Blogging: A Lost and Found Story
Akhir tahun 2021 adalah awal mula dari perubahan. Saya pindah ke rumah baru, pekerjaan mulai kembali penuh seiring dengan kegiatan offline yang semakin banyak. Lalu ngeblog tertimbun di antara semua itu. Saat ingin kembali, saya selalu bilang pada diri sendiri, tidak ada waktu. Ya, memang banyak hal yang saya coba sekaligus – sehingga akhirnya burn out.
What’s Lost?
Motivasi Kerja
Ada berbagai hal yang membuat motivasi kerja saya turun. Pokoknya, saya hanya fokus pada target hari itu. Yang penting selesai, yang penting selesai. Secukupnya menjadi sebuah motto, dan mengerjakan pekerjaan sehari-hari pun jadi terasa sulit. Tapi sebenarnya yang saya perlukan lebih dari itu–sesuatu yang akan saya eksplor berikutnya.
Waktu Bebas
Hal yang tidak saya perhitungkan setelah kembali WFO–dan dari rumah baru–adalah ternyata dua hal tersebut menghabiskan tenaga lebih banyak. Transisi dari pandemi ke “kehidupan biasa” ternyata memerlukan adaptasi yang lumayan. Waktu yang terasa lebih cepat habis berpengaruh pada mood dan kondisi mental. Selain lebih mudah lelah, kayaknya sumbu saya dan suami juga makin pendek. Melihat sosial media jadi sebuah distraksi, tapi di sisi lain, saya juga lelah melakukan interaksi. Padahal waktu itu saya lagi rutin ngepost.
Kesalahan saya waktu itu adalah memilih menjadi stagnan dengan hanya mengonsumsi (entah timeline, entah for your page). Lelahnya tetap sama, tapi tidak memproduksi apa-apa. Waktu itu ada beberapa rencana post yang dibuat, dan akhirnya ditunda sampai lamaaa banget. 🙁
COVID-19
Puncaknya, akhir tahun 2021, ketika semua orang kayaknya udah pernah kena COVID-19 minimal satu kali, saya dan suami kena COVID-19 untuk pertama kalinya. Kami sudah vaksin booster, tapi tetap saja repot. Satu minggu nggak bisa ngapa-ngapain; bahkan untuk ganti baju dan mengambil minum saja susah sekali. Payahnya, kami hanya berdua di rumah, dan dua-duanya sakit. Pokoknya bayangkan saja orang sakit … nggak ada yang beres. Rumah berantakan, makanan semua delivery (yang lumayan bikin bolong dompet), harus standby dengan segala makanan dan vitamin.
Sisi positifnya (ha!), saya dan suami diberikan kesempatan untuk “cuti” selama dua minggu. Ya, walaupun masih ada kejaran pekerjaan dan badan sakit semua, setidaknya ada quality time di mana kami nggak kemana-mana. Setelah recover dari COVID, saya kembali menyesuaikan kehidupan pelan-pelan. Mengejar pekerjaan lagi, menutup yang kemarin ditinggalkan, dan sebagainya.
The Lost Time
The Pause
Kalau nggak bisa mengerjakan, ya sudah, “pause” saja. Begitu pikiran saya waktu itu. Blogging dan sosial media ditinggalkan sekira sebulan. Kebetulan, at that time, saya sedang mencoba memulai kembali freelance graphic design dengan membuat produk. Salah satu produknya pernah di-order oleh Mbak Jane yang baikkk banget. Karena diseling bekerja dan kehidupan lainnya, progres berjalan lambat. Tapi saya mulai merasakan senangnya eksplor sesuatu di luar pekerjaan, yang waktu itu benar-benar bikin burn out.
Side Hustle
Pada awalnya saya beriklan di Instagram. Ternyata, sumber rezeki saya bukan di instagram, tapi twitter. Setelah mencoba memasang ads di instagram, saya mencoba mencari peruntungan lewat hashtag twitter. Dari produk papan ulang tahun bayi, saya bergeser ke produk undangan ulang tahun. Dari undangan ulang tahun, ternyata ada yang order desain untuk hal-hal lain, seperti hadiah untuk pacar, sahabat, teman yang baru melahirkan, juga untuk organisasi kampus.
Karena satu dan lain hal, saya nggak bisa share akun Twitter saya di sini (namely karena saya menggunakan akun anon waktu itu, dan akunnya sekarang udah ngga ada haha). It was a fun time dan saya banyak dapat pelajaran tentang skill graphic design di niche lain, sistem kerja, tren, dan cara promosi.
