Pertama kali saya mendapatkan gaji yang cukup besar adalah sewaktu saya kuliah, mengerjakan proyekan dari senior. Tiga bulan bekerja paruh waktu, saya mendapatkan 2,5 juta rupiah. Jumlah yang cukup besar untuk mahasiswa, apalagi waktu itu saya bergantung pada uang beasiswa untuk kegiatan sehari-hari.

Merasa kaya raya? Jelas. Wih, kapan lagi dapat uang segitu? Proyekan belum tentu ada lagi, pikir saya. Tanpa memikirkan lebih lanjut, saya gunakan uang itu begitu saja. Lima puluh ribu di sini, seratus ribu di sana. Mengiyakan ajakan makan di sini, nonton bioskop di sana. Sampai tentu saja, uang itu habis.

Lho! Habis? Iya lah. Namanya juga dipakai. Setelah uangnya habis, baru saya bingung dan menyesal. Karena uangnya tidak jadi apa-apa - saya tidak beli sepatu baru, baju baru, apalagi ponsel baru. Aliran uang itu saya habiskan begitu saja, dan saya bahkan tidak ingat dipakai untuk membeli apa saja.

Saat sudah bekerja dan memiliki pendapatan, saya kembali mengulang pola yang sama dengan alasan berbeda. Toh saya akan dapat gaji lagi bulan depan, pikir saya. Alhasil, uang yang masuk cepat juga keluar. Dua tahun setelah bekerja dan saya tidak punya tabungan, saya baru sadar kalau ada yang salah. Di situ saya mulai memberlakukan perencanaan anggaran pada diri sendiri. Surprise-not-so-surprise, keuangan saya relatif lebih aman sekarang, meskipun kadang masih ada bolong di sana-sini.

Kenapa Perencanaan Anggaran?


Awal mulanya, membuat perencanaan anggaran atau budgeting tampak seperti sesuatu yang melelahkan. Bagi saya sih, godaan utamanya seperti ini: karena kita tidak tahu apa saja kebutuhan di bulan itu, jadi ya mengapa tidak menyesuaikan sambil jalan saja? Namun, justru karena kita tidak tahu akan ada apa saja kebutuhan di bulan itu, setidaknya kita bisa menghitung prediksi agar tahu situasi finansial walaupun hanya perkiraan saja.

Mengetahui kondisi keuangan dengan pasti adalah dasar dari keuangan yang sehat.

Kita bisa mengetahui bagian mana yang berlebihan, atau mungkin mengatur uang untuk tujuan ke depan. Tidak perlu rinci seperti rencana anggaran yang dibuat perusahaan. Selama kita tahu berapa yang masuk dan keluar, itu sudah bisa disebut rencana anggaran.



Ketahui jumlah pemasukan


Hal utama dari perencanaan anggaran adalah mengetahui pemasukan. Berapa gaji yang didapat setiap bulannya? Karena saya adalah karyawan, maka mudah - saya tinggal mengecek slip gaji dan melihat rincian gaji yang diperoleh (sudah dipotong pajak). Kalaupun ada faktor yang naik-turun seperti uang makan dan transpor, tetapi ada jumlah perkiraan yang setidaknya tetap dan bisa ditulis sebelum gajinya turun.

Bagaimana dengan pekerja lepas? Meskipun pendapatan pekerja lepas naik turun, ada baiknya juga menentukan spending cap/income cap, batasan pemasukan. Berapa rata-rata penghasilan yang didapat setiap bulan? Jumlah itu bisa dijadikan pertimbangan. Oh ya, seiring dengan berjalannya hari, masukkan juga kalau ada bonus atau pendapatan lebih. Prinsipnya, semua harus dimasukkan.

Catat rencana pengeluaran satu bulan ke depan


Nah, setelah sudah tahu berapa pemasukan, berikutnya tentu perkiraan berapa yang harus dikeluarkan. Kalau merasa setiap bulan pasti berbeda-beda, pasti akan ada pola dasarnya. Dimulai dari pengeluaran yang sudah pasti, misalnya pengeluaran untuk makanan pokok, belanja bulanan, biaya transportasi, dan tagihan-tagihan rutin. Cicilan hutang juga dimasukkan paling pertama, ya.

