnya daripada pindah ke geng motor:
The Start of the Weekend Book Club
Jumat, Februari 26, 2016
featuring Minimalist Bookshelf by Chan Hwee Chong.
Tahun ini, selain menulis, saya juga menargetkan untuk membaca lebih banyak buku. Saya nggak sadar entah sejak kapan--mungkin sejak kuliah--saya jadi lebih jarang membaca buku. Tidak bisa dipungkiri juga sih, sejak adanya internet, otomatis kita jadi lebih jarang mencari buku di perpustakaan, dan lebih senang mencari yang dibutuhkan via google. Selain jurnal ilmiah dan buku untuk sumber tugas akhir, buku yang dibaca dalam setahun bisa dihitung dengan jari.
Memang kalau tidak diperhatikan tidak akan kentara, karena setiap hari manusia terus-menerus dibombardir oleh bacaan. Hanya saja, 'bacaan' itu belum tentu menambah pengetahuan atau memberi sesuatu yang sama seperti membaca buku. Daripada membaca buku, sekarang saya lebih sering membaca chat yang masuk, e-mail, atau update status. Yang lainnya adalah artikel blog atau berita. Memang secara kuantitas, mereka juga membaca, namun secara kualitas tentu jauh sekali.
Karena itu, tahun 2016 ini saya bertekad untuk membaca. Tidak pasang target muluk-muluk, satu bulan satu buku saja cukup (iya, sampai separah itu saya jarang membaca). Buku fiksi boleh, nonfiksi juga boleh. Bagi saya, berlatih membaca lagi itu penting karena:
Money Game: Six Financial Lessons I Learned Through the Years
Jumat, Februari 05, 2016
a digital collage by me because using pantone 2016 colors is cool. (not sarcasm.) |
Seperti biasa, setiap pagi sebelum mulai bekerja saya selalu menyempatkan diri membaca berbagai macam artikel. Saat sedang mengubek-ubek tentang personal finance, saya menemukan artikel mengenai money lessons dari Forbes. Di situ dikatakan pentingnya memperkenalkan uang sejak dini.
Saya tumbuh besar di dalam keluarga yang bisa dibilang memanjakan. Mungkin karena saya anak pertama, dan orangtua juga berkecukupan, plus mindset orangtua — saya belajar untuk tidak memikirkan uang sejak kecil. Orangtua mengajarkan saya untuk tidak pernah memikirkan dari mana uang datang dan nilai uang. Saya bahkan tidak tahu membeli sesuatu harus memakai uang sampai saya kelas 1 SD. Biarpun orangtua saya tidak termasuk boros, hal ini membuat saya tidak mengenal uang dengan baik.
Masuk usia remaja, baru mata saya dibukakan soal uang. Pada masa itu, Ibu saya mulai sakit dan pengeluarannya cukup besar. Ayah juga mengalami penurunan penghasilan yang cukup signifikan. Puncaknya adalah sewaktu Ibu meninggal dan membuat monthly income praktis hanya digawangi Ayah saya sendiri saja. Saya mulai menyadari kalau untuk mendapatkan sesuatu tidak semudah dulu, dan saya tidak bisa menuntut kebutuhan finansial saya dengan gampang. Berbagai hal yang saya alami serta cara hidup orang di sekitar saya — seperti teman-teman keluarga — helped me shaping my current perspective about money and financial. Ada pelajaran yang saya ambil dari cara orangtua dan keluarga dalam menghadapi uang; baik dari yang mereka lakukan, maupun tidak mereka lakukan.
Three Simple Sentences for New Year
Selasa, Februari 02, 2016
Saya tahu ini sudah bulan Februari. Sudah tidak musim menuliskan resolusi; bulan Februari adalah waktunya kita mulai merasa gagal dalam menjalankan resolusi masing-masing. Hahaha! Sinis amat bunyinya, tapi memang kenyataannya, kebanyakan menyatakan bahwa kebanyakan resolusi runtuh mencapai 81-92 persen.
Well, are you one of them? Semoga saja enggak. Soalnya saya termasuk yang begitu.
Iya, biarpun pada dasarnya saya nggak merayakan tahun baru, juga bukan fans membuat resolusi tahunan (in fact, saya berulang membuat komitmen pada diri sendiri beberapa kali setahun), tetap saja saya juga suka gatel membuat di akhir tahun. Saya membuat daftar panjang apa-apa yang harus saya perbaiki. Tapi seperti biasa, saya juga akan gagal. Tepatnya sering lupa karena ada begitu banyak yang saya lakukan. Karena itu, saya mencoba metode angka tiga tahun ini.