Saat ini akunnya sudah saya tutup dan deaktivasi, karena alasan yang akan saya beberkan berikutnya. Tapi berikut ini adalah beberapa produk yang pernah saya buat. Fun times!
Work on Relationship
Side hustle memberikan saya variasi untuk pekerjaan yang monoton. Tetapi namanya juga kerja tambahan; meskipun sampingan, tetap ada tanggung jawab yang harus diselesaikan. Kadang saya begadang untuk menyelesaikan pekerjaan, kadang juga mendadak harus revisian pas pulang kantor. Hari libur pun kadang dihabiskan menyelesaikan pekerjaan sampingan. Ketika bertumbuk dengan pekerjaan kantor yang memuncak, saya pun jadi puyeng.
Suami menyatakan ketidaksetujuannya saat saya mulai lupa waktu. Untuk apa mencari pekerjaan sampingan, kalau akhirnya yang lain jadi terbengkalai? Selain problem penyesuaian tempat tinggal baru yang sebelumnya, hal ini sebenarnya malah jadi menambah baru. Tambahan uangnya tidak seberapa, tapi saya malah jadi sering bertengkar dengan suami karena saya terlalu sibuk bekerja (utama dan sampingan).
Abang juga mengingatkan bahwa tujuan saya di side hustle ini adalah “refresh” dari pekerjaan. Bukan untuk dijadikan kewajiban yang malah menjadi sumber stres. Setuju dengan pendapat beliau (meskipun tentu saja saya keras kepala dulu), akhirnya saya menghentikan side hustle tersebut huhu. Awalnya sedih sih, tapi saya yakin itu yang terbaik. Waktu luang pun bisa saya klaim lagi untuk membaca buku, manga, dan menonton film.
We also work a lot on our relationship. 2022 was a rollercoaster year for us but we survived that and we hope for a better future. Perlahan, saya pun bisa adaptasi dengan kehidupan sehari-hari yang sudah kembali ke masa pra pandemi.
Lalu…. Saya menyadari kalau saya kangen, kangen banget nulis.
What’s Found
I love writing
Saya mencoba bereksplorasi dengan media lain. Namely, vlog. Meskipun ponsel saya masih jadul dan kameranya terbatas, saya mencoba membuat video pendek untuk mencari pengalamannya dulu. Eksplor video menyenangkan, tapi dasarnya tetap harus dari menulis. Terutama untuk tipe planner seperti saya. Menulis draft video bikin saya kangen nulis. Tapi menulis blog tidak terpikirkan di kepala saya.
Saya merasa menulis blog masih merupakan “proyek” yang terlalu besar. Riset topik, menulis, mengedit foto, memposting, memantau interaksi masih merupakan hal yang menurut saya menghabiskan waktu. Saya juga merasa tulisan saya tidak layak–sebuah ironi yang membuat saya nggak berani menulis sama sekali. Penyakit lama, yang kalau kumat, benar-benar bikin sebel.
Saya suka nulis. Tapi nggak mau nulis blog. Saya juga nggak mau nulis fiksi. Alternatifnya?
I want to be free
Menjelang akhir tahun 2022, saya mulai tinkering around with options. Blog yang lama terasa “tidak cukup” bagi saya. Terlalu butuh polished posts (pikiran perfeksionis yang munculnya juga dari diri sendiri), terlalu membatasi. Saya membuat website sendiri yang di-craft dari Notion. Awalnya hanya untuk menggantikan sosial media (yang berusaha saya kurangi).
Also, I think I outgrew the tinydolce.com domain name. Tinydolce dibuat sewaktu usia saya masih di awal 20-an, menggunakan semangat berbeda dengan approach yang ingin saya lakukan sekarang. Saya masih suka hal yang kecil dan manis-manis (ha ha), tapi saya ingin satu zona untuk refresh. Setelah rehat lebih dari setahun, rasanya nama itu tidak terlalu “saya” lagi.
Setelah beberapa bulan mengotak-atik situs kecil itu secara pribadi dan menemukan apa yang saya suka, saya men-draftrancangan website baru untuk domain baru. Saya menulis lagi, sedikit-sedikit, update sporadis yang setengah matang. Tulisan-tulisan setengah matang itu bisa dijumpai di website baru, dengan versi sedikit polished.