Bagaimana kalau tidak ada bayangan sama sekali? Paling mudah adalah jangan dulu membuat budget, namun mulai dengan analisis pengeluaran sehari-hari. Catat dengan teliti berapa yang dihabiskan setiap bulan, sampai nominal sekecil mungkin. Itu termasuk lima ratus rupiah yang dikeluarkan untuk polisi cepek. Mengapa? Kalau kita jarang mencatat dan tidak memikirkan benar-benar uang yang dikeluarkan, kadang nominal yang kita prediksi dengan nominal asli bisa berbeda. Ini yang menyebabkan gaji rasanya mengalir seperti air.

Prinsipnya, pengeluaran harus lebih kecil daripada pemasukan, atau paling tidak sama. Jangan lupa memasukkan keperluan yang sebenarnya penting, tapi suka terlupakan: tabungan dan donasi atau zakat. Setelah terisi semua, pasti akan terlihat pola yang jelas dan kamu bisa menilai bagian mana yang perlu dikurangi, atau keperluan apa yang perlu dipangkas dan dialihkan ke keperluan lain.

Setelah rencana pengeluaran tercatat, tinggal mencatat nilai aktual yang dikeluarkan setiap kali terjadi transaksi yang menggunakan uang. Cocokkan dengan perencanaan yang sudah dibuat sebelumnya, dan jangan sampai melebihi jatah yang sudah ditentukan!

Metode 50/30/20 + Zero Sum Budget


Bingung untuk membagi, atau tidak ada bayangan untuk mengisi hal-hal di atas? Saya menggunakan metode 50/30/20 dan zero sum budget. 

Buat saya, metode 50/30/20 ini adalah metode paling sederhana untuk mengatur anggaran. Prinsipnya, dari jumlah penghasilan pasti, 50% dipergunakan untuk kebutuhan sehari-hari, 30% untuk keinginan dan foya-foya, 20% untuk menabung dan donasi. Kalau porsi yang 50% tidak cukup, maka yang dikorbankan adalah 30%. Sebisa mungkin pos tabungan tidak boleh diotak-atik.

Kalau kebutuhan sehari-hari sudah tercukupi di bawah 50%, bagaimana? Wah itu bagus. Apakah itu berarti kadar keinginan dan foya-foya harus ditambah? Boleh saja sih, tetapi saya lebih suka mendistribusikannya ke 20% alias tabungan. Tabungan buat foya-foya yang lebih heboh daripada dihabiskan di bulan yang sama - atau untuk kebutuhan darurat ketika ada waktu di mana pendapatan tidak mencukupi untuk porsi yang 50%.

Jangan biarkan ada dana yang "menganggur". Bukan berarti setiap ada sisa uang/penghasilan harus segera dipakai, maksudnya. Tetapi direncanakan hingga setiap rupiah pendapatan memiliki tugas masing-masing. Uang yang ditabungkan juga termasuk uang yang sedang "bertugas". Bertugas untuk liburan tahun depan, bertugas untuk kebutuhan darurat. Hal ini disebut sebagai zero sum budget. Dengan pola pikir seperti ini, nafsu belanja saya bisa lumayan dikendalikan.

Mana kebutuhan, yang mana keinginan?


Ketika menjalankan anggaran dengan sistem ini, yang paling banyak godaannya adalah ketika kita menentukan apa itu kebutuhan dan apa itu keinginan. Contoh mudah dari saya adalah membagi anggaran konsumsi. Kebetulan saya memegang kendali atas anggaran rumah tangga keluarga juga, jadi pengeluaran saya nggak jauh beda sama pengeluaran keluarga kecil dengan dua anak dewasa. Sejak bekerja di tempat yang jaraknya jauh, saya jadi suka malas memasak. Otomatis, saya mengeluarkan uang untuk membeli makan di luar yang dikeluarkan dadakan.

Apakah makanan sehari-hari itu kebutuhan primer? Iya, betul. Tetapi apakah setiap hari harus keluar sekian puluh ribu hanya untuk makanan yang dibeli di pinggir jalan atau dari luar? Bagaimana cara menghematnya? dengan mencatat perkiraan pengeluaran dan mengetahui alur keuangan kita, dengan sendirinya juga kita jadi lebih 'perasa' terhadap jumlah uang yang dikeluarkan (setidaknya ini yang saya rasakan).

Apakah ada tagihan yang bisa dinegosiasikan? Selalu ada ruang untuk bernegosiasi. Ngomong-ngomong, setelah setahun, akhirnya saya juga meninjau kalau biaya BPJS keluarga terlalu mahal untuk kondisi kemampuan saya sekarang. Jadi saya berencana untuk menurunkan kelasnya. Itu satu contoh betulan, masih banyak contoh yang lain.  Mungkin keperluan yang bisa dipotong, seperti menggunakan angkot untuk menggantikan ojek online yang harganya lebih mahal? Bisa juga menukar paket internet dengan yang lebih murah kalau kuotamu selalu bersisa. 