Apa maksudnya dengan angka tiga?
Ini sebenarnya diangkat dari cara mengatur waktu dengan time and task management, bukan resolusi tahun baru. Tapi saya pikir, hal ini juga dapat diaplikasikan dalam berbagai hal. Menurut artikel yang saya baca di Zen Habits, tiga adalah angka ideal untuk memulai sesuatu. Tidak terlalu banyak hingga kesannya tidak memberatkan, tapi juga tidak terlalu sedikit hingga membuat kita menyepelekannya. Setiap hari, idealnya, kita mengambil tiga tugas utama yang harus kita kerjakan setiap harinya. Fokus pada tiga tugas tersebut, kerjakan paling utama. Setelah selesai, maka lanjutkan dengan tugas lainnya. Terdengar mudah, bukan? Hal ini membantu kita fokus pada hal yang memang diprioritaskan, sekaligus menciptakan clarity--kejelasan pikiran--dalam menjalani tugas-tugas kita.
Maka, tahun ini, saya juga membatasi resolusi sejumlah tiga saja. Tiga kata sederhana yang memang kalau dipecah akan jadi lebih panjang. Tapi tiga kata ini membantu saya menyederhanakan mengenai ingatan apa saja yang menjadi fokus saya untuk tahun ini.
On Being 24
Selasa, Januari 12, 2016
Greetings!
It's been almost one year since my last post here, and as usual, I keep being a lazy blogger. I have a private journal where I can rant and write basically everything I want to write, so... well, in my defense, I kind of writing. Kind of, because this space is my actual space where I can hone my writing skills. (Well Neng, better remember what do you want to be!).
Anyways, happy new year. I don't celebrate new year nor regard the day as a special day, but I follow other people -- writing resolutions and all. And because my birthday is in the end of the year, the beginning of the year is always a decent time to do some reflection and planning. That's actually one of the reason why I'm back to this blog. I'm thinking about deleting the contents, like those instagrammers and bloggers starting from clean slate -- and for me, especially, to delete those neglecting archives that embarrass me as a "blogger". But no, in the end, I will keep it as is, serves as a reminder how I need to be more diligent in writing.
Last birthday was my 24th birthday. I vaguely remembered what I thought about an adult me when I was 17 or younger, but basically, nothing changed much and nothing stays much. Last year I changed jobs albeit still in the same industry, went through some issues with boys, visiting some cities, attend friend's weddings, dealing with father's health issues and money matter.... in the end, I gained some experiences and life lessons.
Here are 24 things I am thankful about last year:
- I went to visit my friends in three different cities: Jakarta, Solo, Jogja.
- Five of my good friends were married and I was able to attend all of them! Isn't that great?
- I went through a kind of, well, ~heart~ issues? I'm sure I can laugh about it now.
- I bought my brother a new cellphone. It's a small thing but I felt good.
- Towards the end of the year, Dad's health condition got worse. I don't consider this as a good thing; but I am still being thankful that there are kind people who always there for me, for us.
- I learned to manage money and save more.
- My sister got accepted to the university and major she really wanted. Couldn't be more proud.
- Lost my job at the end of the year, but I get a new one. The workload is heavier and the paycheck is so-so, but the work environment is a lot better than before.
- My writing partner write me beautiful stories for our project throughout the year, despite the fact the plot ended early. I will write more!
- Last year I am getting so worried about life and future because it seems getting harder and I can't breathe. Thankfully I got many loving friends behind my back.
- I catched up a lot with old friends. I don't want to be left behind, I need to work harder.
- Despite some financial issues, I can still hang out and eat fancy meals.
- And travel to different cities, by train. I love trains.
- One of my favorite actor is so busy in the industry right now he got some dramas and movies under his belt.
- And my favorite kpop group, too. (hint hint f(x) )
- I watched a lot of movies I've never seen before, mostly recommended and I like most of them.
- My main family bond is still being stronger than ever. We got into fight but we never really hate each other.
- Despite the tight paycheck and lots of needs, I am able to support my own siblings and home budgets. Yay me? Adulting win? Not yet.
- I still get internet access! information! Education!
- My contract work extended into a full year. I can use this opportunity to hone my skills and juggling time management better.
- I have people to vent when I feel alone and mad for some strange reasons.
- My extended family was doing quite well, too.
- Dad used to be the most strict father ever. Nowadays I can stroll around or went to many places / going out late. <s>the privilege of being 24?</s>
- I got my supernova full set... simple things that makes you happy.
Because in the end, I am still 24. :)
Langganan:
Postingan (Atom)