I got a new responsibility
Sebuah tambahan kecil: “Jalan” terbuka pada awal tahun 2023. Saya diamanahi tanggung jawab baru di kantor. Masih satu instansi, tapi beda unit yang berarti beda kantor. Dari unit dengan 80 karyawan, kini unit saya hanya berisi 15 orang. Dari staf yang mengerjakan segala macam, kini pekerjaan saya lebih terspesialisasi dengan tanggung jawab manajemen yang lingkupnya lebih besar.
Sudah beberapa bulan sejak saya menempati posisi baru. Sudah mulai bisa menebak aliran pekerjaan dan beban kerja setiap harinya. Masih suka stress kalau sedang ada deadline dadakan, tapi juga bisa menemukan waktu luang. Thus, saya pun kembali toying with the idea… tentang ngeblog lagi. Memiliki satu sudut di mana saya bisa bebas bereksplorasi dan menjadi diri sendiri.
Sebuah nama terlintas di kepala. Tersedia sebagai domain. Domain ini tidak saya beli sampai benar-benar niat. Setelah menulis beberapa artikel, dan bolak-balik merancang struktur yang saya suka, barulah saya membelinya.
Where to Go Now
Maka, di sinilah kita. Domain tinydolce masih akan aktif sampai tahun depan, I think. Setelah itu akan saya lepas dan blog ini akan kembali ber-subdomain blogspot, tinydolce.blogspot.com. Awalnya saya merasa sayang karena merasa ada keterikatan emosional. Tapi setelah dipikir, saya sudah tumbuh jauh, dan memang nggak mau pakai url dengan nama sendiri. (a long internal joke di mana nama saya terlalu pasaran dan lebih cocok dijadikan nama PT atau yayasan daripada nama website).
Tinydolce will always be a beloved part of my blogging phase, yang meskipun jarang tapi tetap disayang. Dia juga menjadi saksi untuk berbagai masa ketika aku pusing, mikir ini-itu, bingung, dan berbagai macam momen stress. Ha ha ha. Sekarang, waktunya sedikit penyegaran. So, without further ado,
Welcome to Gentle Sunday!
JaneXLia Special: Rekomendasi Buku Untuk Wanita Pekerja
Suatu hari di Tiny Dolce,
Jane: Hey, Lia! Udah lama di sini?
Lia: Hey, Ci Jane! Baru banget sampai nih....
Jane: Oke! Kita langsung mulai aja, ya, rencana kita?
Lia: Boleh!! Eh, tapi sebelumnya ci, mari kita sapa dulu nih para sahabat Tiny Dolce.
Jane: Oh iya! Hello Tiny Dolce readers! JanexLia here! Kita mau ngapain, sih, di sini, Liii?
Lia: Tentu saja kita mau merusuh di rumah Tiny Dolce . Becanda deh hahaha. Jadi ceritanya.. Oke, Ci Jane aja deh yang kasih tahu...
Jane: Lah, dilempar balik *cubit Lia* Ok, jadi hari ini kita mau bagi-bagiin rekomendasi buku spesifik untuk wanita pekerja. Who’s excited?? ((unjuk tangan))
Lia: Aku! Aku! Aku! Tapi berarti yang pria nggak boleh baca dong, Cii?
Jane: Eits, kata siapa? Para pria tentu boleh ikutan baca. Siapa tahu ingin memberi hadiah buat teman atau pasangannya kan, nah barangkali ada buku-buku di bawah yang cucok untuk dijadikan hadiah.
Lia: Hwaa! Aku jadi nggak sabar banget untuk segera membagi-bagikan racun ke teman-teman ((kretekin tangan))
Jane: Hahahaha. Baiklah! Kalau gitu, Lia mulai duluan ya.
Lia: Siap Ci Jane! Teman-teman, yuk duduk yang manis, lipat tangannya, dan yuk kita masuk ke bagian rekomendasi buku dari JanexLia~ Here we go!
What's In My Everyday Bag (2021)
Hari ini kita back to school dengan postingan blog ala-ala, alias apa yang ada di tas kantor saya sehari-hari. Ketika berlangganan majalah remaja dulu, at least kita bakal nemu satu-dua artikel begini mengenai artis yang kita suka. Buat yang kangen, Darling Magazine punya rubrik yang didedikasikan untuk ini, What’s in My Bag Wednesdays -- so go read them!
Saat blog booming dan semua orang punya blog termasuk tetanggamu, konten sejenis populer di blog berbasis fashion and lifestyle. Di masa kini, konten serupa bergulir dalam bentuk baru di Youtube, Reels Instagram, atau TikTok.