Berikan ruang untuk fleksibilitas


Meskipun judulnya zero-sum budget, tetap saja kita tidak tahu apakah akan ada pengeluaran dadakan di bulan mendatang. Karena itu jangan terlalu ketat memberikan jumlah pasti pengeluaran. Selalu berikan kelonggaran, lebihkan sedikit dari perkiraan kasar yang dibuat. Jadi kita juga lebih aware dan kalau sewaktu-waktu ada pengeluaran tambahan, bisa langsung menyesuaikan. Asal jangan keterlaluan saja gap-nya, nanti malah jadi alasan untuk jajan tambahan.

Sebenernya saya suka gemes di sini sih. Soalnya, mau seteliti apa pun saya dalam ruang fleksibilitas, selalu saja ada yang lepas dari kendali dan akhirnya harus bongkar di tengah jalan. Karena itu, pernah juga saya berhenti melakukan budgeting. (Karena toh nantinya dibongkar lagi, buat apa dibuat, kan). Efeknya saya malah lebih parah kendornya, jadi akhirnya saya kembali ke jalan yang lurus.

Disiplin mencatat pengeluaran seiring waktu berjalan

Saya percaya data adalah awal dari penyelesaian masalah. Dengan adanya data kita tahu problem apa yang ada dan apa tindak lanjut permasalahan tersebut. Sama seperti proses budgeting dan pencatatan ini. Kalau budget tidak dipraktekkan dan pengeluarannya tidak dicatat, sama saja bohong. Jadi, yang paling penting, setelah direncanakan, pengeluaran harus dicatat dengan teliti dan rutin, jangan sampai ada yang terlewat. Gunakan metode yang paling mudah dan memungkinkan kita untuk mengisinya setiap kali ada transaksi.

Mungkin, menggunakan layout excel yang rapi memang tampaknya lebih keren dan lengkap, tapi juga tidak akan optimal kalau hanya dibuka beberapa hari sekali karena malas. Saya orang yang nggak cocok dengan menuliskan budgeting di excel sih, hahaha. Karena ingatan jangka pendek saya jelek, sebisa mungkin setiap transaksi langsung saya tulis. Menggunakan aplikasi seperti Monefy memudahkan saya untuk mencatat setiap transaksi dengan detail. Bahkan sudah ada di ponsel pun, saya masih suka malas. Biasanya saya melakukan input di perjalanan berangkat dan pulang kantor, saat terjebak macet di angkot.


Final Verdict


Saya belajar tentang budgeting ini sudah lama, tapi baru konsisten menjalaninya dua tahun terakhir. Itu pun masih ada bolong-bolongnya. Padahal saya juga yang paling tahu, dengan tersajinya data hasil pencatatan dan perencanaan akan memudahkan bagi saya sendiri. Kalau data tersaji lengkap, maka kita juga bisa lebih mengerti pola pengeluaran dan pemasukan kita sendiri. Mana yang harus dikurangi, dan mana yang bisa dialihkan untuk keperluan lain?

Ada waktunya saya nggak sadar kalau saya sudah mengeluarkan terlalu banyak uang untuk budget snack, padahal itu baru pertengahan bulan. Melihat nominal yang melambung, saya jadi bisa bilang dengan tegas pada diri sendiri: stop, jangan jajan lagi. Kalau tidak dicatat dan dibatasi, saya tentu tidak akan merasa kalau sudah mengeluarkan uang banyak - karena kebanyakan yang saya beli toh snack-snack kecil. Snack kecil yang kalau bertumpuk dan berkali-kali, nominalnya lumayan juga. Dengan cara ini juga saya jadi tahu berapa yang seharusnya saya tabung dan berapa yang bisa saya berikan untuk orangtua atau keluarga.

Tentu saja metode ini nggak bakal selalu cocok untuk setiap orang. Mungkin ada yang lebih efektif dalam berhemat tanpa budget. Mungkin ada juga yang malah bertambah khawatir tidak jelas kalau menggunakan budget (sebenarnya untuk tipe yang begini, budgeting bisa dicoba). Yang jelas, untuk yang sering merasa uang hilang entah kemana, cara ini sangat disarankan untuk dicoba. Happy budgeting! 🙂

foto: unsplash, dokumentasi pribadi