So, this kind of content is still happening and now I’m gonna write about it too.
Saya bukan artis, tapi apa gunanya blog sendiri kalau nggak dimanfaatkan buat hal begini kan? (HOHOHO). Jadi, meskipun nggak ada yang pengen tau isi tas saya, saya akan jadi seleb di blog saya sendiri dan ini waktunya ngomong ke kamera:
“Jadiii, buat yang penasaran, ini dia isi barang-barang yang ada di tas akuuuu!”
(ehem).
Be My Only One
typography poster by yours truly. |
ONLY dari Lee Hi adalah lagu favorit saya akhir-akhir ini. Bukan favorit dalam artian disetel terus-terusan, tapi karena somehow lagunya nyentuh hati banget padahal pas pertama dengar saya nggak tahu artinya. Lagunya biasa-biasa aja, tapi saya sukaaaa banget. Efek MV-nya juga kali ya.
Pas pertama denger, tahu-tahu air mata ngalir dan saya nangis sampai huhu huhu. Nggak ngerti juga apakah itu efek PMS, yang pasti saya nangis lumayan lama sampai digeplak sama suami, hahahaha.... It's beautiful, I think; untuk bersama-sama dengan satu orang sampai tua, dan mengalami hal bersama-sama sampai rasanya mengenal orang itu lebih baik daripada telapak tanganmu sendiri.
Akhir-akhir ini, saya sering feel blue karena kekhawatiran macam-macam. Saat itu terjadi, suami saya selalu bilang: selama bisa melakukan banyak hal berdua bersama-sama, itu saja sudah cukup. It soothes my heart a lot, dan berkali-kali saya mengutarakan kekhawatiran yang sama, berkali-kali juga dia mengingatkan saya hal yang sama, nggak bosan-bosan.
Dengerin lagu ini membuat saya ingat dengan hiburan dan rasa sayang darinya ketika saya lagi rendah diri--sehingga lirik sederhana yang dimiliki lagu ini resonates much with me.
So, I hope you enjoy this song as much as I do! Untuk yang mau dengar lewat spotify, bisa dengar lagunya di sini.
Anyway:
Belakangan saya sedang hobi mengaudit blog dan juga hal-hal yang saya lakukan secara terpisah. Saya melakukan a dan dipost di b, melakukan c dan dipost di d. Kalau dipikir-pikir, Blog itu kan platform utama saya, so daripada misah-misah, saya kumpulkan di satu tempat aja kali ya.
So, expect this kind of post pop up once in awhile; karena Blog ini emang tempat saya main-main dan tempat saya bisa melakukan apa saja yang saya suka... jadi ya, ini akan jadi tempat saya main-main dengan desain grafis, alias kegiatan yang saya lakukan sehari-hari.
Merasa diri Tidak Berkembang? Mungkin Lifelong Learning Adalah Jawabannya
Judul di atas adalah pertanyaan dan jawaban yang saya tanyakan pada diri sendiri.
Semua berawal dari saya, yang lagi-lagi mempertimbangkan kemungkinan untuk sekolah lagi.
Tapi keinginan itu hilang-timbul; kadang kepingiiin banget (apalagi melihat beberapa teman yang sepertinya sekarang berada di tempat lebih baik dengan gelarnya…)
Kadang juga sangat tidak ingin (karena sesungguhnya saya bodoh untuk soal kepenulisan akademis, dan saya tidak begitu cocok dengan metode belajar formal).
Saya juga belum tahu ingin mengambil jurusan apa, hendak ke mana arahnya, etc. Kalau ditanya cita-cita, saya ya kepinginnya work from home, buka usaha yang bisa dilakukan dari rumah. Aku anaknya rumahan, banget, bok.
Tidak ada paksaan dari siapapun untuk mengambil pendidikan lanjutan. Kalaupun hendak sekolah lagi, saya sudah pasti tidak bisa menggunakan biaya sendiri. Harus dengan beasiswa.
Tapi tidak juga ada niat untuk aplikasi beasiswa itu. Ya itu, niatnya nggak terlalu kuat. Jadi saya pun berpikir lagi, memangnya saya benar-benar mau S2?
Atau cuma ingin “suasana baru”? Atau malah, “lari dari sesuatu”?
(Ha ha ha).
Lima Belas Menit Sebelum Jam Pulang Kantor: Ngapain?
Saya merasa waktu “ngantor” jauh lebih jelas saat di kantor dibandingkan saat bekerja di rumah. Mungkin karena faktor lokasi ya. Kalau kerja di rumah, saat “lowong” bisa dimanfaatkan untuk mencuci piring, sapu-sapu, dan lipat jemuran. Ha ha ha…
Berada di kantor cenderung membuat saya bisa lebih fokus, kecuali distraksi rapat dan panggilan dari meja atasan atau rekan. Namun, tentu saja tidak selalu fokus sempurna. Seperti hari kerja pada umumnya, energy spikes--atau lonjakan energi dan fokus saat kerja pun bisa naik turun, seperti kurva.
Lima belas menit sebelum pulang kantor adalah waktu di mana saya sudah bengong. Waktu pulang sebentar lagi, mau nerusin kerjaan ya sudah nggak konsen, mau mikirin kerjaan yang susah apalagi. Tanggung, besok aja.
Artikel ini memang bukan untuk pejuang lembur atau yang hobi pulang lewat jam sih. Soalnya saya menganut pulang tepat waktu-lah selagi bisa. Ketika pekerjaan sedang manageable dan tidak harus lembur, lima belas menit terakhir bisa saya gunakan untuk hal-hal berikut (selain balas chat, browsing youtube dan/atau website lain, hahaha).
Walaupun kenyataannya sekarang saya hanya ke kantor seminggu dua kali. Hiksss...
Beres-Beres Meja
Mantan atasan saya, yang saya hormati, punya kebiasaan membereskan meja sampai kinclong sebelum pulang. Nggak ada tumpukan dokumen, nggak ada post it, pokoknya cling kayak nggak ada yang bekerja. Katanya, membersihkan meja membuat dia merasa tenang dan siap untuk esok harinya.
Dan memang benar sih. Membersihkan meja memberikan saya clean slate untuk pekerjaan esok hari, nggak kepikiran dengan tumpukan yang tersisa. Target ini juga membuat saya sebisa mungkin memproses pekerjaan yang masuk pada hari itu, atau setidaknya cukup dijadwalkan dulu di kalender, sehingga tidak perlu menumpuk dalam bentuk post-it atau helaian kertas di atas meja.
Sayangnya, hal ini belum bisa saya terapkan untuk meja kerja saya di rumah. Soalnya meja kerja saya lebih kecil dari yang di kantor dan digunakan sebagai meja makan darurat juga (maklum, kontrakan sempit nggak bisa untuk meja makan 😅😅). Karena nggak ada storage space, meja nggak benar-benar bisa rapi.
Semoga saat sudah di rumah sendiri, ini bisa kita tanggulangi yaa.
Mengatur Rencana Pekerjaan Untuk Besok
Nah, ini adalah terusan dari poin yang sebelumnya. Seringkali ada pekerjaan yang sifatnya last minute: baru datang di waktu nanggung. Mau dikerjakan ya malas, kalau nggak dicatat nanti lupa. Jadi, pastikan dulu semua pekerjaan yang masih “nanggung” sudah tercatat, karena saya sih nggak terlalu yakin sama kemampuan saya mengingat. Begitu pulang udah nggak mikirin kerjaan lagi 🤣
Selain pekerjaan yang harus dilakukan besok, kita juga bisa melihat overview tugas kita di bulan itu. Apakah ada deadline dalam waktu dekat? Apakah ada pekerjaan yang harus diprioritaskan? Manfaatkan waktu ini untuk mengatur prioritas kerja untuk besok, dan catat di agenda. Bisa juga di post-it yang ditempelkan di layar komputer, agar begitu datang langsung ingat, hahaha.
This way, ketika pulang tidak perlu mengingat-ngingat kerjaan yang nyangkut, saat datang pun sudah tahu apa yang harus dikerjakan. Berkali-kali saya diselamatkan agenda ketika datang ke kantor dengan pikiran kosong: harus ngapain dulu ya….
Buka kalender, lalu kembali deh ke kenyataan bahwa kerjaan hari itu banyak. 😌
Ke Toilet dan Beribadah (bila perlu)
Bagi yang muslim, biasanya ada beberapa pilihan waktu beribadah: saat azan berkumandang, saat istirahat shift, atau seperti saya, ketika jelang jam pulang. Kalau memang belum beribadah, lima belas menit terakhir bisa dimanfaatkan untuk ini, tapi pastikan saja jam pulangnya memang reasonable ya. Kalau 17:30 WIB baru pulang, misalnya, kan hitungannya sudah kesorean tuh.
Satu hal penting lainnya adalah ke toilet, karena setelah pulang kita akan berhadapan dengan commuting. Kalau perjalanan kantor ke rumahnya dekat sih nggak masalah, tapi pernahkah anda kebelet pipis padahal macet di tengah jalan raya dan rumah masih jauh? Hikssss. Menderita bok. Karena itu pastikan urusan belakang sudah kelar ketika jam pulang.
Poin ini saya gabungkan, karena toilet biasanya juga berdekatan dengan area wudhu. 😄
Menggerakkan Tubuh
...terutama untuk yang kalau lembur suka lupa diri, nggak bergerak dari mejanya selama berjam-jam. He he. Saya gitu soalnya.
Tanpa sadar, ketika kita fokus dengan pekerjaan di hadapan, seringkali tubuh kita “dipaksa” duduk dengan postur yang sebetulnya tidak baik. Belum lagi ditambah otot tangan dan bahu yang tense, sehingga baru sadar ketika sudah pegal-pegal.
Masih ada waktu lima belas menit sebelum pulang. Nah, waktunya berdiri dari kursi, jalan-jalan keliling ruangan, mungkin? Atau sekadar melakukan stretching ringan? Saya biasanya melakukan gerakan yang ada di darebee, misalnya Office Warrior atau Office Yoga. Lumayan, Tubuh diingatkan kembali untuk bergerak setelah berada dalam posisi sama berjam-jam.
Kalau kantor memberikan fasilitas olahraga yang mudah dicapai, bisa juga dimanfaatkan. Kantor saya menyediakan fasilitas gym mini yang jaraknya hanya beberapa ruangan dari tempat saya berada, jadi pas sekali untuk olahraga-olahraga ringan sebelum pulang. Kalau rumahnya jauh mungkin harus mandi sekalian ya, kecuali betah lengket-lengketan sepanjang jalan atau keangin-angin lantaran bermotor (serius). Ha ha ha.
Catch-up with Workmates
Kembali untuk orang-orang yang suka lupa diri kalau sedang bekerja, waktu pulang adalah waktu yang pas untuk keliling meja dan ngobrol. He he. Ngobrol ada kabar apa hari ini, atau mungkin hal-hal ringan soal kehidupan di luar kantor. Ah, gosip internal juga biasanya beredar di jam-jam seperti ini ya. (Wkwkwkwk).
Saya suka banget ngobrol sama temen-temen sedivisi di jam-jam begini, sambil beres-beres pulang. Dengerin cerita soal anak mereka di rumah atau kejadian lucu yang dialami dengan atasan, juga berbagi kesal dengan tingkah bos yang ada-ada aja, jadi hiburan sambil menunggu waktu pulang. Nggak dosa kan ngobrol-ngobrol menjelang waktu pulang, toh sambil membereskan meja yang juga jadi bagian dari pekerjaan 😎
Siapkan Senjata Untuk Commuting
Ini adalah spesial bagi yang perjalanannya jauh. Sebelum pindah ke kontrakan, saya menempuh perjalanan sehari-hari sepanjang satu setengah sampai dua jam sekali jalan. Alhasil saya sudah ahli “menghabiskan hidup” di kendaraan umum--dalam hal ini, angkot.
Saya bisa tidur sampai mimpi, ngemil, juga tentu saja baca buku dan nonton film, seperti mbak-mbak yang bisa nonton drakor sekian episode di KRL. Lima belas menit sebelum pulang adalah waktunya saya mengumpulkan “senjata” untuk menghabiskan waktu nantinya.
Entah membereskan download-an film baru (saya nggak suka kalau harus terpotong sinyal), menyimpan link-link komik yang akan dibaca di notes (biar nggak kelewat), atau memilih playlist spotify untuk dinikmati sepanjang jalan. Pernah juga saya menghabiskan satu course di Coursera sepanjang jalan!
Ketika perjalanan pulang dan pergi menghabiskan waktu lama, maka saya menggunakan itu sebagai me time. Meskipun tempatnya tidak efektif, mari coba nikmati dan jadikan waktunya berkualitas.
Nah, kalau teman-teman, apa yang dilakukan ketika sudah menjelang jam pulang? Melakukan hal yang sama dengan saya, atau ada lagi yang lainnya? Sekarang, saya nggak bisa melakukan hal ini setiap hari karena hanya berkantor sekali sampai dua kali seminggu; tapi rutinitas ini adalah hal yang membuat saya lumayan kangen berkantor juga, nih.
Til next post,
Mega
Gambar dari STIL.